Mongabay.co.id

Sumber daya Ikan Terancam jika Ada Kegiatan Tambang di Laut

 

Kegiatan pertambangan di laut diyakini tidak akan memberikan dampak positif pada ekosistem laut dan sekitarnya. Justru, kegiatan tersebut bisa berdampak buruk karena sumber daya dan lingkungan laut akan mengalami kerusakan.

Ancaman tersebut bisa terjadi kapan saja dan degradasi lingkungan di laut akan terjadi dengan cepat. Demikian tanggapan Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) berkaitan dengan perizinan untuk kegiatan tambang laut yang diberikan kepada PT Timah Tbk.

Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (SPKKPRL) yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu, dinilai hanya menjadi alat legalisasi untuk perusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup di laut.

Atas tindakan KKP tersebut, EKOMARIN menyatakan keberatan karena itu bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan laut. Tepatnya, karena ada pertentangan dengan prinsip pencegahan perusakan dan prinsip kehati-hatian terhadap setiap aktivitas usaha yang berdampak meluas.

Koordinator EKOMARIN Marthin Hadiwinata menerangkan, dampak dari kegiatan tambang di perairan laut adalah irreversible alias tidak dapat dipulihkan seperti semula. Dampak tersebut akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Selain itu, ada persoalan lain yang juga sedang dihadapi oleh manusia dan menjadi masalah terbesar, yaitu krisis iklim. Persoalan tersebut bisa semakin membesar, jika pertambangan laut berjalan dengan cepat di banyak wilayah perairan.

baca : Seperti Apa Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Nasional?

 

Aktivitas melimbang timah di sekitar pesisir timur di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Itu berarti, jika kegiatan tambang laut diberikan izin resmi oleh KKP, maka itu sama dengan memberikan izin untuk mempercepat krisis iklim yang sudah terjadi. Padahal, salah satu dampak buruk dari krisis iklim adalah anomali iklim dan intensitas bencana yang meningkat.

“Dampak akhir yang akan menerima adalah umat manusia, salah satunya yang utama adalah nelayan kecil yang merupakan mayoritas pelaku perikanan nasional,” tutur dia pekan lalu di Jakarta.

Selain tidak dapat dipulihkan dan bertahan lama, dampak dari kegiatan tambang laut adalah proses pemulihan yang memakan waktu panjang. Sementara, di saat yang sama keanekaragaman hayati di laut belum dipetakan sepenuhnya.

Menurut Marthin Hadiwinata, penerbitan SPKKPRL oleh KKP menjadi petunjuk jelas bahwa Pemerintah sudah menjadi alat legalisasi berupa stempel untuk kegiatan perusakan lingkungan laut. Surat tersebut diyakini akan mendorong berbagai kegiatan tambang di laut bisa semakin luas.

“Berdampak buruk terhadap sumber daya kelautan nasional,” tutup dia.

Peneliti dari Transnational Institute Rachmi Hertanti mengatakan kalau legalisasi pertambangan laut di Indonesia muncul karena dorongan untuk berlomba menguasai bahan baku mineral penting di dunia. Ironisnya, lomba tersebut diklaim sebagai bagian dari akselerasi transisi energi hijau.

“Hal ini diklaim untuk memperkuat agenda hilirisasi industri untuk nilai tambah produksi produk tambang Indonesia,” ujar dia.

baca juga : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia

 

Seorang anak menunjukkan kerang hasil tangkapannya di sekitar pesisir Pulau Bangka, yang terdesak pertambangan timah. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah kegiatan tambang di laut hanya menjadi bentuk legalisasi kebijakan yang fokus pada investasi namun tidak mempertimbangkan dampaknya untuk jangka yang panjang. Dampak tersebut, untuk keberlanjutan lingkungan yang memengaruhi kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pertambangan di laut bukan untuk mendorong stabilisasi pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan bentuk ekspansi wilayah tambang di wilayah laut untuk hilirisasi industri. Padahal, sudah jelas kalau itu berdampak buruk pada keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat di pesisir.

“Negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia hanya akan kembali menjadi target eksploitasi dalam kompetisi rantai pasok mineral global hari ini,” tambah dia.

 

Kedaulatan Pangan

Menurut Rachmi Hertanti, Indonesia yang berperan sebagai produsen pangan dan berkontribusi hingga 60 persen pangan protein hewani, akan merasakan dampak signifikan dari kegiatan tambang di laut dan menjadi ancaman untuk kedaulatan pangan perikanan nasional.

Namun, saat ancaman tersebut ada di mana-mana, nelayan kecil sebagai kelompok rentan yang terus miskin dan marjinal oleh kebijakan Negara, akan menjadi pihak yang selalu dipaksa untuk menerima ambisi berupa kebijakan Negara.

Bentuknya, adalah dengan mengeruk sumber daya alam sebanyak-banyaknya dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Padahal, tentu saja itu bisa menciptakan ketimpangan dan penciptaan lapangan pekerjaan jangka pendek.

Diketahui, pada Rabu (8/3/2023) KKP menyerahkan 8 (delapan) dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dalam bentuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Timah Tbk.

Dokumen tersebut diserahkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor Gustaaf Manoppo kepada Direktur Utama PT Timah Tbk di Kawasan Pantai Rebo, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

baca juga : Duet Ekonomi dan Ekologi pada Pemanfaatan Ruang Laut

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kiri) menerima cinderamata dari PT Timah Tbk. Sebelumnya, KKP menyerahkan delapan dokumen KKPRL kepada PT Timah Tbk. Foto : KKP

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang hadir pada kesempatan tersebut, meminta agar PT Timah Tbk bisa memanfaatkan dengan baik perizinan tersebut dan tetap menjaga keberlanjutan ekologi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

“Saat ini KKP berfokus untuk mengakselerasi implementasi lima program berbasis ekonomi biru untuk menjaga kesehatan ekosistem laut, pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ungkap dia.

Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang terbit, sebanyak 95 dokumen KKPRL di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah diterbitkan KKP. Rincinya, sebanyak 85 Persetujuan dan 10 Konfirmasi.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Gustaaf Manoppo memaparkan bahwa dokumen KKPRL yang telah diterbitkan meliputi kegiatan perikanan, pemasangan kabel bawah laut, kepelabuhanan/terminal khusus, serta pertambangan bijih timah.

“Total nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh dari penerbitan KKPRL di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tersebut mencapai Rp12 miliar,” terang dia.

Dia mengatakan, merujuk pada amanat UU, setiap kegiatan termasuk aktivitas pertambangan yang dilakukan secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, maka itu wajib memperoleh KKPRL.

Dengan cara tersebut, maka wujud tertib administrasi dalam upaya membangun iklim usaha di sektor kelautan dan perikanan dengan tetap menjaga kesehatan laut bisa terwujud. Selain itu, juga untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ekonomi dan ekologi sesuai dengan prinsip ekonomi biru.

Diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, mengamanatkan salah satu persyaratan dasar perizinan berusaha adalah KKPR. Setiap orang wajib memiliki KKPRL dari Pemerintah Pusat jika berkegiatan di wilayah perairan dan yurisdiksi.

 

Exit mobile version