Mongabay.co.id

Tapai Pulut dan Olahan Fermentasi untuk Kesehatan Manusia

 

 

Tapai atau tape merupakan makanan fermentasi populer masyarakat di Asia termasuk Indonesia. Makanan ini sering hadir dalam upacara adat atau acara penting lainnya. Kata tapai berasal dari Proto-Melayu-Polinesia “tapay” atau Proto-Austronesia “tapaJ” yang berarti “fermentasi”.

Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada tapai pulut yang bahan utamanya berasal dari padi pulut.

“Ini makanan wajib saat besaoh atau kegiatan tolong-menolong ketika menanam atau memanen padi di hume [kebun], serta kegiatan lain yang melibatkan orang banyak,” kata Yunus [73], tokoh adat di Desa Pangkalniur, Kabupaten Bangka, Minggu [19/03/2023].

Saat dimakan, teksturnya lembut sedikit berair, rasanya manis bercampur asam dengan aroma khas yang enak, menyenangkan, sekaligus menyegarkan. Tidak ada bahan campuran lain, semua berasal dari proses fermentasi selama 2-3 hari menggunakan ragi alami.

“Agar fermentasi sempurna dan rasa manis-asamnya seimbang, ragi yang digunakan harus berkualitas,” lanjutnya.

Baca: Lempah Kuning, Harmonisnya Manusia dengan Alam dalam Kuliner

 

Tapai pulut, olahan fermentasi tradisional yang memiliki manfaat bagi kesahatan manusia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selama proses fermentasi, beras pulut yang telah dicampur ragi dibungkus daun kelamantong, spesies pohon ara [Ficus padana Burm.F.]. Atau, umum dikenal hamerang putih.

Menurut buku terbitan LIPI Press karya Dharma, Solihah, dan Kuswantoro [2017], jenis ini tumbuh di hutan sekunder dan lerengan perbukitan hingga 1.300 mdpl. Tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara. Buah mudanya dapat dijadikan sayur, sementara buah masak dapat dimakan langsung. Getahnya bisa diminum langsung untuk mengobati diare.

Setelah difermentasi, tapai pulut hanya bertahan 3-4 hari. Itupun sudah terlalu asam, kecuali disimpan di kulkas, bisa bertahan satu minggu.

“Paling enak dimakan segera setelah proses fermentasi. Tapi jangan berlebihan dan setelah itu jangan makan obat-obatan kimia, karena mengakibatkan pusing,” kata Yunus.

Baca: Lempah Darat, Kuliner Khas Bangka Belitung yang Mulai Hilang

 

Tapai pulut, makanan fermentasi yang dibungkus daun kelamantong dari Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Manfaat kesehatan dari mikroba liar

Mengutip penelitian Mishra et al., [2022], mengkonsumsi tapai ketan [pulut] dapat membantu pencernaan dan memulihkan tiamin pada tubuh manusia. Dikutip dari alodokter, tiamin atau Vitamin B1 dapat membantu sel-sel tubuh mengubah karbohidrat menjadi energi, serta menjaga fungsi saraf agar tetap baik.

Masih dari jurnal yang sama, dalam teknologi fermentasi dikenal istilah starter, yakni mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap dipindahkan secara teliti pada media fermentasi, guna menghasilkan produk yang dikehendaki.

Sebagian besar produk fermentasi seperti yoghurt, keju, roti dan lainnya, dibuat menggunakan stater yang terdiri satu atau lebih mikroba yang telah diseleksi dengan sifat yang diketahui. Sebaliknya, banyak produk fermentasi tradisional berbahan beras dihasilkan dari fermentasi spontan atau alami yang tidak dipindahkan dengan kultur starter.

“Produk fermentasi tradisional difermentasi oleh komunitas mikroba liar yang sudah ada dalam bahan mentah atau di lingkungan sekitarnya,” jelas penelitian di jurnal Food Bioscience itu.

Fermentasi ini sering menghasilkan komunitas fermentasi yang kaya keanekaragaman spesies, sehingga dapat meningkatkan nilai gizi produk fermentasi.

“Manfaat kesehatan berbagai metabolit dari mikrobiota usus ini termasuk sifat anti-oksidan, anti-diabetes, anti-inflamasi, dan anti-kanker,” lanjutnya.

Baca: Tempoyak, Kuliner Khas Masyarakat Melayu Hasil Fermentasi Durian

 

Bahan utama tapai pulut berasal dari padi pulut, satu dari 26 jenis padi lokal Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bahkan, kandungan gizi dari fermentasi beras berwarna [merah, ungu, atau hitam] jauh lebih bergizi dalam hal vitamin, mineral dan indeks glikemik. Selain itu, kekurangan [defisiensi] tiamin akibat penggunaan beras putih dapat dikembalikan oleh mikroorganisme hasil fermentasi beras berwarna.

Implikasi kesehatan dari beras fermentasi adalah metabolit yang dihasilkan oleh probiotik dalam usus manusia. FAO [Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa]/WHO [Organisasi Kesehatan Dunia] mendefinisikan probiotik sebagai “mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah memadai, memberikan manfaat kesehatan pada inang”, lanjutnya.

Baca juga: Rukam, Pohon Berduri yang Digunakan Melawan Tentara Belanda

 

Padi pulut menjadi hidangan wajib saat kegiatan beasoh di hume atau di ladang padi, di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari teknologi kuno

Makanan dan minuman fermentasi tradisional atau Traditional fermented foods and beverages [TFFB] diakui sebagai teknologi luar biasa dan penting dalam pola makan manusia, karena beragam efek posistif kesehatannya.

Indonesia memiliki banyak olahan fermentasi, seperti tempe, tapai, peuyeum, brem, petis, rusip, terasi, dan sebagainya. Sementara minuman ada tuak hingga arak Bali yang mendunia.

Mengutip penelitian Cuamatzin-Garcia et al., [2022], bukti paling awal penggunaan makanan dan minuman fermentasi berasal dari Asia sekitar 8000 tahun SM [Sebelum Masehi]. Ini terungkap melalui penemuan bejana perunggu yang disegel dari Dinasti Shang dan Zou Barat. Setelah diteliti, bejana digunakan sebagai wadah fermentasi minuman campuran beras, madu, dan buah [buah hawthorn atau anggur].

Dari jurnal yang sama, antara 5 hingga 40 persen dari semua makanan konsumsi manusia di dunia termasuk dalam kelompok TFFB.

“Ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup, mereka memiliki manfaat kesehatan terkait penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, obesitas, masalah neurologis, dan yang terpenting dapat mengurangi kematian,” tulisnya.

 

Referensi:

Cuamatzin-García, L. et al. (2022) ‘Traditional Fermented Foods and Beverages from around the World and Their Health Benefits’, Microorganisms, 10 (6), p. 1151.

Dharma, I. D. P., Solihah, S. M. and Kuswantoro, F. (2017) Koleksi Kebun Raya Lombok: Tumbuhan Sunda Kecil. Lipi Press.

Fitrisia, D. and Widayati, D. (2018) ‘Changes in basic meanings from Proto-Austronesian to Acehnese’, Studies in English Language and Education, 5 (1), pp. 114–125.

Mishra, S. et al. (2022) ‘Traditional rice-based fermented products: Insight into their probiotic diversity and probable health benefits’, Food Bioscience, p. 102082.

Mustikarini, E. D., Tri Lestari, S. P. and Prayoga, G. I. (2019) Plasma Nutfah: Tanaman Potensial di Bangka Belitung. Uwais Inspirasi Indonesia.

Yovani, T. (2019) ‘Lamang tapai: the ancient Malay food in Minangkabau tradition’, Journal of Ethnic Foods, 6 (1), pp. 1–9.

 

Exit mobile version