Mongabay.co.id

‘Cellulosic Ethanol’, Peluang Libatkan Petani dalam Program Biofuel

 

 

Program biofuel disebut-sebut untuk petani, pada kenyataan masih sebatas stabilitas harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), karena terciptanya pasar baru yang menyerap kelebihan pasokan sawit.

Mengutip data di website Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) pada 2009, produksi biodiesel tercatat 190.000 kiloliter (kl) dan dalam waktu satu dekade, berlipat ganda jadi 8,4 juta kl. Kondisi ini menunjukkan keberhasilan industri biodiesel dalam negeri.  Sayangnya, masih banyak petani sawit bersuara kalau program biodiesel tak memberikan manfaat apa-apa bagi mereka. Petani juga masih berjuang jadi bagian dari rantai pasok dalam industri biodiesel yang notabene didominasi perusahaan-perusahaan sawit besar.

Bagaimana cara memasukkan petani dalam rantai pasok program biofuel? Cellulosic ethanol bisa jadi jawaban! Apa sebenarnya yang dimaksud cellulosic ethanol? Ini merupakan etanol dari bahan baku yang mengandung selulosa (serat serabut tanaman), berbeda dengan etanol dari tetes tebu atau singkong.

Bahan baku yang dapat digunakan untuk memproduksi cellulosic ethanol, antara lain residu sawit, seperti batang pohon, tandan kosong dan serat sawit. Dengan teknologi canggih, bahan baku ini bisa jadi etanol yang dapat dicampur dengan bensin.

Perlu dicatat, konsumsi bensin Indonesia terus meningkat. Baru-baru ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengumumkan, peta jalan bioethanol. Presiden turun tangan dengan meresmikan program bioetanol yang kemungkinan perlu 700.000 hektar lahan baru untuk pasokan bahan baku.

Saat ini,  pemerintah masih berdiskusi bagaimana memenuhi 700.000 hektar itu.  The International Council on Clean Transportation berpendapat, mengembangkan cellulosic ethanol bisa jadi alternatif bagi pemerintah melanjutkan program bioetanol.

Kami mengeluarkan studi tentang cellulosic ethanol dan menemukan, Indonesia memiliki potensi tinggi mengembangkan industri itu, dapat memproduksi hingga 2 juta kl pertahun dari residu sawit saja. Mengingat Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia, otomatis residu juga berlimpah.

Saat ini, Indonesia mengekspor residu itu ke negara lain, seperti ke Jepang. Jepang sangat tertarik dengan residu sawit dari Indonesia, terbukti ekspor cangkang sawit ke Jepang terus meningkat. Tercatat, sejak 2015-2019, ekspor cangkang sawit meningkat 49% per tahun. Jepang mengimpor cangkang sawit untuk pembangkit listrik biomassa guna memenuhi target energi terbarukan mereka.

 

 

Melihat pasar luar negeri yang tertarik dengan residu sawit Indonesia, pemerintah dan pelaku usaha pun tergiur ekspor. Ekspor tidaklah salah kalau untuk jangka pendek, dalam jangka panjang dengan hanya berorientasi ekspor, bisa tak mengembangkan industri dalam negeri dalam mengolah bahan yang diekspor itu. Hilirisasi sangatlah penting untuk kekuatan ekonomi dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.

Residu sawit yang lain juga memiliki nilai tambah. Dengan residu itu sebagai bahan baku cellulosic ethanol, maka dapat dilihat lebih jauh beberapa manfaat mengembangkan industri cellulosic ethanol ini. Pertama, bisa menambah penghasilan petani sawit. Tandan kosong dan serat sawit dapat dijual ke produsen cellulosic ethanol dengan kontrak jangka panjang.

Meskipun begitu tak semua pihak yang terlibat dalam bisnis sawit memiliki pengetahuan memadai tentang ini, termasuk petani. Apabila, pemerintah memberikan pelatihan atau informasi ke petani tentang nilai keekonomian residu sawit ini, maka akan membantu mereka memperoleh penghasilan tambahan.

Sementara untuk batang sawit, bisa masuk dalam salah satu syarat program replanting pemerintah hingga BUMN seperti Pertamina bisa mendapatkan gratis dan pakai sebagai bahan baku produksi cellulosic ethanol.  Cara ini bisa membantu menekan biaya produksi, jadikan harga akhir bahan bakar tak perlu mendapat banyak subsidi pemerintah.

 

Limbah jerami. bisa jadi bahan baku cellulosic ethanol. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kedua, dengan pengembangan industri ini, akan tersedia lapangan pekerjaan baru, baik di lokasi pabrik, transportasi dan perkebunan. Industri ini akan menyerap tenaga kerja di sekitar lingkungan petani.  Karena itu, lokasi pabrik sebaiknya dekat bahan baku hingga tidak terpusat di perkotaan.

Ketiga, pengembangan industri cellulosic ethanol ini membantu program pemerintah dalam hilirisasi industri sawit yang akan memperkuat perekonomian dalam negeri.

Bisnis cellulosic ethanol ini adalah hal baru untuk Indonesia dan belum berkembang di Indonesia,  hingga akan lebih memudahkan petani masuk dalam rantai pasok sejak awal pengembangan.Berbeda dengan industri biodiesel yang sudah matang dan mapan. Ini merupakan kesempatan besar mengajak para petani berkontribusi dalam program biofuel. Inilah saat tepat untuk Indonesia, yang memiliki banyak bahan baku potensial, jadi salah satu pemimpin di dunia dalam pengembangan industri cellulosic ethanol.

Setelah industri berkembang, diversifikasi bahan baku dari  residu sawit ke residu lain, seperti jerami padi, batang jagung, ampas tebu, batang singkong hingga dari kayu sisa pembongkaran, sesuai ketersediaan bahan baku di lokasi yang dipilih. Dengan bahan baku berbeda-beda, maka manfaatnya tidak hanya bisa dinikmati petani sawit, juga petani lain di Indonesia.

Dengan begitu, keberhasilan pengembangan cellulosic ethanol dapat membuat pemerintah bangga mengucapkan “cellulosic ethanol, dari petani untuk masyarakat Indonesia!”

 

Batang maupun pelepah sawit bisa dimanfaatkan jadi bahan baku cellulosic ethanol. Foto: Fahmi/Ficus

*Penulis: Tenny Kristiana, Associate Researcher, the International Council on Clean Transportation. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Exit mobile version