Mongabay.co.id

Pelanggan PLTS Atap Lesu, Bagaimana Pembiayaan?

 

 

 

 

 

 

Setelah pemerintah merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) No 26/2021 tentang PLTS Atap, sejumlah pengguna surya atap keluar dari jaringan PLN (offgrid). Skema baru yang meniadakan ekspor energi, membatasi kuota pelanggan dan kewajiban sertifikat layak operasi (SLO), dinilai memberatkan pelanggan PLTS atap.

“Sebagian anggota kami sejak 2018 mengeksplor opsi lain untuk offgrid,” kata Yohanes Bambang Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) dalam jumpa pers beberapa waktu lalu.

Menurut Sumaryo,  umumnya mereka adalah pelanggan R3, rumah tangga besar, di tegangan rendah dengan daya lebih 600 VA. Untuk sepenuhnya,  offgrid pelanggan-pelanggan ini dengan baterai sebagai penyimpan daya karena PLTS menghasilkan listrik hanya siang hari.

Pelanggan R3 ini biasa kena tarif Rp11.699 per kWh ditambah pajak daerah dan pajak pertambahan nilai. Dengan penghapusan skema ekspor-impor ditambah syarat SLO dan analisa beban tiga bulan terakhir, pelanggan memilih offgrid yang dinilai lebih kompetitif.

Dengan harga saat ini sekitar Rp12 juta per kw, pelanggan R3 bisa memasang listrik offgrid 20 kw dengan Rp140 juta.

Dengan tarif listrik Rp2.000 per kWh harga ini diyakini Sumaryo akan memicu tren beralihnya pelanggan R3 ke offgrid.  Potensi pelanggan R3 pada 2018 tercatat sekitar 2 juta pelanggan dengan potensi mencapai 40 gigawatt.

“Pelanggan ini tidak berada di area yang remote atau kepulauan, justru berada di perkotaan.”

 

Baca juga: Revisi Aturan PLTS Atap Rawan Lemahkan Minat Pasar

PLTS panel surya di atap rumah sakit Pertamina, Cilacap, Jateng. Foto : IESR

 

Pelanggan lesu

Selain mengalihkan pelanggan perkotaan ke offgrid, revisi ini juga menghambat masuknya pelanggan baru, misal di Bali.

Asosiasi PLTS Bali mencatat sejak Pergub Bali No 45/2019 tentang Bali Energi Bersih terbit, PLN UID Bali menerima 159 permohonan PLTS atap.

Namun, sampai Februari 2023 hanya dua terpasang, atau hanya 1%. Padahal,  96% atau 152 permohonan telah disurvei, dan 149 sudah evaluasi.

Secara nasional, KESDM menargetkan pengembangan PLTS 3,61 gigawatt hingga 2025. Sampai November 2022,  PLTS atap 6.461 pelanggan dengan total kapasitas 77,60 MWp. Sepanjang 2022,  ada kenaikan rata-rata perbulan 2,4 megawatt dan 138 pelanggan.

Mayoritas pelanggan golongan rumah tangga, 4,772 pelanggan. Total kapasitas paling tinggi dari industri 33,2 MWp.

Semula revisi Permen 26/2021 dilakukan karena capaian PLTS belum sesuai target dan implementasi regulasi PLTS atap belum optimal.

Untuk percepatan implementasi program PLTS atap nasional, ada insentif tak kena lagi biaya operasi paralel dan memberi kesempatan luas bagi masyarakat memasang PLTS atap dengan tak ada batasan kapasitas sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS atap.

Namun,  dalam revisi justru menghilangkan ekspor listrik yang semula berguna untuk mengurangi tagihan pelanggan dan kapasitas diatur dalam kuota yang ditetapkan pemerintah.

Revisi ini menurut Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, karena ada potensi kurangnya pendapatan PLN hingga Rp5,7 triliun per tahun, dengan tambahan 450 megawatt peak pada 2022 harus 100% diserap PLN.

Selain menjabat sebagai Direktur EBTKE dan Plt Dirjen Ketenagalistrikan, Dadan juga diangkat sebagai Komisaris PLN.

Erlangga Bayu, Ketua Asosiasi PLTS Atap Bali, melihat statistik PLN 2021. Di sana disebutkan, pendapatan perusahaan negara ini Rp279 triliun. Jika estimasi nilai energi PLTS atap 75% dan rata-rata menghasilkan listrik selama empat jam perhari, selama satu tahun penghematan energi Rp108 miliar atau hanya 0,039%.

“Dari mana PLN dapat laporan seperti ini? PLN merasa rugi, yang diubah aturannya. KESDM ikut-ikutan mendorong PLN menghambat PLTS,” katanya.

 

Baca juga: Menanti Perbaikan Aturan PLTS Atap

Surya atap di Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Untuk Bali,  dengan kapasitas terpasang hingga Juli 2022 sebesar 4.483,40 kWp dan estimasi energi yang dihasilkan 4.295.658 pendapatan PLN hilang-dengan asumsi semua energi digunakan langsung pelanggan dan tak diekspor-adalah Rp5,9 miliar. Angka ini, hanya 0,093% dari total pendapatan PLN UID Bali 2022 sebesar Rp6,3 triliun.

“Jika, dianggap pemakaian PLTS dapat mengurangi revenue PLN, memang benar karena ada penurunan tagihan listrik pelanggan. Jika dihitung penghematan energi ekspor yang hanya dihargai 65%, tentu potensi hilangnya revenue ini akan lebih kecil,” kata Erlangga.

“PLTS sering dianggap dapat menimbulkan kerugian finansial bagi PLN, meskipun sebenarnya untuk skema ekspor impor, PLN tak mengeluarkan uang kepada pelanggan. Listrik yang diekspor pelanggan ke jaringan hanya dapat digunakan kembali oleh pelanggan yang sama. Artinya,  hasil ekspor listrik dari PLTS hanya untuk penghematan sendiri,” katanya.

Jadi, secara umum dari aspek finansial, PLTS atap di Bali tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja PLN terutama PLN UID Bali.

“Intermitensi hanya akan terjadi jika seluruh pelanggan menggunakan PLTS atap hingga 100%, tentunya itu sangat sulit terjadi.”

Senada dikatakan Fabby Tumiwa, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Linus Sijabat, Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi).

Menurut Fabby,  pada 2022 banyak anggota AESI tak bisa dapat izin PLN karena pembatasan kapasitas PLTS atap hanya boleh 10- 15% dari kapasitas terpasang. Keadaan ini, katanya, menyulitkan industri yang hendak memasang PLTS karena ingin mengurangi jejak karbon mereka.

“Yang kami sayangkan tak ada koreksi dengan alasan PLN akan rugi yang hitungannya tak pernah diperlihatkan. Kementerian Keuangan juga tidak pernah menanyakan pada asosiasi karena dari hitungan kami tidak rugi,” kata Fabby.

Menurut Apamsi,  kapasitas produksi saat ini mencapai 850 megawatt tetapi produksi baru 270 megawatt per tahun.

“Tidak lebih dari setengahnya dengan utilitas di bawah 5%,” kata Linus.

Dia ingat pada 2013,  pemerintah membuka peluang membangun 150 megawatt PLTS. Asosiasi gencar mengembangkan usaha.

Namun hingga 2017,  hanya 8 megawatt yang commercial operation date (COD) karena pabrik tak jalan, penyebabnya, regulasi terus berubah.

“Pada 2018 kita kejar PLTS atap tapi susah mendapatkan pendanaan. Bank di Indonesia tidak ada yang mau membiayai,” katanya.

 

PLTU Pangkalan Susu. bagaimana transisi energi mau jalan, kalau yang jadi anak emas masih pembangkit batubara. Aturan masih belum mendukung penuh, seperti surya atap, kebijakan terbaru malah bikin lesu pelanggan. Pembiayaan terhadap energi terbarukan pun minim.  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Pembiayaan minim

Soal pendanaan, Lili dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) katakan, kalau pembiayaan energi terbarukan masih jauh dari realisasi.

Target pembiayaan energi terbarukan 2022 Rp60,61 triliun, hanya terpenuhi Rp23,6 triliun atau 38,94% dari target. Sementara target rencana investasi energi terbarukan sampai 2030 Rp1.917 triliun.

Bank-bank BUMN Indonesia, kata Lili, mestinya bisa berperan besar dalam memberikan pendanaan bagi energi terbarukan termasuk PLTS.

Kalau dibandingkan dengan Malaysia, katanya,  pembiayaan bank di Indonesia untuk energi terbarukan masih kecil. Bank Mandiri misal selama 2019-2020 menyalurkan dana kurang dari Rp2 triliun untuk energi terbarukan.

BNI meski sempat melesat naik namun turun lagi dan tak lebih dari Rp2 triliun. Bandingkan dengan bank dari Malaysia seperti CIMB, Maybank dan Hong Leong yang menyalurkan pendanaan lebih Rp10 triliun dalam kurun waktu sama.

Catatan AEER,  secara umum energi terbarukan sulit mendapat pendanaan. Tahun 2019,  ada 18 proyek pembangkit energi terbarukan belum mendapat pembiayaan termasuk PLTA, PLTMh, PLTBg. Tahun 2021,  ada 48 proyek PLTMh dan lima PLTA yang juga terkendala pembiayaan.

Menurut Lili,  kendalanya antara lain dari tarif lebih tinggi dibanding batubara, belum ada project finance sebagai jaminan bank BUMN, tingkat risiko sama antara proyek skala kecil, menengah dan besar.

“Perlu insentif untuk lembaga perbankan nasional dalam pendanaan energi terbarukan dan disinsentif untuk investasi batubara, serta koordinasi lintas sektor kementerian dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” kata Lili.

 

Panel Surya dialokasikan secara utama pada atap Tokopedia Tower. Foto: Ciputra Development

 

Sampai April 2021,  belum ada bank di Indonesia yang masuk dalam net zero banking alliance, aliansi yang berkomitmen mengalihkan pinjaman dan portofolio investasi sejalan dengan target net zero emission pada 2050. Padahal, katanya,  negara berkembang lain seperti Bangladesh,  sudah ada yang bergabung pada Maret 2020.

Selain itu, katanya, belum ada bank BUMN yang komitmen berhenti mendanai batubara seperti bank dari Malaysia, Jepang bahkan Tiongkok.

“Bank of China bahkan sudah menunjukkan niat transisi,” kata peneliti Market Forces, Bin Bin Mariana.

Komitmen ini termasuk untuk tak mendanai PLTU industri (captive coal power plant). Alasannya,   antara lain karena prediksi International Energy Agency (IEA) menyatakan,  permintaan batubara akan terus menurun di masa depan.

“Apa sih maunya bank-bank BUMN ini? Apa strateginya untuk bisnis yang demand-nya terus turun ini? Ini tidak hanya lingkungan bermasalah juga ekonomi,” kata Bin Bin.

Citra Dewi, Executive Vice President New and Renewable Energy PLN, mengatakan,  PLN berkomitmen meningkatkan pengembangan energi terbarukan jenis apapun termasuk PLTS atap.

Pemerintah, katanya, sedang mengkaji regulasi yang ada.

“Prinsipnya,  PLTS atap untuk pemakaian sendiri silakan selama tidak masuk grid,” kata Cita.

Untuk masuk grid PLN mengacu pada angka 29 gigawatt dalam RUPT karena masuknya PLTS, akan berpengaruh pada sistem intermitensi. Dengan begitu, katanya, PLN harus menyiapkan sistem frekuensi yang akan berpengaruh pada stabilitas tegangan.

 

 

 

*******

 

Exit mobile version