Mongabay.co.id

Konflik Satwa Liar Masih Terjadi di Sumatera Barat, Pakar Ingatkan Potensi Zoonosis

Harimau sumatera yang ruang hidupnya menyempit karena habitatnya terganggu. Foto: Shutterstock

 

 

Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Barat menggagas solusi untuk kasus konflik masyarakat dengan buaya dan harimau yang masih terjadi.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar, mengatakan pihaknya merencanakan pembuatan penangkaran semi alami untuk buaya-buaya yang berkonflik. Lokasinya di Tiku V Jorong.

Terkait konflik harimau dengan masyarakat di Solok Selatan yang ternaknya dimangsa,  pihaknya menyarankan untuk membuat kandang komunal.

“Bila sudah ada kami juga tidak keberatan,” terangnya.

Pada 25 Maret 2023 lalu, Ardi kembali mengabarkan seekor sapi warga di Jorong Bariang Palabihan dan satu anak kerbau di Jorong Koto Rambah, dimangsa harimau. Pihaknya bersama perangkat nagari dan jorong berusaha menghalau inyiak balang tersebut dengan bunyi-bunyian.

“Tim melakukan edukasi dan sosialisasi kepada warga agar selalu berhati-hati dan waspada. Jangan pergi sendirian ke kebun, serta mengkandangkan ternaknya dengan cara aman. Tim akan terus memantau keberadaan harimau,” ujarnya.

Baca juga: Harimau Mangsa Ternak Warga di Sumatera Barat, Pola Pemeliharaan Perlu Diperhatikan

 

Harimau sumatera yang ruang hidupnya menyempit karena habitatnya terganggu. Foto: Shutterstock

 

Wilayah konflik

BKSDA Sumbar mencatat, tiga kabupaten terbanyak mengalami kasus konflik satwa pada 2022 adalah Kabupaten Agam [15 kasus], Kabupaten Pasaman [11 kasus], dan Kabupaten Solok [12 kasus].

Diikuti Kabupaten Pasaman Barat [10 kasus], Kota Padang [6 kasus], Kabupaten Solok Selatan [3 kasus], Kabupaten Padang Pariaman [2 kasus], Kabupaten Sijunjung [2 kasus], Kota Solok [2 kasus], dan Kabupaten 50 kota [2 kasus], Kota Pariaman [1 kasus], dan Kota Batusangkar [1 kasus].

Satwa yang terlibat konflik dengan manusia adalah harimau sumatera [34 kasus], buaya muara [24 kasus], beruang madu [11 kasus], macan dahan [1 kasus], kukang [1 kasus], serta siamang [1 kasus].

Baca: Konflik Manusia dengan Buaya Sering Terjadi di Sumatera Barat, Peneliti Ingatkan Polanya

 

Buaya muara [Crocodylus porosus] yang memiliki pola mempelajari kebiasaan mangsanya sebelum menerkam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi zoonosis

Ardinis Arbain, pakar lingkungan hidup Universitas Andalas, mengatakan sesungguhnya Sumatera Barat mempunyai regulasi RPPLH [Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup] dalam bentuk peraturan daerah yang mestinya dijalankan bertahap dan konsisten.

“Penurunan kualitas habitat satwa dan penurunan jumlah jenis keanekaragaman hayati amat berpeluang meningkatkan potensi zoonosis. Jika jumlah dan jenis hewan yang menjadi habitat virus semakin berkurang, tentu saja virus dapat mencari inang baru. Inang baru yang cukup tersedia adalah manusia,” terang dosen senior jurusan Biologi Unand, baru-baru ini.

Dia mengatakan, virus mempunyai kemampuan memperbanyak diri dan bermodifikasi dalam waktu cepat. Bila satwa yang biasa menjadi tempat bernaung hilang maka mereka akan segera cari gantinya.

“Bila monyet, musang, maupun kelelawar berkurang jumlahnya, maka virus beralih ke tempat baru,” terangnya.

 

Hutan rimbo tolang di Dharmasraya, Sumatera Barat. Foto: Jaka Hendra Baittri/Mongabay Indonesia

 

Ardinis mengatakan, manusia harus peduli dan menjaga lingkungan karena hidup di Bumi yang sama dengan makhluk hidup lainnya.

“Semua bagian dalam sistem mempunyai peranan penting. Bila satu bagian terganggu maka seluruh sistem akan terpengaruh. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada elastisitas, atau daya resilience sistem tersebut,” tegasnya.

 

Exit mobile version