- Konflik harimau sumatera kembali terjadi di Sumatera Barat. Dua ekor kerbau warga diterkam di wilayah di Jorong Koto Rambah, Nagari Lubuak Gadang Utara, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sabtu [04/03/2023].
- Kerbau tersebut diikat di areal yang berbatasan dengan hutan. Kejadiannya pukul 15.00 WIB.
- Budaya masyarakat setempat memang tidak mengandangkan ternak, melainkan membiarkan di tanah lapang.
- Hidup berdampingan dengan karnivora besar bisa dilakukan, dengan membuat manajemen hewan ternak. Bila ternak memiliki kandang yang baik, konflik bisa bisa dieliminir.
Konflik harimau sumatera kembali terjadi di Sumatera Barat. Dua kerbau milik warga diterkam di wilayah di Jorong Koto Rambah, Nagari Lubuak Gadang Utara, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sabtu [04/03/2023].
Joni Pardilo, Wali Nagari Lubuk Gadang Utara Solok Selatan mengatakan, kerbau tersebut diikat di areal yang berbatasan dengan hutan. Kejadiannya pukul 15.00 WIB dan harimau tidak terlihat.
“Satu ekor kerbau yang selamat tengah diobati,” ujarnya, Jumat [10/03/2023].
Joni mengatakan, warga masih mengembalakan ternaknya dengan hutan.
“Budaya beternak masyarakat memang seperti itu, tidak dikandangkan, tetapi dibiarkan di tanah lapang,” katanya.
Roni Candra, Kepala Jorong Koto Ramba Nagari Lubuk Gadang Utara mengatakan, kerbau warga mulai dimangsa sejak 2018.
“Harapannya, ternak kami aman serangan harimau, sehingga pendapatan masyarakat tidak berkurang. Banyak anak kami yang biaya sekolahnya dari hasil penjualan ternak,” katanya.
Jasman selaku warga Lubuk Gadang Utara mengatakan, November dan Desember 2022 lalu terjadi hal yang sama.
“Sungai Lolo ada dua ternak dan di Bariang satu ternak,” jelasnya.
Baca: Lepas Liar di Solok, Konflik Harimau Manusia Terus Terjadi
Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Barat [Sumbar] meminta warga tidak resah dan panik. Sebab, harimau hanya datang sementara.
“Muncul sesaat saja. Saat ini sudah tak ada lagi kemunculan,” terang Kepala BKSDA Sumbar Ardi Andono.
Dia mengatakan, tim BKSDA Sumbar telah ke lokasi, tempat diduga kemunculan harimau tersebut, Minggu [05/03/2023]. Tim datang sehari setelah kejadian.
“Kami memberikan pengertian kepada warga permasalahan ini,” ujarnya.
Terkait kendang komunal, Ardi mengatakan, pihaknya pernah menawarkan bantuan pembangunan ke warga. Namun, hingga kini belum terwujud.
“Kandang komunal artinya kandang ramai-ramai. Mungkin konsepnya belum sesuai di masyarakat. Setiap konflik selalu kami tawari. Target tahun lalu dua unit, tapi tidak jadi,” terangnya kepada awak media.
Baca: Warga Salareh Aie Sesalkan Kematian Harimau Puti di Pusat Rehabilitasi
Manajemen ternak
Erlinda Kartika, Phd candidate di Departemen Wildlife Ecology and Conservation Wegeningen University, mengatakan ketika anak harimau memasuki fase berpisah dengan induknya, harus mencari teritori baru.
“Seringkali jantan mencari lokasi lebih jauh dari sang induk, sementara betina masih dekat induk,” katanya.
Habitat yang menyempit, membuat harimau muda ini mencari alternatif. Perkampungan terdekat bisa menjadi tujuannya. Terlebih, menurut dia, manajemen peternakan masih kurang tertata, misal ternak masih dibiarkan keliaran.
“Pada beberapa penelitian menunjukkan, hidup berdampingan dengan karnivora besar bisa dilakukan, dengan membuat manajemen hewan ternak. Bila ternak memiliki kandang yang baik, konflik bisa bisa dieliminir.”
Menurutnya, harimau akan lebih memilih ternak masyarakat yang tidak dikandangkan dengan memburu rusa sambar yang bisa menghabiskan banyak energi mengejarnya.
Terkait pola konflik Erlinda mengatakan beda tempat beda karakteristik.
“Konflik satwa liar selalu site specific. Faktor lingkungan seperti karakteristik wilayah, manajemen hewan ternak, peternak dan faktor sosial masyarakatnya jadi penentu intensitas konflik,” katanya.
Ketika toleransi terhadap harimau tinggi, masyarakat yang bertemu harimau tidak akan langsung membunuh satwa itu ketika terlibat konflik.
“Toleransi bisa dipengaruhi pengetahuan masyarakat terhadap ekologi harimau, pencegahan konflik, serta kearifan lokal terhadap harimau,” katanya.
Ardinis Arbain, pakar lingkungan hidup Universitas Andalas, berpendapat konflik terjadi karena meingkatnya intensitas kegiatan manusia pada habitat alami harimau.
“Manusia memasuki hutan atau ladang yang tadinya habitat harimau. Mungkin, pembukaan ladang dengan membakar juga mengganggu harimau. Sementara itu hewan yang biasa dimangsa seperti babi dan lainnya berkurang,” katanya.
Menurut dia, perlu dikembangkan peningkatan kualitas habitat harimau atau satwa liar umumnya.
“Caranya, dengan meningkatkan tutupan vegetasi, membuat koridor satwa, dan mengurangi intensitas kegiatan manusia di home range harimau,” katanya.
Ardinis menuturkan, kondisi ini perlu dilihat dengan perubahan paradigma, terutama dalam hal pengembangan ekonomi. Pengembangan perkebunan kopi atau karet mungkin lebih ketimbang mendorong perluasan tanaman sawit.
Baca juga: Harimau Muncul saat Perusahaan Sawit Buka Lahan di Pasaman Barat, Satwa Terganggu?
Upaya pencegahan
Hariyo T. Wibisono, praktisi konservasi harimau dari Yayasan Sintas Indonesia, menyebut kemunculan harimau merupakan hal umum dan biasa terjadi di wilayah berdekatan hutan. Berdasarkan survei Tim Sintas dan BKSDA Sumatera Barat 2018-2019, masih banyak ditemukan individu harimau dan satwa lain.
“Hasil survei menunjukkan, populasinya cukup banyak, sehingga kecenderungan konflik memang tinggi bahkan sudah terjadi berkali. BKSDA Sumbar sudah familiar dan berpengalaman menanganinya,” terangnya kepada Mongabay baru-baru ini.
Dia mengatakan, perlu dikaji mengapa harimau cenderung keluar, apakah karena dekat permukiman, gangguan dari luar yang tinggi, atau kualitas satwa mangsa menurun.
Dari kasus ini, lanjutnya, kawasan tersebut sudah wall to wall artinya kawasan hutan langsung ke permukiman/peladangan masyarakat. Ini mengindikasikan kawasan penyangga sudah tidak optimal lagi. Idealnya kawasan hutan itu, apalagi kawasan lindung, harus ada zona penyangga, baik artifisial [buatan] maupun alamiah, kawasan yang sifatnya peralihan.
“Jika harimau induk tersebut sedang menyusui, kebutuhan pakan akan lebih banyak hingga 20-30 persen. Jadi, banyak faktor ekologis dan behavior yang mesti dikaji,” ungkapnya.
Konflik sendiri, katanya, akan selalu terjadi. Saat populasi sehat, maka jumlah harimau bertambah. Sebaliknya, ketika sedikit karena habitat terganggu, harimau akan keluar mencari mangsa. Satwa ini, perlu ruang jelajah antara 20-30 kilometer.
Untuk itu, bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan, agar selalu waspada.
“Jangan ke hutan sendiri atau kalau memang tidak penting sekali jangan ke hutan dan selalu mengawasi ternak di kandang,” terangnya.
Senda, ekolog satwa liar Sunarto, mengatakan ada dua faktor yang membuat harimau keluar dari hutan, yakni pull [tarikan] dan push [tekanan].
Tarikan dari luar, katanya, seperti ada ternak tak cukup terlindungi. Dibiarkan bebas atau mudah dijangkau. Sedang tekanan dari dalam, seperti ada harimau lain yang ingin menguasai wilayah tertentu sebagai teritorinya.
“Sebisa mungkin harimau mencari wilayah aman dari harimau lain, jika tidak akan diserang. Keterbatasan satwa mangsa karena perburuan juga menambah tekanan bagi harimau keluar mencari sasaran lain.”
Untuk pencegahan jangka pendek, kata Sunarto, masyarakat harus tetap waspada. Tidak ke hutan tanpa teman dan jangan terlalu sering menggarap lahan dengan kontur terlalu rendah. Pastikan juga berkoordinasi dengan BKSDA mengenai cara mengantisipasi terjadinya konflik.
“Untuk ternak, buatlah kandang yang bagus dan kuat agar tidak mudah diterobos harimau. Sekitar kandang juga dibersihkan agar lebih terang,” paparnya.