Mongabay.co.id

Batik Pewarna Alami Sumurgung, Upaya Kembangkan Fashion Ramah Lingkungan

 

 

 

 

 

Nikmatul Khasanah begitu cekatan saat menggambar motif batik tulis pada selembar kain putih di depannya.  Raut wajah begitu sumringah. Perasaan khawatir yang menyelemuti selama ini sudah hilang karena kini sudah membatik dengan pewarna alami.  Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, Nikmatul tak begitu senang membatik. Bukan karena persoalan pekerjaan, melainkan dari dampak negatif yang dia rasakan.

“Membatik ini peninggalan leluhur kami. Saya senang. Tapi pada saat membatik saya sering merasa gatal-gatal di tangan. Itu membuat saya tidak nyaman,” katanya kepada Mongabay, belum lama ini.

Warga Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban,  Kabupaten Tuban, Jawa Tengah sehari-harinya membatik. Membatik bagian tak terpisahkan bagi Nikmatul dan warga lain di Sumurgung.

Nikmatul bilang, kesetiaan warga Desa Sumurgung dalam membatik tak perlu diragukan lagi. Hampir seluruh perempuan di Sumurgung terjun dalam industri batik, baik produksi rumahan maupun perusahaan.

Namun, saat gatal-gatal dan beberapa masalah kesehatan menyerang, dia mulai berpikir panjang tentang pekerjaan membatik ini. Dia awalnya tak mengetahui apa penyebabnya, tetapi setelah berkonsultasi dengan dokter, Nikmatul baru mendapatkan jawaban.

“Sesak napas, gampang capek, mudah lemas, ini gejala Hepatitis A,” kata dokter kepada saya.

 

Kulit kayu juga salah satu bahan pewarna alami. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Mendengar hasil pemeriksaan itu, dia langsung berhenti membatik. Nikmatul menyadari, apa yang dirasakan merupakan dampak dari aktivitasnya selama ini bergelut dengan industri batik yang gunakan pewarna sintetis.

“Saya sudah lama bekerja di industri batik sintetis  dan dokter menyarankan tidak lagi membatik memakai bahan sintetis karena bisa berpengaruh pada kesehatan tubuh.”

Keluhan gatal-gatal yang dialami Nikmatul bukan hanya dirasakan dia saja, melainkan sesama pembatik di Sumurgung.

“Saya juga merasakan gatal-gatal saat membatik. Tapi itu dulu saat memakai bahan sintetis itu, kalau sekarang sudah tidak lagi,” kata Siti Amaroh, pembatik asal Desa Sumurgung yang ditemui Mongabay.

Masalah kesehatan yang dialami Nikmatul dan Siti ini dampak buruk dari penggunaan bahan kimia pada industri batik.

Edia Rahayuningsih, pengajar di Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada sudah lama meneliti dan memerhatikan soal penggunaan bahan kimia pada proses membatik.

Dalam penelitiannya, proses membatik menggunakan bahan kimia tergolong tak ramah lingkungan apalagi persoalan limbah yang mengalir ke tanah sampai ke air akan merusak ekosistem.

“Bahan-bahan yang bersifat karsinogenik pun jika masuk ke dalam tubuh bisa membahayakan kesehatan manusia,” kata Edia.

Ketergantungan para perajin pada bahan sintetis karena setok bahan mudah, murah, praktis, dan lebih cerah. Padahal, bahan sintetis pada proses membatik seperti natpol sudah dilarang sejak 1996.

Menurut dosen sekaligus peneliti ini, bahan sintetis pada pewarnaan batik oleh para perajin harus diganti dengan bahan alami agar lebih memberi dampak baik lagi bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

 

Daun-daunnan juga bahan pewarna alami. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Pewarna alami

Beberapa perajin batik,  mayoritas perempuan berkumpul dan membentuk komunitas perajin batik di Sumurgung.

Ada puluhan perajin bergabung, tetapi yang bertahan sampai sekarang tersisa 13 orang. Komunitas ini mereka namakan “Putri Berdikari Batik”. Salah satu alasan pembentukan, mereka ingin mengubah pola membatik di Sumurgung dari pewarna sintetis, ke bahan alami yang lebih ramah lingkungan.

Sejak kesepakatan dibuat, pada 2018,  Putri Berdikari Batik berdiri dan mulai pakai bahan alami dalam pewarnaan batik mereka. Dengan segala keterbatasan, mereka mencari dan riset mandiri terhadap bahan-bahan alami yang bisa digunakan.

“Kami memulai mandiri, mencari warna sendiri, bahkan riset sendiri,” kata Warsimah, Koordintaor Putri Berdikari Batik kepada Mongabay.

Dia bilang, saat pencarian warna, mereka mengumpulkan puluhan jenis tanaman, baik itu tumbuhan hidup di lingkungan sekitar, atau kulit buah-buahan di pasaran. Misal, daun mangga menghasilkan warna kuning, daun jambu monyet dan daun juwet atau jamblang warna cokelat, serta kulit rambutan yang menghasilkan warna hitam.

“Kulit rambutan ini biasa kami minta kepada penjual, apalagi rambutan yang sudah busuk, jadi kami tidak membeli melainkan memanfaatkan sisa sampah yang ada. Ada juga daun jambu biji, daun sawo, daun mahoni, daun ketapang, daun alpukat dan masih banyak lagi bahan alami yang kami pakai,” kata Warsimah.

 

Batik dengan pewarna alam dari Sumurgung. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

 

Untuk mengatasi kelangkaan bahan baku, kelompok PBB juga berinisiatif membuat kebun percontohan. Segala jenis tanaman mereka tanam untuk memangkas pembelian bahan baku dan makin mendekatkan masyarakat tentang pengetahuan dan kearifan lokal terhadap batik alami di Sumurgung.

Warsimah bilang, jauh sebelum bahan kimia dikenal, orang terdahulu memakai  bahan alami di sekitar  mereka sebagai bahan pewarna batik.

“Dengan dibentuknya PBB ini kami mau bergerak di batik bahan alami ramah lingkungan dan terus menjaga warisan batik.”

Alamsyah, dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, dalam jurnal ilmiahnya sepakat, batik alami sudah lebih dulu bahkan sejak abad ke-20. Artinya, sikap menjaga lingkungan dalam produk kerajinan batik sudah praktik lama.

Kelompok PBB tidak sendiri. Selama berdiri lima tahun, mereka didampingi Yayasan Sahabat Pulau Indonesia. Yayasan ini fokus pada isu lingkungan serta bermitra dengan Baznas Indonesia dalam memperbaiki ekonomi masyarakat dengan menaruh kepedulian terhadap lingkungan.

Musawir, pendamping Baznas di Desa Sumurgung mengatakan, program eco fashion community lama digagas Baznas dan mitra mereka, Sahabat Pulau Indonesia. Mereka fokus pada program pemberdayaan masyarakat khusus kelompok perempuan pembatik.

“Kami melihat di Tuban banyak sekali perajin batik tapi masih sedikit yang fokus pada bahan alami. Padahal,  bahan alami lebih bagus dibandingkan bahan sintetis dalam membatik. Pendampingan ini juga untuk memberikan kesadaran tentang betapa pentingnya memperbaiki ekonomi tanpa mengesampingkan lingkungan,” kata Musawir melalui saluran telepon.

Dia bilang, eco fashion ini untuk mengubah cara pandang banyak orang, apalagi dalam membangun kesadaran menyelamatkan lingkungan masih minim dalam memperbaiki ruang hidup yang lebih baik lagi ke depannya.

 

Kelompok Putri Berdikari Batik, yang berupaya membatik dengan ramah lingkungan. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Dorong eco fashion

Batik begitu berpengaruh dalam tren fashion dunia. Saat ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia tak benda pada 2009, reputasi batik Indonesia makin dikenal luas.

Pada 2020, data Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Kementerian Perindustrian menyebutkan, Indonesia pernah mengeskpor batik ke Prancis 266 ton dengan kisaran US$6,53 juta. Prancis sebagai pusat fashion dunia rutin membeli batik dari Indonesia. Sejak pandemi pembelian berkurang.

Pada 2021, menurut data BBKB, Indonesia paling banyak mengeskpor batik ke Amerika sekitar 1.211 ton dengan nilai US$24,7 juta. Setelah itu, ada Inggris, Malaysia, Fiji, Thailand, Kanada, Turki, dan Jepang. Ekspor batik ini didukung sekitar 3.159 usaha batik yang tercatat di Indonesia dari data Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB).

Permintaan besar-besaran terhadap batik ini tidak menggugurkan perjanjian yang telah disepakati oleh Indonesia 12 tahun silam. Yaitu, kesepakatan bersama yang dibahas pada world batik summit tahun 2011 tentang dukungan kepada produksi batik alami di Indoneisa dan memberi perlindungan kepada lingkungan dan alam terkait kegiatan industri batik di tanah air.

Upaya perlindungan dan pemanfaatan bahan alami dalam industri batik ini, baik kebutuhan ekspor atau dalam negeri yang dilirik  kelompok PBB.  Mereka menaruh harapan besar agar industri batik ke depan bisa lebih baik lagi dan memperhatikan lingkungan. Juga lebih mendorong model fashion ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Febby Sherliandini, penggerak Sahabat Pulau Indonesia bilang, eco fashion batik di Tuban, khusus Desa Sumurgung, sekaligus mendukung pelestrian lingkungan dari banyak aspek termasuk soal limbah.

Konsep eco fashion konsen terhadap produk kualitas tinggi. Motif yang dibuat berpadu dengan bahan alam agar mendorong para perajin sadar kekayaan alam sekitar mampu menunjang kinerja produksi batik di Tuban atau Sumurgung.

“Karena keterbatasan pengetahuan itulah yang membuat sebagian perajin terlena dan hanya bersandar pada penggunaan bahan kimia atau sintetis. Untuk itu,  Sahabat Pulau hadir dan menjembatani masalah tadi,” ujar perempuan yang kerap disapa Alin ini.

Dia bilang, besar harapan penggunaan bahan alam makin gencar dan bahan sintetis atau kimia makin ditinggalkan. Untuk itu, katanya, tujuan eco fashion mendorong perajin batik tulis di Sumurgung tidak lagi pakai bahan sintetis melainkan bahan alami.

“Bahan alami akan jadi nilai tinggi. Ini bisa berpengaruh pada harga jual, terutama pendapatan ibu-ibu perajin batik,” kata Alin.

Kini, Putri Berdikari Batik berhasil memproduksi ratusan batik berbahan alami. Penjualan mereka juga sudah menyasar pasar lokal dan nasional. Bahkan, batik alami mereka mulai digemari kalangan remaja. Aktifnya kelompok PBB turut mendorong terbentuknya Desa Sumurgung menjadi desa wisata di Tuban, dan batik bahan alami dari PBB merupakan bagian oleh-oleh dari desa ini.

“Motif yang banyak diminati ada motif Sidomukti, ririnan, kupat pasar, dan manggara. Kami telah mencatat ada 90-an motif yang kami produksi dan masih akan bertambah lagi,” kata Warsimah.

 

 

Kebun tanaman yang dijadikan bahan pewarna alami. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

********

 

 

Exit mobile version