Mongabay.co.id

Ikan Dewa, Pelindung Mata Air Sedari Nenek Moyang

Ikan dewa atau Kancra bodas, ikan endemik Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Barangkali tak ada ikan yang lebih sakti dari kancra bodas alias ikan dewa. Siapa yang mau bertaruh? Ikan dari genus Tor ini diyakini punya umur layaknya dewa. Hanya saja kebenarannya masih belum banyak diteliti. Lantaran saking langkanya ikan air tawar satu ini.

Tapi di kolam budidaya di Dusun Margamukti, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, ikan yang sepintas mirip ikan mas ini tampak gesit bergerak ke segala penjuru kolam. Adalah Erik Hamdan Nugraha (29), warga yang mampu membudidayakannya hingga menembus pasar ekspor.

“Ikan Tor soro (ikan dewa) di sini ada yang umurnya lebih 30 tahun,” kata Erik saat ditemui akhir Maret lalu.

Pagi itu, Erik menebar pelet ke kolam di samping halaman rumahnya. Sejak memulai budidaya tahun 2018, Erik bersama kakaknya kini sudah punya 200 indukan ikan dewa. Ukurannya, rata-rata sudah lebih dari 30 centimeter.

“Satu bibit benih ini bisa menghasilkan 2.000-4.000 telur ikan dewa dengan pola kawin 2-3 kali dalam setahun. Sepanjang pengamatan selama ini persentase keberhasilan pembenihannya sudah lebih dari 80%,” kata Erik.

Senyum Erik sedikit menyimpul. Bangga. Sejauh ini, Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Mina Kancra Ciburial itu salah satu yang berhasil membudidayakan ikan endemik itu.

Model budidaya dibuat semi alami. Syaratnya jika dipelihara di kolam keberadaan air diusahakan mengalir berkelanjutan. Kualitas airnya juga harus terus diperhatikan karena untuk pertumbuhan ikan dewa mesti bersuhu 21-25 derajat Celcius.

Kebetulan lokasi kolam dekat dengan mata air Ciburial yang keluar dari kaki Gunung Tampomas. Mata air itu juga menjadi hulu Sungai Cipeles yang mengaliri tiga kecamatan di Sumedang, yaitu Cimalaka, Cisarua, dan Paseh.

“Dulu kakek dari istri saya membawa bibit ikan dewa dari Sungai Cimanuk ke sini,” ujar Erik.

baca : Menyelamatkan Ikan Endemik Asli Indonesia dari Ancaman Kepunahan

 

Benih ikan dewa atau Tor Soro, ikan endemik di Dusun Margamukti, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Temperatur suhu segitu memang sesuai habitat alaminya. Sebetulnya, ikan Tor ini juga ditemukan di hutan-hutan tropis Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan karakteristiknya, ikan dewa hidup di sumber air yang jernih, bersih, dan mengalir secara terus-menerus. Mata air yang hanya bisa timbul jika lingkungan hutannya lestari dengan pepohonan lebat.

Barangkali karena itu terciptalah folklor (legenda rakyat) di masyarakat Sunda. Mereka menganggap ikan ini dikeramatkan karena hanya dapat ditemukan di kolam keramat di sekitar Gunung Ciremai; seperti Cibulan, Cigugur, Pasawahan, Linggarjati, dan Darmaloka di Kabupaten Kuningan.

Di Cibulan, misalnya, keberadaan ikan dewa dikaitkan dengan kisah Ki Gede Padara, leluhur (karuhun) desa. Dalam kisahnya, resi itu menitipkan sumber air beserta Kancra bodas kepada warga setempat. Sebelum akhirnya tilem.

Konon ikan kancra bodas diambil dari tiga sungai yakni Sungai Cilutung di Majalengka, Sungai Cisanggarung di Kuningan dan Sungai Cijolang di Ciamis. Ketiga sungai ini kala itu berair jernih karena hutan-hutan masih terjaga.

Menurut salah satu Kuncen Kolam Cibulan, Ujang, menjaga ikan dewa dan mata air sudah dianggap sebagai pesan yang diamanatkan secara turun temurun. Pantangan yang melekat sepanjang kisahnya sampai pada perjalanan para raja Sunda yang pernah napak tilas di kawasan tersebut mampu menyelamatkan sumber mata air hingga ratusan tahun lamanya.

baca : Menolak Ikan Batak Punah, Apa yang Perlu Dilakukan?

 

Erik Hamdan Nugraha menabur pakan ikan dewa di kolam budidaya Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Mina Kancra Ciburial, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penanda Tata Ruang

Adapun Badan Riset dan Inovasi Nasional sudah sejak lama meneliti keberadaan ikan dewa di kaki Gunung Ciremai. Hasilnya, ada kesamaan taksonomi dengan ikan batak di Sumatera Utara. Sedangkan di Sumatera Selatan, namanya ikan semah. Dan di Kalimantan disebut ikan sapan, juga disebut ikan mahseer di Malaysia. Apapun penyebutannya, dalam kacamata budaya ikan ini Tor ini acapkali identik dengan wilayah yang dihormati masyarakat setempat.

Namun, menyoal cerita folklornya masih belum banyak yang bisa diuji. Ketiadaan catatan sejarah menjadi alasannya.

Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih yang ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Sukabumi, mungkin menjadi bukti itu. Prasasti yang diduga ditulis Raja Jayabupati Jayamanahen dari Kerajaan Sunda pada tahun Saka 952, menetapkan wilayah larangan ditandai dengan sejenis ikan.

Dikutip pada laman kemdikbud.go.id, pada prasasti itu tertulis daerah larangan berupa sebagian dari sungai, yang kemudian dinyatakan tertutup atau tidak diperbolehkan untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya. Ada dugaan ikan yang dimaksud Jayabupati adalah ikan Tor soro.

Apakah larangan itu kelanjutan dari larangan menangkap ikan di masa lalu? Ini masih sulit ditebak. Namun, dalam tradisi Sunda, tempat semacam ini dikenal sebagai parakan atau sipatahunan.

Tradisi ini biasanya dikaitkan dengan pemanfaatan ikan, yakni menangkap ikan bersama-sama di sungai. Sipatahunan artinya tahunan atau setahun sekali. Yang menandakan rentang waktu berkala.

Kampung Adat Naga di Tasikmalaya adalah salah satu buktinya yang masih setia pada warisan leluhur hingga masa kini. Menurut Tetua Adat Kampung Naga, Ucu Suherman, tradisi ini diartikan sebagai cara melindungi alam lewat kearifan lokal. Tujuannya adalah memberi batas agar pemanfaatan alam bisa dilakukan secara berkelanjutan.

menarik dibaca : Ikan Belida Makin Langka, Mengapa?

 

 

Foto udara kawasan wisata Cibulan, Kabupaten Kuningan Jawa Barat, yang merupakan salah satu habitat ikan endemik Jabar, ikan dewa. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menjaga Ikan Lokal

Salah satu kelebihan ikan Tor soro ini memang ada pada nilai ekonomisnya yang tinggi. Kisaran harganya bisa mencapai Rp1 jutaan lebih per kilogram.

Daging dan rasanya pun dikenal lebih kaya akan gizi. Erik bilang, kandungan albumin lebih tinggi dari ikan Gabus. “Banyak konsumen bilang rasa dagingnya tak kalah enak dari ikan Salmon.”

Setelah adanya teknologi pakan formula dan bimbingan penyuluh perikanan, kini Erik menjajal budidaya jenis endemik lainnya. Ikan Tor Tambroides, ikan Tor tambra, ikan Kelah merah, ikan Neolissochilus, dan ikan koi tersebar di keempat kolam miliknya.

Saat ini permintaan ikan dewa banyak diminati untuk pembenihan. Erik membagi dua ukuran yaitu 3-4 centimeter dan 5-7 centimeter. Walaupun kecil, benih ikan ini dihargai Rp1.000 per centimeter panjang ukuran ikan. Artinya, satu ekor benih Rp3.000-Rp7.000.

Dalam sebulan, Erik menerima permintaan 2.000-5.000 benih ikan dewa. Hasil ini cukup membuktikan jargon yang populer, tinggal di desa rezeki kota. Itu memang terbukti adanya, katanya.

Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya, Veryl Hasan, juga mengakui jika ikan endemik air tawar memang potensial dikembangkan. Begitupula dengan sirkular ekonominya.

perlu dibaca : Sungai-sungai di Jawa Sakit, Ikan Endemik Punah Perlahan

 

Ikan dewa atau Kancra bodas, ikan endemik Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Apalagi lembaga konservasi dunia IUCN banyak memasukan populasi ikan endemik Jawa itu pada status terancam punah. Untuk itu, Veryl mendorong budidaya ikan lokal seperti Tor soro dijadikan sebagai bagian dari upaya konservasi. Setidaknya memperlambat laju kepunahan. Agar tak bernasib seperti ikan Belida Lopis Jawa yang “menghilang seutuhnya” seiring perubahan lingkungan.

Tapi yang terpenting dalam konteks ikan dewa dan foklornya adalah tentang bagaimana nenek moyang dulu berhasil “menjaga” keberadaan sumber mata air. Sebab, intervensi manusia kini terhadap alam telah mengganggu keseimbangan alam. Dalam konteks kelangkaan ikan endemik lokal, bisa jadi manusia sedang akan menghadapi krisis air.

Agaknya itu relevan dengan laporan PBB yang menunjukan 40 persen warga dunia tidak mendapat akses terhadap air yang aman dikonsumsi. Sementara setengah juta bayi baru lahir meninggal karena ketiadaan air bersih. Jadi bagaimana dengan kondisi sumber mata air kita?

 

 

Exit mobile version