Mongabay.co.id

“Dukun” yang Turut Menjaga Kelestarian Bumi

Bukit Tabun, hutan larangan Suku Mapur di Dusun Pejem, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Bagi Suku Mapur, jika hutan larangan ini rusak, bencana akan menyerang manusia. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dukun bukan hanya dikenal di masyarakat Indonesia. Berbagai bangsa di dunia, juga mengenal dukun. Bahkan, pada masanya, dukun memiliki peran penting dalam peradaban sejumlah bangsa, baik di Asia, Afrika, Timur Tengah, Eropa dan Amerika Latin.

Di masa lalu, dukun mendapatkan posisi penting di masyarakat Indonesia [Nusantara] yang membangun peradadaban berpijak pada kosmosentris. Sebab, dukun merupakan sosok yang mampu menghubungkan dunia nyata dengan dunia maya [tidak terlihat].

Berdasarkan KBBI [Kamus Besar Bahasa Indonesia], dukun artinya “orang yang mengobati, menolong orang sakit, memberi jampi-jampi [mantra, guna-guna, dan sebagainya]”.

Dukun dibagi berdasarkan kemampuannya. Misalnya dukun beranak, yakni orang menolong perempuan melahirkan; dukun calak bengkong, orang yang menggunakan tumbuhan dan berbagai ramuan alami untuk menyembuhkan penyakit; dukun japa, orang yang mengandalkan mantra sebagai sarana pengobatan; dukun klenik, orang yang membuat dan memberi guna-guna atau kekuatan gaib lainnya; dukun santet dukun yang memiliki kemampuan menggunakan kekuatan sihir terhadap manusia; hingga dukun tiban, orang yang mempunyai kemampuan mengobati suatu penyakit karena adanya kekuatan gaib akibat kerasukan roh.

Seorang dukun terkadang memiliki sejumlah kemampuan. Misalnya bukan hanya mampu membantu perempuan melahirkan, juga dapat mengobati seseorang yang terkena penyakit.

Baca: Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

 

Bukit Tabun, hutan larangan Suku Mapur di Dusun Pejem, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Bagi Suku Mapur, jika hutan larangan ini rusak, bencana akan menyerang manusia. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dr. Rudi Irawanto, Dosen Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Malang, dalam artikelnya berjudul “Dukun Dalam Paradoks Kebudayaan” yang dimuat malang-post.com, menggambarkan posisi dukun tergeser di dalam sejumlah bangsa di dunia. Ini setelah menyebarnya Kebudayaan Barat yang mengedepankan rasionalitas, sebagai wujud dari masa Renaisans Eropa pada abad ke-14. Termasuk di Nusantara.

Pengetahuan yang dimiliki seorang dukun dinilai tidak rasional atau tidak memiliki dasar ilmu pengetahuan. Sementara Kebudayaan Barat, tulis Rudi, melihat fenomena irasional sebagai subjek di luar sistem atau outer subjek matter, yang tidak memiliki tempat dalam paradigma ilmu pengetahuan atau sains.

Sebab fakta-fakta empiris, seperti yang ditunjukan para dukun, tidak cukup menjadikannya sesuatu yang ilmiah. Butuh kajian melalui metodologi yang kritis. Maka, dukun tidak lazim atau pantas untuk didiskusikan.

Di sisi lain, perilaku dukun juga dinilai sesat dalam sejumlah pandangan tokoh agama. Hal ini seperti yang diakui sejumlah dukun di Pulau Bangka, yang merasa terpojok karena tuduhan atau stigma tersebut. Dampaknya banyak dukun yang menghentikan peranannya atau banyak generasi baru yang tidak mau menjadi dukun.

Bahkan, kata Teungku Sayyid Deqy, penulis buku “Korpus Mapur dalam Islamisasi Bangka”, sejumlah Suku Melayu di Pulau Bangka yang masih mempertahankan posisi dukun, dinilai sebagai “Orang Lom” atau orang belum beragama alias belum moderen. Sebuah penyebutan yang dinarasikan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18.

Selanjutnya, berubahnya pemerintahan adat, menjadi pemerintahan desa, membuat posisi seorang dukun tersingkirkan. Para dukun tidak masuk lagi dalam sistem kekuasaan, seperti halnya dalam pemerintahan adat.

Baca: Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka

 

Hutan di Dusun Aik Abik, Bangka, yang merupakan wilayah adat Suku Mapur, perlahan habis oleh perkebunan sawit dan tambang timah ilegal. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

**

Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan dalam beberapa tahun terakhir, pada sejumlah wilayah yang keberadaan hutan, sungai, laut, masih terjaga baik, seperti di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung, ditemukan sosok dukun yang dihormati di komunitasnya.

Tapi tidak semua dukun disebut “dukun”. Sebagian komunitas menyebut dukun dengan nama “orang pintar” atau “tetua adat”. Bisa jadi, penyebutan ini guna menghindari pandangan negatif terhadap dukun.

Semua aktivitas dukun tersebut terkait dengan hutan, sungai, dan laut. Keberadaan hutan, sungai dan laut, selain sebagai sumber bahan baku pengobatan seperti tanaman, air dan sejumlah satwa, juga menjadi media ritual untuk mendapatkan bantuan dari kekuatan yang tidak terlihat.

Para dukun memilki peran untuk membantu perempuan melahirkan, mengobati berbagai penyakit, serta menjaga komunitanyas dari bencana, baik bencana alam, musibah maupun wabah penyakit.

Guna menjamin hal tersebut, komunitas yang mengakui keberadaan dukun, akan mempertahankan sejumlah hutan yang tidak boleh diakses, yang disebut hutan larangan, serta menjaga kelestarian sungai dan laut.

Upaya penjagaan ini dilakukan dengan sejumlah hukum adat atau pantang larang. Komunitas pun menyakini jika hukum adat ini dilanggar akan berdampak buruk bagi si pelanggarnya. Baik jiwa, kesehatan, atau jalan hidupnya.

Baca juga: Mengembalikan Peran Dukun, Jaga Keselarasan Manusia dan Alam

 

Perbukitan di sepanjangan pesisir Tuing-Tengkalat. Hutan di bukit masih terjaga, tapi di bawahnya dipenuhi kebun sawit. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Iber Djamal, tokoh adat Dayak Ngaju di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang saya temui pada 2016 lalu, menyatakan bencana kebakaran hutan dan rawa gambut yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia tidak akan berhenti atau terselesaikan. Sebab, kebakaran tersebut merupakan “kemarahan” para penghuni atau penjaga hutan. “Kita ini dihukum karena merusak atau membiarkan kerusakan hutan,” katanya.

Jika ingin terhindar dari bencana kebakaran tersebut, bangsa Indonesia harus mengembalikan kawasan hutan yang rusak seperti semula.

Komunitas Suku Jerieng di Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, kembali melakukan ritual taber gunung atau sedekah gunung, pada Agustus 2022 lalu.

Taber gunung yang tidak pernah dilakukan selama 25 tahun, terpaksa digelar kembali yang dipimpin seorang dukun bernama Janum. Alasannya, selama taber gunung itu dihentikan, banyak bala [malapetaka] menimpa komunitas Suku Jerieng. Dimulai dari gagal panen padi, gagal panen buah [durian], hasil madu berkurang, hingga terjadinya kesurupan massal.

Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang yang banyak meneliti peranan para dukun di Sumatera Selatan, mengatakan serangan harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] terhadap manusia di sekitar Gunung Dempo [Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat], beberapa tahun lalu dikarenakan nilai-nilai adat yang membangun hubungan harmonis manusia dengan alam di Gunung Dempo, sudah dilanggar.

Serangan itu baru sebatas peringatan awal. Artinya, akan terjadi berbagai bencana yang merugikan manusia akibat melanggar nilai-nilai adat tersebut.

 

Miniatur pondok kebun [kelekak], yang menjadi simbol bagi masyarakat di Pulau Bangka yang arif dalam mengelola bentang alam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

**

Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya daratannya sekitar 1,6 juta hektar, menghadapi berbagai aktivitas ekonomi ekstraktif. Mulai dari penambangan timah, perkebunan sawit skala besar, pertambakan udang, serta infrastruktur pariwisata.

Namun, hingga saat ini, hutan yang berada di sekitar 32 bukit tetap bertahan. Bertahannya hutan di perbukitan ini bukan hanya statusnya sebagai kawasan konservasi dan lindung, seperti Taman Nasional Gunung Maras, juga dijaga sejumlah komunitas adat yang mengakui keberadaan dukun. Sebab, sejumlah hutan di perbukitan tersebut statusnya adalah kawasan hutan produksi [HP], seperti sejumlah wilayah larangan Suku Mapur.

Para dukun ini terus mengawal hukum adat yang tidak boleh merusak atau mengakses kawasan hutan tersebut. Suku Mapur dan Suku Maras membangun narasi, jika hutan di perbukitan rusak, maka akan terjadi banjir besar melanda Pulau Bangka dan sebagian besar pulau di Indonesia.

Relasi dukun dengan hutan juga berlangsung pada masyarakat Kerinci, Rejang, dan Basemah [Pagaralam dan Lahat]. Para dukun atau orang pintar, terus menyebarkan pengetahuan untuk menjaga kawasan hutan, secara terbuka maupun tertutup.

Pesannya, kawasan hutan yang tidak boleh dirusak tersebut, selain berfungsi menjaga air, juga sebagai rumah harimau sumatera yang mereka hormati.

 

Janum bin Lamat, dukun kampung Suku Jerieng di Desa Pelangas, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, yang konsisten bersama masyarakatnya menjaga hutan adat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

**

Asumsi saya, bertahannya sejumlah kawasan hutan di Indonesia, seperti di Sumatera dan Kalimantan, juga adanya peranan para dukun. Dukun yang mengawal hukum adat yang melindungi keberadaan hutan.

Pada tulisan sederhana dan perlu kajian mendalam ini, saya mengucapkan terima kasih kepada para “dukun” yang turut menjaga sejumlah kawasan hutan, sungai, danau, dan laut, sehingga Indonesia masih memiliki harapan akan hutan dan alamnya.

Selamat Hari Bumi.

 

* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini opini penulis.

 

Exit mobile version