Mongabay.co.id

Melihat dari Dekat Nasib Suku Laut Pulau Kojong Lingga

 

 

Pagi itu ombak tidak terlalu besar. Semakin ke utara langit terlihat hitam. Kampung suku laut Pulau Kojong, Desa Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi tujuan perjalan kami hari itu, tepat berada di bawah kumpulan awan gelap.

Setengah jam setelah kumandang adzan subuh, speed boat Randi menghampiri kami yang sedang menunggu di dermaga Pelabuhan Pancur, Kabupaten Lingga. “Kita sengaja pergi subuh, agar gelombang tidak terlalu kuat, semoga saja,” kata Randi sambil menarik pedal menghidupkan mesin speed boatnya. Kami siap membelah lautan menuju Pulau Kojong.

Perlahan kami meninggalkan pelabuhan. Kapal terombang ambing. Semakin meninggalkan dermaga, ombak semakin kuat. Apalagi akhir tahun ini musim badai dan angin utara sedang melanda.

Untungnya hidup kami masih panjang. Menempuh perjalanan penyeberangan hampir tiga jam kami sampai di Pulau Kojong. Pulau tempat suku laut di Lingga hidup di bawah ancaman tambang.

 

Beberapa nelayan Suku Laut Pulau Kojong, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, sedang melaut. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sejarah Panjang Suku Laut Pulau Kojong

Beberapa kapal nelayan berjejer pagi itu di atas pantai yang putih di Pulau Kojong. Rumah-rumah kayu kecil berdiri tegak menghadap ke laut. Rumput ilalang hijau menghiasi halaman depan rumah. Tampak juga angin menggoyangkan pohon kelapa yang menjulang ke langit.

Pulau Kojong merupakan lokasi pemukiman salah satu suku laut yang ada di Kabupaten Lingga. Suku laut di pulau ini sudah lama pindah ke daratan. Dahulunya mereka hidup nomaden di atas sampan beratapkan daun. “Nenek moyang kami tinggal di atas sampan. Sekarang sudah di darat semua,” ujar Yusuf, Ketua RT Pulau Kojong.

Dalam buku “Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkat Sampan” Kementerian Kelautan dan Perikanan, disebutkan setidaknya suku laut tersebar di enam kecamatan di Kabupaten Lingga yaitu Kecamatan Tajur Biru, Senayang, Lingga, Lingga Utara, Selayar dan Singkep Barat yang terdiri dari 30 kelompok. Salah satunya adalah suku laut di Pulau Kojong.

baca : Ketika Suku Laut Tidak Lagi di Laut. Mengapa?

 

Infografis sebaran suku laut di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.

 

Yusuf bercerita proses akhirnya mereka memilih menetap di Pulau Kojong. Yusuf tidak begitu ingat kapan mereka pindah ke darat. Namun, pada umur 8 tahun dirinya sudah tinggal di Pulau Kojong. “Awal kami menetap di pulau ini, kami bangun pondok dengan lantai bambu, atap dari daun di pulau ini,” katanya.

Tidak hanya membangun tempat tinggal. Masyarakat perlahan juga mengubah cara menangkap ikan mereka. Awalnya alat tangkap yang digunakan adalah tombak. Perlahan beralih menggunakan rawai, jaring dan juga bubu. “Begitu juga kapal kami, sebelumnya hanya sampan kecil, sekarang sudah pakai perahu mesin,” jelasnya.

Dahulunya transaksi bisnis penjualan ikan hasil tangkapan nelayan masih dilakukan secara barter. Mereka harus membawa hasil tangkapan ke Pulau Buluh, yang dilalui selama empat hari perjalanan dari Pulau Kojong menggunakan sampan.

Sesampai di Pulau Buluh, ikan hasil tangkapan dibarter menggunakan sagu, gula dan juga rokok. “Dulu seperti itu, kalau sekarang pengepul jemput ikan sendiri kesini,” kata Yusuf.

Hal yang tidak berkembang dari kehidupan mereka adalah pendidikan. Meskipun hanya berjumlah 35 orang, termasuk anak-anak. Di Pulau Kojong anak usia sekolah tidak menempuh pendidikan formal. Sama halnya yang dirasakan Yusuf ketika masih kecil yang puluhan tahun lalu hidup di atas sampan.

Hanya saja mereka mengikuti pelajaran mengaji di mushola yang terdapat di pulau itu. Bagi Yusuf tentu pendidikan formal sangat penting, apalagi perkembangan dunia sekarang semakin maju. “Disini minim pendidikan untuk anak-anak kami, kami hanya minta dibangun satu sekolah saja oleh pemerintah, pendidikan sangat penting,” katanya.

Sekolah terdekat terdapat di Pulau Buluh. Perairan antara dua pulau ini berhadapan langsung laut lepas. Orang tua di Pulau Kojong tidak sanggup melepas anak mereka untuk sekolah menghadang badai dan angin kencang.

baca juga : Ketika Laut Tak lagi Ramah Bagi Suku Duano

 

Rumah bantuan pemerintah yang dimanfaatkan masyarakat suku laut Pulau Kojong, Lingga, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Terancam Tambang

Nelayan Pulau Kojong bergantung hidupnya dengan melaut di perairan yang berada di depan pulau mereka. Namun bagi mereka, laut sudah mulai rusak.

Nelayan tidak lagi menemukan ikan-ikan target yang bernilai jual tinggi. Diduga disebabkan adanya aktivitas tambang pasir kuarsa di pulau seberang (Pulau Lingga). Beberapa tahun belakangan mereka menemukan laut tercemar dan keruh.

Tambang pasir kuarsa tepat berada di seberang pulau mereka. Nampak jelas, dilokasi tambang bukit dikeruk. Pasir putih menumpuk di pesisirnya.

Perusahaan tambang yang diduga dilakukan oleh PT. BBP melakukan reklamasi secara ilegal tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk kepentingan pembangunan pelabuhan keperluan aktivitas tambang.

Dari temuan KKP di lapangan menunjukkan bahwa proyek reklamasi yang dilakukan sejak bulan Juli 2021 tersebut dilaksanakan tanpa PKKPRL dan izin reklamasi diduga telah mengakibatkan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya di area reklamasi yang sedang dikerjakan. Padahal area reklamasi tersebut masuk dalam zona pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Lingga.

“Benar bahwa proyek tersebut belum dilengkapi dengan PKKPRL dan telah mengakibatkan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya”, terang Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Adin Nurawaluddin usai usai melakukan penghentian operasional proyek terhadap PT. BBP di Kabupaten Lingga, Jumat, 13 Januari 2023 seperti dikutip dari siaran pers KKP.

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Lingga juga telah menutup puluhan tambang pasir kuarsa karena tidak sesuai dengan aturan yang ada dan tidak berizin pada awal Maret 2020.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau Hendri Kurniadi seperti dikutip dari liputan6.com mengatakan sejak Maret hingga November 2019, tercatat 54 perusahaan tambang pasir yang dihentikan aktivitasnya karena tidak memenuhi syarat administrasi.

baca juga : Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Perahu nelayan dengan latar belakang tambang pasir kuarsa di Pulau Lingga, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Saat ini hasil laut nelayan hanya menemukan ikan jahan duri, ikan haruan (ikan gabus). Semua jenis ikan itu hanya dijual dengan harga murah kepada pengepul, berkisar Rp4000 sampai Rp9000 per kilogram.

Padahal dulu nelayan suku laut Pulau Kojong bisa mendapatkan ikan kemejan, yang dijual mencapai Rp110.000/kg. Omset mereka bahkan bisa menyentuh jutaan satu hari melaut. “Itu dulu, sebelum tambang masuk,” katanya.

Ikan harga mahal itu sudah jarang ditemui nelayan Pulau Kojong. Salah satu penyebabnya karena menurut mereka laut rusak diduga akibat aktivitas tambang.

Semua ikan hasil tangkapan dikumpulkan di lemari es yang sudah mereka sediakan. Hari Rabu setiap minggunya pengepul membeli hasil tangkapan mereka.

Aktivitas masyarakat Pulau Kojong berjalan teratur setiap hari. Pada pagi hari mereka memasang bubu atau jaring di laut. Kemudian menjelang sore bubu ditarik. Setelah Maghrib mereka mencari umpan ke laut untuk bekal melaut keesokan harinya

Siklus itu yang selalu dijalankan suku laut Pulau Kojong. Sesekali mereka berkumpul makan bersama, terutama ketika menyambut tamu. Begitu juga ketika kami berkunjung ke sana, akhir tahun 2022 lalu.

baca juga : Laut adalah Sumber Kehidupan Masyarakat Pulau Nangka

 

Seorang suku laut Pulau Kojong, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, hendak melaut. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version