Mongabay.co.id

Peran Ekosistem Karbon Biru dalam FoLU Net Sink 2030

 

Isu perubahan iklim masih terus menjadi perbincangan hangat di semua kalangan saat ini. Isu tersebut mendapat respon luar biasa, karena dampak yang ditimbulkan bisa memengaruhi tatanan kehidupan di bumi dan manusia secara khusus.

Di Indonesia, isu tersebut juga mendapat perhatian dari hampir semua kalangan, bukan hanya dari Pemerintah Indonesia saja. Beragam upaya sudah dijalankan oleh banyak pemangku kepentingan untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Salah satu upaya itu adalah dengan menjadikan ekosistem sebagai basis pendekatan untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi dalam nationally determine contribution (NDC) yang terdiri dari sejumlah sektor utama, yaitu energi, pertanian, forestry and other land uses (FoLU), industrial process and production use (IPPU), dan waste.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar belum lama ini menjelaskan bahwa untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia, sumber paling dominan akan berasal dari FoLU yang ditargetkan bisa menurunkan minimal 60 persen dari total target penurunan emisi.

Agar target itu bisa dicapai pada 2030 nanti, maka salah satu ekosistem yang diharapkan bisa berkontribusi besar adalah ekosistem karbon biru (EKB) yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

baca : Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional

 

Keindahan ekosistem pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Ekosistem pesisir berperan penting dalam ekosistem karbon biru Indonesia.  Foto : shutterstock

 

Agenda FoLU Net Sink 2030 sendiri saat ini terus dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan mengacu pada capaian konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) ke-21 yang digelar pada 2015 di Paris, Prancis.

Dia mengatakan, kajian EKB disusun dengan mengintegrasikan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, estuaria atau rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang. Semuanya, diyakini memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

EKB juga diketahui memegang peran signifikan untuk adaptasi perubahan iklim terutama bagi masyarakat pesisir yang ruang hidup dan penghidupannya berpotensi terdampak oleh climate-related coastal risks, seperti cuaca ekstrem, badai, erosi, banjir dan sebagainya.

“Berbagai risiko ini bisa mengakibatkan dampak sosial-ekonomi, terancamnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya layanan ekosistem yang berdampak pada kelangsungan hidup manusia dan alam,” ungkap dia di Jakarta, belum lama ini.

Siti Nurbaya mengungkapkan, semua potensi tersebut akan sangat bermanfaat untuk agenda FoLU Net Sink 2030 yang saat ini sedang dijalankan. Itu juga yang bisa menjadi arahan Pemerintah untuk mengembangkan EKB berbasis ekosistem.

Tentu saja, dengan mencakup aspek seperti regulasi, insititusi, proses, sistem dan prosedur, partisipasi masyarakat, sistem pembiayaan, database dan policy excercise and policy making, serta interaksi national (pemerintah pusat) dan sub national (pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta).

“Terutama bagaimana pola coercive dan cooperatives bisa terbangun dan terjalin baik berkenaan dengan karbon. Dalam elaborasinya seperti dalam hal peran, tekanan, mandat antar lembaga, pengendalian, asumsi implementasi, sumber inovasi kebijakan dan penekanan implementasi menuju carbon governance,” papar dia.

baca juga : Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia

 

Kawasan hutan mangrove di Kota Sofifi, Maluku Utara yang menawan dilihat dari udara. Foto : Opan Jacky

 

Dalam sebuah studi dijelaskan juga bahwa implementasi EKB menawarkan peluang pembangunan yang signifikan, beserta tantangan di sektor seperti perikanan dan akuakultur berkelanjutan, pariwisata laut dan pesisir, serta pembangunan pesisir.

Namun, dia menyebut kalau ekosistem pesisir dan laut mengandung berbagai persoalan yang perlu menjadi perhatian dan dalam penyelesaiannya memerlukan tindak-lanjut terkait kelembagaan. Kelembagaan dalam studi ini mencakup hal yang sangat penting berkenaan dengan institutional capacity dalam aspek yang sangat luas.

Untuk itu, menjadi sesuatu hal yang penting bahwa peraturan, insentif, pembangunan institusi, partisipasi pemangku kepentingan, penelitian dan pengembangan kapasitas, dan mekanisme pembiayaan di sektor-sektor ini akan menjadi bentuk dukungan untuk memastikan bahwa laut bisa sehat dan berkelanjutan, serta sejalan dengan ekonomi laut berkelanjutan dan tangguh.

 

Perlindungan Pesisir

Namun demikian, Siti Nurbaya menambahkan, pengembangan EKB tak hanya mutlak dilakukan pada sektor kelautan dan perikanan saja. Namun juga, pada ekosistem lahan basah seperti hutan mangrove dan kawasan gambut tropis.

Karena itu, aspek perlindungan lingkungan pesisir dan laut sebagai salah satu faktor utama dalam mendukung keberlangsungan EKB perlu diberikan perhatian kepada penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan mutu laut (PPML).

Pada pelaksanaannya, PPML sudah mempertimbangkan zonasi dan fungsi laut, fungsi jasa ekosistem laut, dan konservasi. Itu mencakup upaya pengendalian pencemaran yang berimplikasi pada mutu air laut dan pengelolaan ekosistem laut.

Pengaturan PPML dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PPML menjadi upaya terintegrasi yang meliputi upaya holistik dalam hal pemanfaatan, pengendalian, dan pemeliharaan.

Menurut dia, PPML dilakukan secara terpadu dan efektif berdasarkan analisis lingkungan bersama pemangku kepentingan dalam dukungan pemanfaatan dan pemeliharaan ruang laut, stewardship pengelolaan perikanan dan tata kelola sumber daya laut, serta pengelolaan zona kawasan pesisir dan laut.

“Juga dalam pembinaan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara nyata di lapangan,” tutur dia.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Pembangunan kawasan waduk Duriangkang, Kota Batam, Kepulauan Riau yang membuka lahan di kawasan pesisir setempat. Foto Yogi Eka Sahputra

 

Terakhir, Siti Nurbaya memaparkan bagaimana agar semua potensi EKB bisa bermanfaat banyak untuk adaptasi perubahan iklim. Dia menyebut perlu ada perencanaan ruang wilayah dengan prinsip konservasi, dan pembangunan berbasis kepulauan berbasis masyarakat.

Kemudian, melaksanakan penataan pengembangan wilayah dengan identifikasi key problems, penataran ruang, cluster pengembangan, dan daya dukung berbasis sumber daya. Selanjutnya, pengembangan ekonomi dan sosial-budaya dengan rencana wilayah dan penggunaan lahan.

“Keempat, pembangunan infrastruktur atas dasar manfaat sosial ekonomi, sarana transportasi dan komunikasi serta fasilitasi pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan,” pungkas dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo menjelaskan, potensi penyerapan karbon di ekosistem pesisir Indonesia diperkirakan total bisa mencapai 3,4 gigaton (GT).

“Jumlah yang sangat besar ini kira-kira sebesar 17 persen dari total karbon biru dunia,” sebutnya.

Dengan total 3.364.076 hektare hutan mangrove, karbon yang bisa diserap diperkirakan mencapai 11 miliar ton dengan nilai perkiraan moneter sebesar USD66 miliar. Sementara, dengan luas padang lamun sekarang, diperkirakan bisa menyerap karbon hingga 790 juta ton, dan nilai moneter sebesar USD35 miliar.

perlu dibaca : Awal Pendanaan Biru Semakin Dekat

 

Masyarakat menanam bibit mangrove yang berada pesisir Padang Tikar, Kubu Raya, Kalbar. Hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir berperan penting dalam ekosistem karbon biru di Indonesia. Foto: Putri Hadrian/Mongabay Indonesia

 

Saat mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil, KKP melakukan penguatan regulasi perlindungan kawasan cadangan karbon biru, pengalokasian ruang untuk mempertahankan atau meningkatkan cadangan karbon biru, dan peningkatan kualitas kawasan cadangan karbon biru.

“Serta penguatan sinergi pengelolaan karbon biru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tambah dia.

Di luar itu, peningkatan kontribusi karbon biru juga kini tengah menghadapi tantangan yang cukup pelik. Misalnya, ketersediaan data yang valid, metodologi yang diakui, serta perlunya dukungan berbagai pihak dalam penyusunan kerangka ekonomi, pembiayaan dan tata kelola karbon biru.

 

 

Exit mobile version