Mongabay.co.id

Refleksi Hari Bumi: Bencana Mendera Kala Lingkungan NTB Rusak

 

 

 

 

Berbagai bencana terjadi di Nusa Tenggara Barat selama lima tahun terakhir harus jadi refleksi bersama dalam menyelamatkan bumi. Ibarat orang sakit, Nusa Tenggara adalah pasien yang baru terkena satu penyakit, belum sembuh sudah kena sakit lain. Belum usai gempa 2018, kembali diterjang berbagai bencana ekologis sepanjang 2018 sampai 2023.

“Di darat dihajar banjir, longsor, dan kekeringan. Di pesisir dan pulau kecil ancaman abrasi,’’ kata Amri Nuryadin, Direktur Eksekutif Walhi NTB kepada Mongabay dalam pernyataan menyambut Hari Bumi, 22 April lalu.

Berkaca dari bencana di Pulau Lombok dan Sumbawa, katanya, sebagian besar dipicu campur tangan manusia. Banjir dan longsor di Batulayar dan Gunungsari Lombok Barat,  membuka mata kondisi bukit kritis. Bukan semata karena pembalakan liar, juga keran investasi yang dibuka pemerintah.

Pembangunan bendungan raksasa, berbagai penginapan mewah yang makin merangsek ke bukit-bukit, hingga perumahan menambah kondisi lingkungan makin parah.

Banjir di Sumbawa Barat,  Sumbawa, Bima,Kota Bima, dan Dompu akhir 2022 dan awal 2023, katanya,  dipicu pertanian yang merangsek ke kawasan hutan. Bukit-bukit berganti jagung. Di kawasan hutan yang tersisa pun sudah banyak konsesi tambang. Izin pariwisata dan tambang di kawasan hutan menambah beban lingkungan. “Bukan memperbaiki hutan yang kritis, izin justru diberikan atas nama pembangunan.”

Walhi NTB menyoroti,  izin konsesi seluas 500 hektar ke perusahaan asing yang akan membangun kereta gantung. Pembangunan yang dianggap akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru tak berbekas. Kemiskinan masyarakat di daerah-daerah investasi pariwisata dan tambang masih tinggi.

“Angka kemiskinan di NTB masih 13%, atau sekitar 750.000,’’ katanya.

 

Baca juga: Banjir Bandang di Sumbawa dan Sumatera Barat, Mengapa Terus Berulang?

Foto aerial kondisi Gili Nanggu, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat yang terkikis akibat abrasi. Pada tahun 2015 titik ini masih berupa daratan pasir yang cukup luas. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

 

Amri juga menyodorkan data tentang konsesi raksasa di kawasan hutan. PT Aman Mineral Nusa Tenggara (dulu, PT Newmont Nusa Tenggara) memiliki konsesi seluas 125.341,42 hektar di Sumbawa Barat.

Saat ini,  tambang emas baru PT Sumbawa Timur Mining (STM) juga memegang izin pinjam pakai kawasan hutan di Hu’u Dompu luas 19.260  hektar di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Toffo Pajo. Proyek smelter di Sumbawa Barat seluas 100 hektar juga jadi ancaman.

“Hutan dikeruk, limbah dibuang ke laut. Perusahaan-perusahaan ini berbatasan langsung dengan pesisir. Ini artinya pesisir makin rentan,’’ kata Amri.

Kondisi di pesisir dan pulau-pulau kecil juga tak kalah parah. Bencana abrasi sepanjang 2022 dan 2023 makin sering, dan makin parah.

 

Baca juga: Kala Banjir Terjang Lombok dan Sumbawa

Tumpukan sampah di pantai Labuhan Haji, Lombok Timur. Selain sampah kiriman yang dibawa arus laut, sampah terbesar berasal dari kiriman rumah tangga yang dibuang ke sungai dan bermuara di pantai Labuhan Haji. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Keadaan ini, katanya, selain dipicu kenaikan permukaan laut dampak perubahan iklim, juga oleh kebijakan tak pro lingkungan.

Pulau-pulau kecil di NTB yang jadi destinasi wisata, misal, beban lingkungan makin berat, pembangunan terus dipaksakan demi atas nama pertumbuhan ekonomi.

“Investasi di pesisir dan pulau-pulau kecil cukup banyak. Bahkan, beberapa pulau kecil sudah dikuasai investor,’’ kata Amri.

Di pesisir sudah banyak investasi kakap. Mulai dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Lombok Tengah, Global Hub Kayangan di Lombok Utara. Tambak dan budidaya mutiara skala besar di Lombok Timur, katanya, juga mengurangi ruang hidup para nelayan kecil. Nelayan, katanya,  makin jauh melaut karena ruang di dekat daratan dikuasai tambak dan budidaya mutiara.

“Di Jerowaru (Lombok Timur) nelayan semakin kesulitan karena sebagian ruang tangkap mereka kini jadi areal budidaya mutiara,’’ kata Amri.

 

Anak-anak melintas di banjir yang menerjang permukiman di Taliwang, Sumbawa Barat. Banjir yang merendam hampir seluruh kecamatan Brang Rea dan Taliwang melumpuhkan aktivitas masyarakat. Foto: Sahabat Bumi

 

Kerusakan nyata

Kerusakan di pulau kecil seperti terjadi di Gili Nanggu dan Gili Sudak. Kedua pulau kecil ini berada di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Dua pulau ini jadi destinasi favorit wisata snorkeling di Lombok Barat.

Sayangnya,  laju kerusakan di pulau ini cukup tinggi. Mongabay menyimpan dokumen foto pada 2015, tak terlihat abrasi di kedua pulau ini. Pantai berpasir putih cukup luas bagi wisatawan untuk berjemur maupun olahraga. Main voli bisa di sisi utara maupun sisi timur.

Sejak 2018,  sedikit demi sedikit daratan terkikis. Pada 2022, puluhan meter sisi timur dan utara sudah amblas.  Deretan pohon cemara yang menaungi sudah mulai bertumbangan. Pasir pantai kini dijejali dengan beton untuk mencegah abrasi.

“Setiap musim ombak, terkikis daratan ini,’’ kata Wayan Tagel, penjaga resort di Gili Nanggu.

Dia menunjukkan lokasi yang parah terkena abrasi. Pemasangan tanggul dari beton menjadi dilema bagi pengelola wisata. Satu sisi untuk menyelamatkan pulau dari abrasi, sisi lain merusak pemandangan.

Sejak abrasi makin menggerus, tak ada lagi wisatawan berenang dan snorkeling di sisi yang terkena abrasi. Pohon tumbang kini berada di laut, dulu daratan.

“Baru tiga atau empat tahun ini makin parah.”

Terumbu karang, katanya,  juga makin banyak rusak. Selain faktor kenaikan suhu laut, pariwisata turut mempercepat kerusakan. Makin banyak wisatawan makin banyak perahu sandar di pulau ini. Mereka melepas jangkar, minyak dari mesin perahu, dan wisatawan yang menginjak terumbu karang.

Salah satu spot snorkeling, katanya, di gazebo yang menjadi tempat transplantasi terumbu karang sudah rusak pada 2022. Padahal,  tahun 2015 jadi spot favorit snorkeling karena banyak karang dan ikan.

Lalu Sahar, operator wisata mengatakan, abrasi di Gili Nanggu dan Gili Sudak memengaruhi minat wisatawan.

Dulu,  banyak spot untuk berfoto, sekarang hanya bisa salah satu sisi. Walaupun ada wisatawan yang mengambil gambar di pohon tumbang, justru menjadi ironi karena mereka berpose di atas kerusakan.

“Kalau lagi ombak besar, naik sampai ke tengah,’’ katanya.

Sahar menjadi saksi mata perubahan di pulau-pulau kecil di Sekotong. Dia termasuk operator perahu di awal-awal Sekotong diminati wisatawan. Awalnya ,membawa orang mancing, lambat laun banyak wisatawan datang.

Dia sepenuhnya bergantung pada wisatawan. Tidak lagi menjadi nelayan. Bahkan sebagian besar warga di kampungnya, beralih dari nelayan ke operator perahu wisata.

 

Pemandangan “hutan jagung” di sepanjang jalur Sumbawa menuju Dompu. Daerah perbatasan dua kabupaten ini merupakan daerah sentra jagung sekaligus rutin langganan banjir bandang. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Gerakan komunitas

Berbagai kondisi kerusakan lingkungan, baik di darat, pesisir, dan pulau-pulau kecil ini mengundang keprihatikan berbagai komunitas. Di Lombok dan Sumbawa, banyak komunitas muncul karena kekhawatiran atas kerusakan lingkungan.

Gerakan mereka mulai dari menanam pohon, membersihkan sampah di pesisir dan laut, maupun aktif kampanye menyuarakan kerusakan lingkungan.

Di Gili Trawangan, masalah terbesar yang dihadapi adalah sampah dan air bersih. Pada musim gelombang tinggi, arus laut membawa sampah ke pulau ini. Sampah bukan sepenuhnya sekitar. Komunitas di Trawangan berusaha membersihkan, tetapi kemampuan mereka terbatas. Volume sampah tidak diimbangi anggota dan perlengkapan mereka.

“Kondisinya memang seperti itu,’’ kata Matlaah, pegiat lingkungan dan pariwisata di Gili Trawangan, Lombok Utara.

Kondisi sampah yang menumpuk juga terjadi di sepanjang pantai Labuhan Haji, Lombok Timur. Kawasan pantai yang dulu dikenal dengan pelabuhan untuk pemberangkatan jamaah haji ini kadang disebut sebagai pantai penampungan sampah. Sampah dari sungai melewati berbagai kecamatan, semuanya bermuara di pantai Labuhan Haji.

“Membersihkannya setiap hari, bisa dua kali sehari kami bersihkan. Tapi sampah tetap ada,’’ kata Qori Bayyinaturrosyi, aktivis lingkungan dan pariwisata di Labuhan Haji.

Menurut dia, gerakan-gerakan komunitas untuk menyelamatkan bumi sebenarnya sudah banyak tetapi masalah yang dihadapi sangat besar.

Pemerintah, katanya,  harus memberikan contoh, dan harus tegas menindak berbagai kasus yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

 

Longsor menutup akses jalan utama di Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal tertimpa tembok yang roboh diterjang banjir. Foto: KIM Sekotong

 

*******

 

Exit mobile version