Mongabay.co.id

Eksperimen Ini Bisa Tahu Suara Tanaman, Seperti Apa?

 

 

 

 

 

 

Kolektif bernama Gema Gulma membuat eksperimen unik.  Dalam Festival Suara Jernih Papua (Ranipa) yang diselenggarakan Greenpeace Indonesia, Maret lalu di Jakarta, mereka memanfaatkan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) untuk mentransformasikan gelombang dari tanaman jadi suara.

Dua pemuda-pemudi tampak sibuk melayani pertanyaan pengunjung di suatu sudut ruangan di gerai makanan Kala di Kalijaga, yang terletak di M Bloc Space. Di hadapan mereka, sebuah meja dipenuhi beberapa jenis tumbuhan dan perangkat elektronik seperti papan Arduino Uno, kabel dumper, resistor, breadboard, banana alligator clips, laptop dan pengeras suara.

Yoko Yonata, anggota Gema Gulma mengatakan, perangkat elektronik untuk merambatkan gelombang dan mengubahnya jadi suara. Dia mengibaratkan, perangkat-perangkat itu adalah ‘alat musik’ yang akan dimainkan tanaman. Jadi, terlebih dahulu mereka harus membuat bank audio dari skala nol hingga ratusan Khz, dengan kategori suara berbeda.

Secara teknis, mereka menggunakan Arduino Uno, sebuah perangkat open-source yang ketika disambungkan ke tanaman akan merekam frekuensi gelombang elektromagnetik. Gelombang itu mereka salurkan ke perangkat bernama Max8 yang akan menghasilkan jenis suara tertentu, yang sebelumnya telah ditetapkan melalui proses coding (pengolahan kode dengan bahasa pemrograman).

“Sederhananya, Arduino Uno menghantarkan gelombang dari tumbuhan, kemudian Max8 mengubahnya jadi suara,” ujar Yoko ketika ditemui Mongabay.

Dalam pertunjukan itu agar tanaman menghasilkan suara, perlu sentuhan tangan manusia. Karena, tanaman yang mereka tampilkan memiliki rambatan gelombang relatif rendah. Gelombang dari tubuh manusia akan menambah kekuatan gelombang untuk menghasilkan suara.

 

Kolektif Gema Gulma memanfaatkan sejumlah perangkat elektronik sebagai ‘alat musik’ untuk dimainkan oleh tanaman. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, besar-kecilnya gelombang menandakan kualitas hidup tanaman. Di tanah subur, cukup terpaan cahaya matahari, dan mengandung air cukup, tumbuhan akan merambatkan gelombang relatif lebih besar, dibanding tumbuhan yang hidup di pot.

Jadi, jenis suara yang dihasilkan tak bergantung pada jenis tanaman tetapi kualitas hidup mereka.

Sherina Redjo, anggota kolektif Gema Gulma menerangkan, eksperimen tumbuhan ‘bermusik’ itu mulai setahun belakangan namun baru pertama kali ditampilkan di hadapan masyarakat.

Pengetahuan tentang ini berasal dari jurnal-jurnal terpublikasi, dan kombinasi hobi berkebun serta bermusik anggota Gema Gulma untuk menghasilkan lebih banyak variasi suara.

“Pada dasarnya, semua makhluk hidup itu mempunyai gelombang elektromagnetik. Sekarang kami memakai sampel tumbuhan. Sebenarnya bisa juga menggunakan jamur, buah dan lain-lain,” kata Sherina.

Melalui pertunjukan ini, Gema Gulma ingin menyampaikan banyak hal dari tanaman bisa dipelajari lebih dalam untuk memperkaya pengetahuan manusia.

 

Perlu sentuhan tangan manusia, karena tumbuhan yang mereka tampilkan memiliki rambatan gelombang yang rendah. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, eksperimen yang mereka buat diharapkan dapat jadi rujukan untuk memperlakukan tanaman atau tumbuhan lebih baik lagi ke depan. Sebab, kerusakan satu habitat tumbuhan dipercaya akan berdampak pada kehidupan di tempat lain.

Penilaian itu beranjak dari eksperimen lain, namun dengan peralatan serupa. Dalam satu pot terdiri dari lima jenis tumbuhan berbeda, ketika menyentuh tumbuhan pertama maka tumbuhan kelima akan bergerak.

“Kita tidak boleh melakukan deforestasi, kita harus jaga tumbuhan, karena kalau tidak ada mereka, kita benar-benar tidak ada kehidupan,” kata Sherina.

Ke depan, Gema Gulma berniat membuat pertunjukan dengan alat lebih sederhana. Hanya dengan Arduino dan komponen seperti power bank, masyarakat bisa menyaksikan tumbuhan ‘memainkan musik’.

 

Eksperimen mendengarkan suara tanaman. Harapannya, dengan uji coba ini bisa jadi rujukan untuk memperlakukan tumbuhan lebih baik ke depan. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

********

 

 

Exit mobile version