Mongabay.co.id

Jalan Lingkar Duri Barat Lanjut, Bagaimana Nasib Gajah Balai Raja?

 

 

 

 

Pembangunan jalan lingkar Duri Barat,  yang akan melintasi hutan tersisa di Balai Raja, Bengkalis, Riau, bakal berlanjut. Satu dari enam proyek tahun jamak yang pertama kali masuk anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Bengkalis 2013-2015 ini sempat terhenti karena tak dapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Kini, justru dapat lampu hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kepastian itu disampaikan langsung Bupati Bengkalis Kasmarni, saat memaparkan program kerja dalam musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang), Kecamatan Mandau, seperti dikutip dari Riaupos.co, 10 Februari 2023.

Jalan alternatif ini membujur dari Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir sampai KM 11 Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan—melewati Mandau.

“Nanti,  Insya Allah tahun 2023 ini akan dituntaskan. Kami mohon dukungan dan doa dari seluruh masyarakat Bengkalis. Untuk memperjuangkan jalan ini…,” kata Kasmarni dalam potongan video berdurasi 58 detik yang diperoleh Mongabay.

Mongabay berupaya mengkonfirmasi berita ini.  Erdila Fitriyadi,  Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Bengkalis, belum dapat beri penjelasan.

Genman S Hasibuan,  Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, tak berwenang beri keterangan karena urusan pusat.  Adapun Ruandha Agung Sugardiman,  Direktur Jenderal Planologi dan Tata Kelola Lingkungan,  tak merespon permintaan wawancara ke nomor WhatsApp-nya, 17 April lalu.

 

Baca juga: Datuk Malang di Balai Raja

Codet, gajah dari SM balai Raja, yang lebih banyak tinggal di SM Giak Siak. Foto:Rimba Satwa Foundation (RSF)

 

Nasib gajah kini

Aktivis lingkungan dan peduli satwa Bengkalis, sejak lama menentang pembangunan Jalan Lingkar Duri Barat ini.  Jalan yang katanya untuk mengurai kemacetan ini dinilai bakal mengancam gajah Sumatera tersisa di Suaka Margasatwa Balai Raja.

Dalam rancangannya, jalan sepanjang 33 kilometer itu ditengarai akan membelah Hutan Talang, hutan tersisa di kawasan konservasi itu.

Himpunan Pegiat Alam (Hipam) bersama Rimba Satwa Foundation (RSF)—sama-sama lembaga masyarakat peduli satwa—pernah menghadang aktivitas pembangunan Jalan Lingkar Duri Barat dengan mendirikan tenda dan bermalam di lokasi, sekitar 2016. Para pegiat lingkungan ini berharap kerusakan habitat satwa  tidak makin parah. Hutan seluas 300 hektar itu satu-satunya yang tersisa tempat satwa, antara lain, gajah berlindung.

Hutan Balai Raja dikenal Masyarakat Adat Sakai dengan sebutan Hutan Batang Setupang atau Hutan Belobih (berlebih), itu masih menyimpan keragaman hayati. Tidak hanya apotik bagi satwa di dalamnya, juga sumber kehidupan masyarakat adat. Sisanya, sudah jadi kebun sawit, peladangan, pemukiman dan berbagai fasilitas umum. Luas SM Balai Raja sebenarnya 15.343,95 hektar pada penetapan tahun 2014.

Saat ini, gajah Balai Raja yang masih terpantau tersisa Codet dan Getar. Dua gajah jantan itu berjalan sendiri alias jadi gajah individu. Codet tak punya gading lagi karena patah pasca kelahi dengan Getar di belakang Kantor Camat Pinggir, pada 2015.

Ada juga Seruni dan Rimba yang sempat menghuni Balai Raja. Induk dan anak gajah itu sudah lama menyeberang ke SM Giam Siak Kecil. Ini habitat gajah yang bersebelahan ini dulu saling terkoneksi sebelum terpisah jalan lintas Sumatera dan terhimpit pemukiman, termasuk karena pembangunan Tol Pekanbaru-Dumai.

Seruni dan Rimba, tak pernah kembali ke Balai Raja, sejak Dita, gajah betina kelompok itu mati di ladang ubi sewaan, Oktober 2019. Dita juga dikenal tanpa telapak kaki kiri setelah terkena jerat.

 

Baca juga: Pembangunan Jalan Lingkar Persempit Habitat Gajah Balai Raja

Codet, gajah SM Balai Raja, yang tinggal di Giam Siak, menyeberang lewayt halan tol. Habitat gajah makin menyusut sete;ah alih fungsi lahan dan hutan untuk berbagai peruntukan seperti kebun sawit sampai pembangunan jalan tol. Foto: SRF

 

Rendi Simatupang, Koordinator Hipam, mengatakan, mereka pernah berencana hendak buat tugu Dita pada lokasi dikuburkan.

Kini, Seruni dan satu gajah Balai Raja yang lebih dulu masuk ke GSK, Almira, telah dikalungi GPS Collar. Sebelumnya, dua gajah GSK lain lebih dulu dipasangi alat pelacak ini. PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), jadi sponsor penyedia alat. Wilayah pengeboran dan perlintasan pipa minyak perusahaan milik negara—bahkan sejak pertama kali dikelola Chevron Pacific Indonesia—ini juga merupakan jalur pelintasan gajah.

Menurut. Wishnu Sukmantoro dari Elephant Conservation Specialist at Forest Wildlife Society, penyebab lain gajah Balai Raja menetap di GSK ditengarai karena ada pemukiman baru di Desa Semunai, Kecamatan Pinggir. Meski ada terowongan gajah di beberapa titik Tol Pekanbaru-Dumai, kemunculan pemukiman baru itu memblokade lintasan gajah keluar masuk habitat asalnya.

Zulhusni Syukri,  Direktur Rimba Satwa Foudation (RSF), mengatakan, ada 19 gajah Balai Raja sudah bermukim di Giam Siak Kecil. Masing-masing kelompok 10 dan 9. Adakalanya, kelompok gajah ini berkumpul dalam satu gerombolan. Meski begitu, mereka masih terpantau hendak menyeberang dan kembali ke habitat awal. Namun,  katanya, banyak areal tak bisa dilintasi lagi, seperti terhalang parit gajah buatan perusahaan sawit, PT Adei Plantation.

Dua kelompok gajah Balai Raja yang sudah lama menetap dalam GSK masih mudah terpantau karena tak terpisah jauh. Meski faktor pakan membuat dua kelompok gajah itu terkadang berpisah, tetapi pada satu titik kembali berkumpul karena menemukan makanan pada lokasi sama.

Pegiat satwa bahkan menemukan kelompok gajah Balai Raja kumpul bersama kelompok GSK. Kalau sudah bergerombolan jumlah mereka sampai 50-an. Reunian itu terjadi satu atau dua kali dalam satu tahun.

Dengan tersisa Codet dan Getar di Balai Raja, sangat mengancam regenarasi dan penambahan populasi gajah di sana. Tak ada lagi betina akan dibuahi dua gajah jantan itu. Codet, misal, harus pergi ke GSK ketika musim birahi. Itu terjadi empat kali dalam satu tahun.

Tantangannya,  cukup besar karena gajah harus melintasi pemukiman ramai mobilisasi manusia. Juga harus menyeberangi tol lewat beberapa titik underpass.

Codet termasuk gajah jantan dominan. Namun akan menghindar kalau bertemu gajah jantan lain karena sadar tak punya gading.

Zulhusni bilang, kalau sudah masuk ke GSK, Codet tidak hanya cari gajah betina Balai Raja untuk dikawini termasuk betina GSK.

Begitu juga dengan Getar. Bedanya,  gajah satu ini punya karakter lebih hati-hati dan terkesan penakut. Di masa birahinya pun hanya akan bergabung dengan kelompok gajah betina Balai Raja, meski menyeberang ke GSK.

Melihat pola kehidupan gajah Balai Raja yang kian terancam itu, Zulhusni beserta rekan pegiat satwa lain, tak setuju dengan keputusan pembangunan jalan lingkar Duri Barat.

Kalau pun lanjut, mereka ingin ada solusi untuk memastikan kehidupan gajah terjaga, seperti pembuatan underpass untuk jalur gajah melintas beserta pengayaan pakan. Atau buat fly over pada hutan tersisa hingga tidak merusak tempat berlindung gajah.

“Itu juga menjadi tambahan poin positif di Riau, Bengkalis khususnya, dalam menyelamatkan hutan dan satwa. Juga, nilai plus buat pemerintah,” kata Zulhusni.

Dia berharap, solusi berbagi ruang antara manusia dan satwa itu bisa efektif. Catatan RSF, tahun lalu setidaknya ada delapan atau 12 kali gajah lalu lalang di underpass Tol Permai. Tak menutup kemungkinan kelompok gajah besar GSK juga memanfaatkan jalur itu.

Zulhusni juga khawatir pembangunan jalan lingkar Duri Barat, yang rawan tak hanya mengancam gajah semata. Masalah lebih besar dari itu, katanya,  habitat satwa hilang berefek domino lebih luas. Hal ini, katanya, sudah tampak sejak pertama kali proyek berjalan pada 2015.

Meski pembangunan jalan terhenti, di sepanjang jalan setengah jadi itu sudah berdiri berbagai bangunan yang menambah kepadatan di kawasan konservasi itu. Gajah pun makin terus tersudut.

 

 

Wishnu mengatakan,  kantong gajah Balai Raja mungkin akan lenyap seperti Koto Tengah dan Serangge.

Dia bilang, perlu ada ada intervensi kuat dari pemerintah. Misal, kesepakatan dengan para perambah agar keluar dari kawasan hutan, punya political will dan program jangka panjang untuk pemulihan.

Sebaliknya, rencana penurunan status Balai Raja jadi Taman Wisata Alam (TWA), bukti pemangku kepentingan tak mampu selesaikan persoalan.

Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), katanya, saat ini, turut kembangkan agroforestry di luar Balai Raja yang juga dilalui gajah. Setidaknya, dapat kembalikan nilai hutan dari monokultur jadi heterogen. Mempertahankan hutan tersisa ini dinilai sedikit efektif mengurai konflik gajah dengan manusia, terutama jantan yang masih lalu lalang.

“Penting negosiasi atau mediasi dengan perambah. Idealnya mereka keluar dari kawasan,” kata Wakil Ketua FKGI ini. Dia ingin Balai Raja tetap sebagai kantong gajah.

Jalan Lingkar Duri Barat tidak hanya mengancam habitat gajah Balai Raja. Pembangunan jalan juga dinodai korupsi oleh pejabat maupun swasta yang ketiban proyek. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua tersangka, Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum M. Nasir dan Kontraktor Victor Sitorus. Kerugian negara ditaksir Rp152 miliar. Kasus ini tengah berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru.

 

Sisa ruas Jalan Lingkar Barat Duri yang dihentikan karena akan membelah hutan alam tersisa di Balai Raja. Hutan ini rumah gajah dan satwa lain yang tersisa. Foto diambil October 26, 2020. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

*******

Exit mobile version