Mongabay.co.id

Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur

 

Kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota diklaim sebagai kebijakan terbaik yang pernah dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sepanjang berdiri sejak 1999. Kebijakan tersebut akan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi persoalan pada perikanan tangkap.

Jika PIT nanti resmi diberlakukan, maka Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menerapkan kebijakan tersebut. Itu juga menjadi bagian dari evolusi pengelolaan perikanan di dunia yang berjalan sudah sejak lama.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furqon menjelaskan, kebijakan PIT disebut terbaik karena melaksanakan pendekatan bio ekonomi yang disinergikan dengan pengarusutamaan aspek sosial melalui perlindungan nelayan kecil, dan biologi dengan melaksanakan penentuan daerah penangkapan ikan terbatas.

“Bio ekonomi yang berarti kebijakan tersebut akan menjaga asas keberlanjutan, bio sosial menjaga asas konservasi dan pemerataan, serta asas ekonomi menjaga asas kesamarataan,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.

Dia mengatakan, perlunya diterapkan kebijakan terbaik yang bisa merangkul semua kepentingan, adalah karena selama ini muncul fakta di lapangan kalausu jumlah kapal perikanan tidak mengindikasikan jumlah keuntungan atau manfaat optimal bagi para pihak dari pengelolaan perikanan secara keseluruhan.

Kemudian, untuk meraih untung, setiap kapal menangkap ikan sebanyak-banyaknya, dan bukan mempertahankan mutu sebaik-baiknya. Juga, kualitas buruk dalam proses penangkapan dan penanganan ikan tidak dapat diperbaiki pada rantai nilai (value chain) selanjutnya.

baca : Sudah 2023, Penangkapan Ikan Terukur Belum Juga Diterapkan

 

Deretan perahu nelayan bersandar di pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Oktober 2019. Foto : Shutterstock

 

Menurut dia, jika keadaan dibiarkan terus seperti itu tanpa ada pembuatan dan penerapan kebijakan yang bisa menyelesaikan semua persoalan, maka itu sama saja membiarkan pengelolaan perikanan tangkap akan berakhir pada kehancuran.

“Diperlukan kebijakan yang tepat dan berbasis data saintifik terbaik untuk bisa meraih peluang, menjawab tantangan, dan mengatasi permasalahan yang ada pada sektor kelautan dan perikanan,” terang dia.

Kebijakan PIT sendiri bukan tanpa alasan dipilih oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu, karena PIT memiliki nilai optimum dan berkelanjutan yang bisa mendorong terwujudnya tiga hal yang selama ini didambakan semua pihak.

Pertama, adalah mewujudkan keberlanjutan sumber daya ikan (SDI) dan lingkungannya. Kedua, adalah terwujudnya keadilan dan pemerataan pembangunan oleh Negara. Ketiga, tercapainya kesejahteraan pelaku usaha dan masyarakat.

Adapun, variabel utama kebijakan PIT adalah kuota untuk pemanfaatan SDI sesuai daya dukungnya; zona; pengawasan dari hulu ke hilir; kapal dengan pemberlakuan jumlah dan patuh terhadap semua ketentuan yang berlaku; penarikan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP); dan sinergi hulu ke hilir, pusat dengan daerah, dan antar sektor.

“Kalau ditarik garis merahnya, ini aturan yang betul-betul memastikan bahwa pengelolaan perikanan tangkap nasional bisa memberikan manfaat optimal bagi kita semua,” tutur dia.

Ukon menerangkan, saat ini KKP tengah menyiapkan aturan turunan pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Aturan turunan ini mencakup peraturan menteri dan keputusan menteri sebagai pedoman teknis pelaksanaan PIT, di antaranya mekanisme penetapan kuota.

Detailnya, terdapat enam prinsip utama pengaturan PIT, di antaranya adalah ekologi dan keberlanjutan; perlindungan maksimal terhadap nelayan kecil; pro pengembangan ekonomi lokal; berdasarkan data saintifik terbaik yang tersedia; dukungan reformasi tata kelola hulu hilir dan sistem pemantauan; serta prinsip pembagian kuota.

baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan

 

Aktivitas perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kuota Tangkapan

Guru Besar Departemen Manajemen Sumber Daya Akuatik Universitas Diponegoro Suradi Wijaya Saputra memberikan analisisnya tentang PIT. Menurut dia, kebijakan tersebut sudah sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan.

“Pelaksanaan kebijakan ini dapat mendukung kesinambungan usaha perikanan nasional dengan terjaganya ekosistem sumber daya ikan,” ungkap dia.

Agar PIT benar-benar menjadi kebijakan terbaik KKP yang pernah ada, maka dalam menetapkan mekanisme kuota penangkapan, perlu mempertimbangkan jenis alat penangkapan ikan (API) dan ukuran ikan yang ditangkap.

Hal itu, menjadi upaya untuk menjaga kualitas ikan yang dihasilkan bukan berdasarkan hanya besaran volume tangkapan saja. Selain itu, nelayan dan pelaku usaha juga harus menjadi pelaku utama saat PIT nanti diterapkan.

Walau saat ini sudah banyak respon positif terhadap PIT, namun dia mengingatkan bahwa masih banyak pihak yang mengkhawatirkan detail dari kebijakan tersebut. Utamanya, aturan turunan dari PP No.11/2023 yang akan mengatur lebih rinci tentang penetapan kuota tangkapan.

Kata dia, jika kuota ditetapkan hanya dengan mempertimbangkan sisi volume saja, maka itu sudah mengabaikan ukuran ikan. Itu berarti, API dan kriteria lainnya tidak bisa melekat otomatis pada izin yang diterbitkan.

“Ini berbahaya. Ini perlu dicermati betul makna kuota dan implikasinya pada perizinan,” jelas dia.

Dia mengingatkan, para pelaku usaha seharusnya bisa menangkap semangat untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha melalui PIT. Capaian itu diyakini akan mewujudkan keberlanjutan SDI dan bisa menjaga sampai masa yang akan datang.

perlu dibaca : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

 

Presiden Joko Widodo (kanan) mendapat penjelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono (tengah) tentang uji coba penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) saat meninjau unit pengolahan ikan di PT Samudera Indo Sejahtera, Kota Tual, Provinsi Maluku, Rabu, 14 September 2022. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

 

Kebijakan PIT sendiri resmi diundangkan melalui PP 11/2023 yang terbit pada 6 Maret lalu. Beleid ini terdiri dari sembilan bab dan 28 pasal yang mencakup ketentuan umum, zona, pelabuhan pangkalan, sanksi administratif, hingga ketentuan penutup.

Lebih detail, dia menyebut kalau kunci keberhasilan PIT bisa bergantung pada beberapa instrumen yang menjadi syarat mutlak. Di antaranya adalah penetapan zona yang disusun sebagai satu kesatuan pengembangan ekonomi dan ekologi dan pemerataan kawasan.

Kemudian, faktor kapal dipastikan menjadi instrumen input dalam kebijakan PIT dengan jumlah yang akurat dan perizinan yang valid; kuota penangkapan ikan yang dihitung berdasarkan basis data saintifik yang ada dengan melibatkan para ahli dan mempertimbangkan data historis.

Lalu, pascaproduksi adalah tentang PNBP dipungut lebih berkeadilan karena sesuai dengan hasil tangkapan dan digunakan untuk program pemberdayaan nelayan kecil; dan sistem pemantauan yang menyeluruh untuk seluruh kapal perikanan di seluruh zona penangkapan ikan.

Ukon Ahmad Furqon menambahkan, kebijakan PIT membagi area penangkapan kepada tiga, yaitu tangkapan industri, nelayan lokal, dan spawning and nursery ground. Adapun, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 9.452.072 ton per tahun, dengan nilai total produksi total se-Indonesia mencapai Rp229,3 triliun.

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual

 

Zona Penangkapan Ikan Terukur berdasarkan Peraturan Pemerintah No.11/2023. Sumber : KKP

 

Berdasarkan PP 11/2023, ada enam zona PIT dengan rincian sebagai berikut:

  1. Zona 01:

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara;

  1. Zona 02:

WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera)

WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan Laut Lepas Samudera Pasifik

  1. Zona 03

WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau)

WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur)

WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda)

  1. Zona 04

WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda)

WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat), dan Laut Lepas (Samudera Hindia)

  1. Zona 05

WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman)

  1. Zona 06

WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa)

WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali)

 

Exit mobile version