Mongabay.co.id

Ekspor Kerapu Sumbar: Permintaan Tinggi Tapi Produksi Rendah

 

Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) kembali mengekspor ikan kerapu ke Hongkong setelah sempat terhenti selama setahun akibat pandemi Covid-19. Pelepasan ekspor dilakukan oleh Wakil Gubernur Sumbar dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar serta pihak terkait di kawasan Teluk Sungai Nyalo, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Rabu (12/4/23).

Ekspor ikan kerapu dalam kondisi hidup sebanyak 15 ton dengan nilai ekspor sekitar 150 ribu US dolar atau sekitar Rp.2 miliar itu merupakan hasil budi daya CV. Andalas Samudera Sejati (ASS) dan juga hasil budi daya yang ditampung CV. ASS di sekitar perairan Sumatera Barat.

Dalam sambutan acara pelepasan ekspor itu, Wakil Gubernur Sumbar, Audy Joinaldi mengatakan potensi pasar ekspor kerapu sendiri masih amat sangat luas. Ekspor ikan kerapu keramba jaring apung (KJA) Sungai Nyalo Tarusan ini, diharapkan menjadi awal dalam pemenuhan permintaan kerapu hidup dari berbagai negara lainnya.

“Sebenarnya permintaan ekspor ini masih cukup tinggi, diharapkan dalam enam bulan ke depan akan ada lagi permintaan. Untuk mendukung hal ini, kami dari pemerintah dan Lantamal II akan bekerja sama dengan private sector untuk menyiapkan bantuan benih kerapu pada kelompok binaan,” ujarnya.

Sedangkan pemilik pembudidayaan kerapu CV. ASS Adi Poluk mengatakan permintaan ikan kerapu asal Sumbar terus mengalami peningkatan. Jika sebelumnya, ekspor hanya mengandalkan kedatangan kapal Hongkong setiap 1-2 tahun sekali, saat ini pembelian kerapu juga dilakukan oleh pengusaha dari Malaysia. Pada awal Januari lalu sebanyak 1,5 ton kerapu diekspor ke Malaysia.

Sementara ekspor melalui kapal Hongkong bisa mengangkut maksimal 25 ton ikan kerapu setiap kedatangannya. Namun pembudidaya di Sumbar hanya bisa menyediakan kurang dari 20 ton kerapu.

“Ikan kerapu ini diekspor dalam keadaan hidup ke Hongkong menggunakan kapal laut apabila jumlahnya sudah mencapai 20 ton. Pada ekspor kali ini kami hanya bisa menyediakan 15 ton ikan kerapu. Sementara pada tahun 2021 ekspor hanya dilakukan satu kali sebanyak 17 ton karena tidak tersedianya pasokan,” sebut Adi Poluk.

baca : Sempat Terhenti, Sumbar kembali Ekspor 15 Ton Ikan Kerapu Ke Hongkong

 

Wakil Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldi, Kepala DKP Sumbar, Reti Wafda dan dinas terkait melakukan panen raya di kawasan Teluk Sungai Nyalo, Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, Rabu (12/4/23). Sebanyak 15 ton ikan kerapu itu diekspor secara hidup ke negara Hongkong dengan menggunakan kapal laut. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Adi menjelaskan ekspor kerapu dari Sumbar terkendala minimnya minat pembudidayaan kerapu. “Pembudidaya masih sedikit. Di Mentawai, saya hanya mengumpulkan 1-2 ton kerapu. Di Pesisir Selatan 1-2 ton, sedangkan Air Bangis, Pasaman Barat sekarang tidak ada lagi,” sebutnya.

Minimnya pembudidayaan kerapu di Sumbar, lanjutnya, karena belum tersedianya bibit kerapu, butuh modal besar, dan jangka waktu pembesaran kerapu yang panjang sekitar satu tahun. Padahal budidaya kerapu bisa menjadi alternatif saat cuaca buruk untuk melaut. Kendala lain yaitu penyakit dan kondisi alam yang susah ditebak sehingga menyebabkan upwelling arus laut yang tak jarang membuat kerapu mati.

Hal senada diungkapkan Masrizal, staf pengajar Budidaya Perikanan, Pascasarjana Universitas Andalas Padang. Menurutnya ada tiga hal yang membuat masyarakat enggan membudidayakan kerapu. Pertama kurangnya kesabaran masyarakat dalam menunggu hasil panen.

“Untuk budi daya kerapu paling cepat 8 bulan untuk ukuran 0,5 kg, bahkan lebih lama untuk ikan kerapu bebek. Sementara disatu sisi dengan menangkap ikan di laut, (nelayan) pergi sore hari, pulang pagi dan bisa membawa uang ke rumah. Sedangkan nelayan harus mengeluarkan biaya untuk pakan kerapu,” ungkap Masrizal yang pernah membuat zonasi untuk budidaya kerapu di Pesisir Selatan.

Permasalahan kedua, besarnya biaya penyediaan pakan ikan yang mencapai 70% dari biaya produksi. Selain itu, ikan rucah sebagai pakan ikan kerapu sulit didapatkan saat musim badai (ombak besar). Solusinya bisa dengan pemberian pakan buatan (pellet) khusus untuk ikan kerapu.

“Dulu ada rencana Pemprov Sumbar membuat pabrik pakan di Pasaman Barat. Kalau saya tidak salah sudah ada studi kelayakannya. Sampai dimana perkembangannya, saya tidak pernah dengar lagi. Alangkah baiknya kalau rencana tersebut terealisasi karena masalah pakan tidak hanya pada budidaya ikan laut saja, tetapi juga pada budidaya ikan air tawar. Kalau rencana Pemda tersebut terwujud, sangat membantu masyarakat pembudidaya ikan,” ulasnya.

baca juga : Kondisi Budidaya Kerapu di Sumbar: Permintaan Tinggi, Produksi Rendah

 

Aktivias pembudidayaan ikan kerapu di KJA milik CV. Andalas Samudera Sejati di Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Permasalahan ketiga kasus kematian ikan akibat perubahan salinitas air yang cukup drastis pada musim hujan di kawasan Teluk Mandeh karena ada tiga sungai yang bermuara ke Teluk Mandeh.

Kalau musim hujan lanjutnya, seminggu saja jaring sudah kotor, sehingga akibatnya sirkulasi air tidak berjalan dengan baik. “Kami pernah menarik KJA kerapu dari dekat muara Sungai Mandeh ke Pulau Setan dengan boat karena salinitas air didekat muara sungai Mandeh turun drastis. Kalau musim hujan, ikan sering diserang swimbladder syndrom, pembesaran gelembung renang. Akibat kurangnya pakan dan kualitas air tersebut, pertumbuhan ikan kerapu akan semakin lambat, dan tingkat kematiannya semakin meningkat,” ungkapnya.

Sedangkan perubahan kualitas air di Sungai Bungin pada musim hujan tidak sebesar di Teluk Mandeh.

Mengenai kematian ikan, pengalaman Masrizal saat membina masyarakat di sekitar Teluk Mandeh, terjadi pada tiga bulan pertama pemeliharaan karena pembudidaya mulai pelihara ikan berukuran 6-7 cm.

Antisipasinya, disarankan membudidayakan kerapu dengan ukuran yang lebih besar, misalnya berukuran diatas 12 cm. Ikan kerapu berukuran 6-7 cm, sebaiknya dipelihara terlebih dahulu dalam wadah atau bak terkontrol dimana salinitas dan oksigen bisa dikontrol pada kondisi optimal.

baca juga : Pemerintah Sumatera Barat Mulai Kembangkan Budi daya Lobster

 

Ikan kerapu (Epinephelus coioides) ini dalam kondisi hidup hargannya bisa tinggi di pasar Hongkong, Taiwan, Tiongkok, Korea dan Jepang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Permasalahan lainnya adalah pemasaran atau ekspor ikan. Kapal pembeli kerapu dari Hongkong hanya akan datang bila total produksi, ukuran dan kualitas kerapu memenuhi standar mereka. Kalau pembeli tidak datang, ikan kerapu harus tetap diberi makan, padahal pembudidaya tidak ada uang lagi untuk beli pakan ikan rucah.

“Disinilah peran dinas terkait. Disamping lebih meningkatkan pembinaan pada masyarakat pembudidaya bagaimana pengelolaan dan management budidaya yang baik, dinas terkait juga bertugas membangun jejaring pemasaran ikan kerapu. Sebab pembudidaya tentunya tidak punya jaringan pemasaran,” kata Masrizal.

Dan yang paling sulit adalah mengubah mindset pembudidaya ikan kerapu yang umumnya adalah nelayan. “Dari pola pikir nelayan menjadi pola pikir pembudidaya,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version