- Pemprov Sumatera Barat mulai mengembangkan budi daya lobster di perairan Mentawai, Pesisir Selatan, Agam dan Pasaman Barat. Hal itu sesuai dengan kajian dan pemetaan sementara
- DKP Sumbar telah melakukan studi tiru ke lokasi budidaya lobster di Pulau Marshala, Sibolga, Sumatera Utara, milik Efendy Wong yang sukses karena mengadopsi teknologi dari Vietnam berupa budi daya KJA submersible
- Kondisi geografis perairan Sumatera Barat dengan banyak teluk, kualitas airnya bersih, ombak relatif tenang, didukung keberadaan Bandara International Minangkabau (BIM) menjadi faktor yang sangat potensial untuk pengembangan budi daya lobster. Apalagi perairan Pesisir Barat dan Mentawai dikenal sebagai penghasil benih lobster nasional.
- Defrizal (23) sukses membudidayakan lobster air tawar di perairan Danau Maninjau, Kabupaten Agam, yang usahanya dirintis sejak 2017. Lobster air tawarnya telah dipasarkan ke seluruh wilayah di Pulau Sumatera, kecuali Aceh dengan Rp30-40 juta per bulan
Untuk mengembangkan ekonomi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir Sumatera Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar saat ini sedang menyiapkan beberapa program strategis di subsektor perikanan budi daya, salah satunya mengembangkan budidaya lobster. Berdasarkan kajian dan pemetaan sementara, ada beberapa kawasan perairan yang akan dijadikan tempat pembudidayaan lobster yakni perairan Mentawai, Pesisir Selatan, Agam dan Pasaman Barat.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar, Reti Wafda mengatakan tahun ini pihaknya akan melakukan kajian dan pemetaan potensi lobster di kawasan tersebut dengan melibatkan tenaga ahli dan praktisi.
“Kita sedang memetakan lokasi rinci sampai koordinat. Pemetaan ini kita kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Bung Hatta (UBH). Data awal daerah yang cocok adalah Mentawai, Pesisir Selatan, Pasaman Barat dan Agam,” kata Reti kepada Mongabay, Senin (3/4/2023).
Reti mengatakan pemetaan yang dilakukan tim DKP Sumbar meliputi beberapa hal. Pertama dokumen awal sebagai dasar penyusunan regulasi dan tata kelola budidaya lobster yang berkelanjutan. Kedua, pengurusan izin rekomendasi pemanfaatan ruang laut untuk pengembangan budi daya, untuk investor yang berminat.
Ketiga, penetapan kawasan pengembangan budidaya meliputi daya dukung dan daya tampung keramba jaring apung (KJA) pada suatu kawasan. Dan keempat, kajian stok sumberdaya BBL (Benih Bening Lobster/Pirulus) terkait kebijakan penangkapan ikan terukur.
baca : Pertama di Indonesia, Teluk Jukung Lombok Timur ditetapkan Jadi Sentra Budidaya Lobster
Sebelumnya DKP Sumbar bersama pejabat terkait telah melakukan studi tiru ke lokasi budidaya lobster di Pulau Marshala, Sibolga, Sumatera Utara. Kegiatan ini untuk mempelajari bagaimana pengembangbiakan lobster dengan baik.
Budi daya lobster di Teluk Pulau Marshala ini sudah berhasil dikembangkan oleh seorang pengusaha bernama Efendy Wong. Ia sekaligus Ketua Himpunan Pembudidaya Laut Indonesia (Hiblindo) sejak tahun 2018.
Efendy bercerita tidak mudah untuk melakukan budi daya lobster ini. Awalnya, ia sempat gagal, namun berkat kegigihan dan ketekunan akhirnya ia berhasil melakukan budidaya lobster sekaligus menggerakkan kelompok masyarakat untuk serius melakukan pembudidayaan lobster ini. Alhasil kerja kerasnya ini berbuah manis dan memperoleh penghargaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Efendy mengembangkan sistem budi daya lobster hasil inovasi dan pembelajaran dari Vietnam yang dikenal berteknologi maju dalam budi daya lobster. Sistem budi daya menggunakan KJA submersible (tenggelam pada kedalaman 6-8 meter dibawah permukaan laut) dengan pakan rucah dan kerang-kerangan.
Efendy mengatakan saat ini produksi lobster di Vietnam cenderung turun akibat Milky Disease (penyakit susu) karena daya dukung perairannya mulai turun. “Peluang ini harus diambil oleh Indonesia untuk menyongsong diberlakukannya Permen-KP No.16/2022 untuk serius mengembangkan budidaya lobster dalam negeri dan melarang eksport BBL,” imbuh Reti Wafda.
baca juga : Lobster Estate yang Ditunggu Nelayan Lombok
Informasi yang diperoleh dari Efendy Wong, sebutnya, lobster berpotensi sangat bagus untuk peningkatan ekonomi nelayan dan devisa negara karena nilai jualnya cukup tinggi di pasar ekspor seperti Hongkong, Korea dan China. Bahkan salah satu jenis lobster yaitu mutiara memiliki nilai jual hingga Rp1,2 juta/ekor/kg.
Sumatera Barat dengan kondisi geografis dan karakteristik perairan dengan banyak teluk, kualitas airnya bersih, ombak relatif tenang, menurut Efendy Wong, jauh lebih baik dari perairan Sibolga. Didukung juga oleh keberadaan Bandara International Minangkabau (BIM) yang sangat potensial untuk pengembangan budi daya lobster. Apalagi perairan Pesisir Barat dan Mentawai dikenal sebagai penghasil benih lobster nasional.
“Memang potensi kita untuk lobster sangat besar. Ekspor sektor perikanan pada tahun 2020 tertinggi adalah lobster yang diikuti tuna dan komoditi perikanan lainnya. Kita punya potensi lobster mutiara yang dipasaran sangat tinggi harganya. Dipasaran 1 kilogram sampai Rp1,3 juta. dan berat satu ekor lobster bisa mencapai 1 kg. Lobster Ini sudah dibudidayakan di Sibolga. Untuk percepatan pengembangan lobster, gubernur sudah sampaikan proposal untuk pembuatan hachery dan pengembangan lobster ke Menteri KKP,” sebut Reti Wafda.
Beranjak dari peluang tersebut, DKP Provinsi Sumbar akan serius melakukan kajian dan pemetaan terhadap potensi lobster tersebut terutama di kawasan perairan yang potensial dengan melibatkan tenaga ahli dan praktisi. Ia berharap lobster bisa menjadi salah satu komoditi unggulan daerah yang strategis dalam membangkitkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan sumbar nantinya.
baca juga : Pengembangan Lobster Tak Lagi Fokus pada Benih
Terpisah Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah menyebut Sumatera barat memiliki potensi besar untuk pengembangan budidaya lobster guna membantu ekonomi masyarakat pesisir. “Kita masih punya potensi sekitar 300 ribu hektare kawasan pesisir yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya lobster ini,” ujarnya.
Menurut Mahyeldi lahan yang bisa dimanfaatkan itu tersebar pada tujuh kabupaten dan kota di Sumbar masing-masing Kabupaten Pesisir Selatan, Mentawai, Padang Pariaman, Agam, Pasaman Barat, Kota Padang dan Pariaman. Kondisi air di perairan Sumbar dinilai cocok untuk budi daya lobster. Ia menambahkan pihaknya sudah memerintahkan DKP Sumbar untuk menjajaki kemungkinan pengembangan budidaya lobster di daerah itu.
Saat ini, lanjut Mahyeldi, sebagian kawasan perairan laut Sumbar sudah dimanfaatkan untuk budidaya ikan kerapu. Hasil laut seperti tuna, ikan hias, dan udang vaname juga menjadi komoditas ekspor unggulan ke beberapa negara seperti Singapura, Hongkong, China dan Jepang.
Selain hasil laut, ikan air tawar juga sudah menjadi komoditas unggulan yang bisa memasok kebutuhan provinsi tetangga. Budidaya ikan juga didukung oleh pabrik pakan bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Kita berharap dukungan dari KKP untuk bisa mengembangkan potensi ini secara maksimal,” katanya.
baca juga : KKP Luncurkan Kapal Patroli di Daerah Rawan Penyelundupan Lobster dan Destructive Fishing
Kisah Sukses Budidaya Lobster Pemuda dari Agam
Jika DKP Sumbar baru mulai melirik potensi budidaya lobster, Defrizal (23) pemuda dari kabupaten Agam ini sudah memulai aktifitas budidaya sejak beberapa tahun lalu. Ia membuka usaha Blaster Farm, yakni budi daya lobster air tawar di perairan Danau Maninjau, Nagari Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Usaha yang ia rintis sejak masih di bangku kuliah ini bermula dari sebuah hobi.
Ia mengaku punya minat untuk memelihara lobster berawal ketika dirinya singgah di toko ikan hias. Saat itu ia mengagumi bentuk lobster yang terbilang unik. Diapun tertarik dan memelihara lobster di aquarium rumah. Dari hobi ia mulai menekuni usaha pembudidayaan ini.
Pada tahap awal, ia mulai menyortir indukan yang dipunyainya sebanyak 200 ekor. Selanjutnya, sebanyak 200 ekor itu ia kembangkan sejak tahun 2017 sampai sekarang. Sekarang sudah puluhan ribu ekor indukan yang ia punya dengan jenis red claw (capit merah).
Sejauh ini, kata Defrizal, dalam menjalankan usahanya ini tidak selalu mulus. Sejak SMP sampai SMA sudah banyak sekali lobsternya yang mati sehingga saat ini hanya 200 ekor induk saja yang tersisa untuk memulai bisnis komersil.
Pada 2017, bisnisnya juga labil, penuh pasang surut kerugian dan menempuh ujian lainnya. Ia mulai bisa merasakan sedikit keuntungan sejak dua tahun terakhir. Berbagai macam rintangan dalam berbisnis sudah ia lalui, sampai akhirnya menemukan cara sendiri untuk tetap bisa mempertahankan bisnisnya.
Selain keramba jala apung (KJA), ia juga sudah memiliki 36 kolam lobster air tawar di atas tanah seluas 700 meter persegi. Dalam mengelola usahanya ia mempekerjakan sebanyak tiga orang untuk mengurusi seluruh kolam tersebut.
Defrizal merinci bahwa blaster farm menjual empat macam kebutuhan lobster air tawar untuk konsumsi, indukan, bibit dan hias.
Saat ini, ia mengaku sudah bisa meraup omzet sebesar Rp30-40 juta per bulan melalui usahanya. Sejak 2020 pemasukannya sudah stabil sampai saat sekarang. Selanjutnya, pada 2020 lobster air tawar miliknya sudah menyasar seluruh pasar di Pulau Sumatera. “Paling atas (utara) itu Medan dan paling bawah (selatan) Lampung. Aceh belum bisa karena lobster itu hanya bisa menempuh jalur darat,” jelas Defrizal.