Mongabay.co.id

Ilmuwan Mengungkap Rahasia Bulu Beruang Kutub

 

Dunia satwa memang selalu menarik untuk disimak sebagai ilmu pengetahuan baru. Kali ini peneliti mengungkap tentang bagaimana beruang kutub (Ursus maritimus) bertahan di suhu dingin ekstrem Kutub Utara serendah minus 500 fahrenheit atau minus 45,50 celcius.

Peneliti mengungkap fakta bagaimana predator ini beradaptasi di belahan bumi paling dingin. Daya adaptasi mereka yang memungkinkan bertahan hidup sekalipun saat suhu menurun menjadi dasar penelitian.

Para ilmuwan telah memfokuskan perhatian mereka pada satu hal, yaitu bulu. Bagaimana bisa bulu beruang kutub membuat mereka tetap hangat?

Memang, beberapa dekade lalu mereka sudah mengetahui bahwa bagian dari rahasia beruang kutub adalah kulit.

Semula mereka pikir bahwa bulu hitam akan lebih baik dalam menyerap panas. Tetapi ternyata bulu putih beruang kutub yang menjadi kelebihannya karena sangat efektif dalam mentransmisikan radiasi matahari ke kulit beruang.

baca : Polutan Kimia Menjadi Ancaman Keberadaan Beruang Kutub dan Satwa Liar

 

Seekor beruang kutub. Foto : vecteezy

 

Tiga ilmuwan di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat telah menemukan bulu kutub sintetis baru penahan panas yang meniru bulu beruang kutub. Kain itu diklaim 30 persen lebih ringan dari katun dan jauh lebih hangat.

Para ilmuwan membutuhkan waktu 80 tahun untuk mengembangkannya. Tekstil ini menyerap cahaya dan menghantarkannya ke kulit pemakainya. Lalu mempertahankan kehangatannya dalam suhu yang sangat dingin, seperti daya jelajah penguasa kutub itu.

Hasil penemuan mereka dipublikasikan dalam jurnal ACS Applied Materials and Interfaces. Rencananya akan dikembangkan menjadi produk secara komersial.

Menurut Trisha L. Andrew, salah satu peneliti senior sekaligus profesor kimia ini, bulu beruang kutub berfungsi sebagai serat optik alami, menghantarkan sinar matahari ke kulit mereka. Mekanismenya menyerap cahaya lalu menghangatkan beruang kutub. Bulu sangat efisien dalam mencegah panas keluar. Bulu itu menciptakan selimut penghangat alami yang mampu mempertahankan kehangatan di sekitar kulit.

“Tetapi, bulu hanyalah setengah dari mekanisme yang bekerja (menjaga suhu),” katanya. “Setengah lagi ialah kulit hitam beruang kutub.”

Apa yang selama ini tidak diketahui oleh para ilmuwan adalah peran sinar matahari dalam menjaga beruang dan hewan kutub lainnya tetap hangat. Bulu mereka secara efektif menyerap dan memancarkan radiasi matahari ke tubuh.

Inspirasi kain ini sangat berguna untuk penelitian selanjutnya, kata Trisha. Apalagi tekstil bisa digunakan sebagai selimut tebal yang menghangatkan. Terutama dalam menghadapi perubahan suhu ekstrem.

baca juga : Foto: Beruang Kutub yang Kelaparan ini Memakan Sampah Plastik

 

Seekor beruang kutub. Foto : earth.com

 

Kain ini berlapis dua. Lapisan atas terdiri dari benang yang menghantarkan cahaya ke lapisan di bawahnya. Lapisan tersebut terbuat dari nilon dan dilapisi dengan bahan gelap yang disebut polimer konduktif atau pedot yang menjadi penghangat secara efisien.

Peneliti lain dari University of Massachusetts Amherst, Wesley Viola, mencatat potensi ganda keunggulan kain sintetik: kain ini dapat digunakan di dalam ruangan dengan cahaya buatan untuk menghangatkan tubuh dan juga di luar ruangan di bawah sinar matahari.

Nantinya pakaian dari tekstil baru ini dapat membuat pemakainya tetap nyaman pada suhu lebih rendah dari minus 45,50 celcius. Selama lingkungannya cerah atau di dalam ruangan yang cukup terang, hangat akan tetap terjaga.

Dibalik pengembangan kain yang terinspirasi dari beruang kutub, ada fakta yang tidak bisa disembunyikan. Adalah kenaikan suhu dan hilangnya daratan es di Kutub Utara.

Habitat beruang kutub tersebar di wilayah Arktik, terutama di negara-negara seperti Kanada, Rusia, Greenland, Norwegia, dan Amerika Serikat (Alaska). Mereka beradaptasi dengan baik untuk bertahan hidup di lingkungan yang keras dan dingin di Kutub Utara.

Akan tetapi pemanasan global yang tidak terkendali mengancam keberadaan beruang kutub. Para ilmuwan memperkirakan, apabila masalah dampak perubahan iklim tak kunjung terselesaikan, beruang kutub bisa punah sebelum tahun 2100.

 

 

Referensi : umass.edu, scitechdaily.com, earth.com dan sciencedaily.com

 

 

Exit mobile version