Mongabay.co.id

May Day 2023: Saat Perempuan Buruh Serukan Ketidakadilan Ekologis

 

Hari Buruh Internasional atau May Day yang diperingati setiap 1 Mei menjadi sejarah panjang perjuangan buruh dalam merebut hak dan mendorong perubahan atas situasi ketidakadilan, penindasan, dan pemiskinan yang tersistematis.

Peringatan May Day di Makassar, Sulawesi Selatan diwarnai aksi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat di 15 titik, termasuk organisasi buruh, lingkungan hingga mahasiswa. Sebanyak 2.150 personel gabungan diturunkan mengamankan aksi ini, mulai di Fly Over hingga Simpang 5 Bandara.

Seratusan perempuan dari sejumlah komunitas, termasuk Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, menyuarakan ketidakadilan ekologis akibat pembangunan infrastruktur yang mengabaikan lingkungan dan hak-hak perempuan.

Suryani, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, dalam orasinya menyampaikan bahwa krisis ekonomi global akibat kebijakan pembangunan yang eksploitatif dan situasi krisis pandemi Covid-19 dinilai turut memberi dampak berlapis pada kehidupan perempuan.

“May Day menjadi momen penting untuk menyuarakan ketidakadilan tersebut, termasuk ketidakadilan ekologis yang dampaknya paling besar dirasakan perempuan,” katanya (1/5/2023).

“Penggusuran dan penghilangan sumber ekonomi dan pekerjaan perempuan, serta abai pada pemenuhan perlindungan perempuan buruh di berbagai sektor.”

Di Sulawesi Selatan, perempuan nelayan kehilangan pekerjaan di laut akibat kebijakan pembangunan Pelabuhan Makassar New Port yang mereklamasi laut di Makassar seluas 1.428 hektar. Selain itu, perempuan petani di Kabupaten Takalar kehilangan tanah sebagai sumber kehidupannya, akibat perusahaan gula skala besar milik negara.

Menurutnya, penindasan dan pemiskinan yang berlapis dialami perempuan buruh adalah akibat sistem ekonomi kapitalisme yang eksploitatif dan diperparah oleh sistem yang patriarkis.

 

Perempuan buruh dinilai masih mengalami diskriminasi upah dan tidak terpenuhinya hak reproduksi, berupa cuti haid, hamil, melahirkan, dan keguguran, serta tidak adanya kondisi kerja yang layak bagi perempuan pekerja rumah tangga. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Baca juga: Mengintip Nasib Buruh Sawit Perempuan di Jambi

 

Persoalan Diskriminasi dan Perlindungan Buruh Migran

Dia menambahkan, perempuan buruh di Indonesia, -termasuk di Sulsel, masih mengalami banyak persoalan seperti diskriminasi, pemenuhan hak-hak reproduksi, kekerasan di tempat kerja, korban trafficking hingga kematian di negara tujuan.

Situasi ketidakadilan yang dihadapi hingga saat ini sebutnya, belum jadi perhatian yang prioritas untuk diselesaikan oleh pemerintah.

“Dari berbagai permasalahan buruh dan krisis multidimensi, pemerintah justru mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sejak awal bermasalah, secara formil dan materiil.”

SP Anging Mammiri sendiri mencatat ada 6.000 pekerja migran asal Sulsel menjadi korban deportasi massal selama masa pandemi Covid-19 dari Malaysia ke Indonesia.

“Di tengah kontestasi kepentingan politisi dan oligarki, kepentingan perempuan, termasuk buruh tidak menjadi substansi yang dibicarakan secara serius,” katanya.

Suryani menyampaikan sejumlah tuntutan, yaitu  agar pemerintah memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan buruh migran, menghentikan semua proyek pembangunan yang merampas ruang hidup perempuan, serta melibatkan perempuan buruh migran dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Sulsel.

“Kami juga meminta pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan segera merumuskan kebijakan yang melindungi, menghormati dan memenuhi hak pekerja migran Indonesia, meminta hentikan PHK sepihak, dan berikan upah layak bagi buruh perempuan.”

***

Foto utama: Ilustrasi. Buruh sawit perempuan di sebuah perusahaan perkebunan sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version