Mongabay.co.id

Gelombang Panas dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

 

 

Gelombang panas [heatwave] sedang melanda sebagian negara di Asia, seperti India, Bangladesh, China, Jepang, Laos, Korea, Myanmar hingga Thailand. Suhu di negara-negara itu meningkat dari biasanya bahkan bisa mencapai 40 derajat Celcius.

Puncak sementara, wilayah Kumarkhali, kota di distrik Kusthia, Bangladesh menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum harian yang tercatat sebesar 51,2 derajat Celcius pada 17 April 2023.

Sedangkan di India, 60 persen wilayahnya telah mengalami cuaca ekstrem tersebut. Bahkan pada 16 April lalu, tercatat ada 13 orang meninggal. Gelombang panas ini salah satu dari akibat perubahan iklim.

Sebagai fenomena alam, ilmuwan iklim telah memproyeksikan cuaca ekstrem terjadi setiap 30 tahun sekali atau lebih di Asia Selatan. Namun tak sesuai dugaan, perubahan iklim mempercepat terjadinya cuaca ekstrem di sejumlah belahan Bumi.

Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] juga mengingatkan temperatur global dan intensitas gelombang panas akan meningkat pada abad ke-21 sebagai akibat dari perubahan iklim.

“Suhu udara yang tinggi dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan menyebabkan kematian,” tulisan laporan itu.

Baca: Ini yang Terjadi, Jika Temperatur Bumi Meningkat Lebih dari 2 Derajat Celcius

 

Cuaca panas yang kita rasakan belakangan ini sangat berdampak pada kehidupan keseharian kita di Bumi. Foto: Pixabay/Fotorech/Public Domain

 

Penyebab gelombang panas

Melansir situs Met Office, gelombang panas merupakan periode cuaca panas berkepanjangan relatif yang mungkin disertai kelembaban tinggi. Gelombang panas terjadi di musim panas ketika tekanan tinggi berkembang di suatu area untuk jangka waktu lama, seperti sepekan atau lebih.

Gelombang panas adalah peristiwa cuaca ekstrem, tetapi penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim membuat peristiwa ini lebih mungkin terjadi.

Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG] Indonesia menjelaskan, gelombang panas dapat dijelaskan secara karakteristik fenomena dan indikator statistik suhu kejadian.

“Secara karakteristik fenomena, gelombang panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi, di belahan Bumi Bagian Utara maupun Bumi Bagian Selatan,” kata Dwikorita melalui keterangan tertulisnya, 25 April 2023.

Gelombang panas terjadi pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental.

“Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan [subsidensi] sehingga suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer.”

Secara indikator statistik suhu kejadian, gelombang panas dalam ilmu cuaca dan iklim didefinisikan sebagai periode cuaca dengan kenaikan suhu panas yang tidak biasa yang berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih [sesuai batasan Badan Meteorologi Dunia atau WMO].

Fenomena cuaca termasuk kategori gelombang panas bila suatu lokasi mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat Celcius lebih panas, dari rata-rata klimatologis suhu maksimum.

“Apabila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama maka tidak dikategorikan sebagai gelombang panas,” jelasnya.

Baca: Studi: Setengah Gletser di Bumi Diperkirakan Hilang Tahun 2100

 

Kekeringan yang terjadi akibat dampak perubahan iklim harus kita atasi. Foto: Pixabay/JodyDellDavis/Public Domain

 

Fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, kata Dwikorita, jika ditinjau karakteristik fenomena maupun indikator statistik, tidak termasuk kategori gelombang panas, karena tidak memenuhi kondisi-kondisi tersebut.

Secara karakteristik fenomena, suhu panas itu akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan siklus setiap tahun.

“Sehingga, potensi suhu udara panas seperti ini dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya,” jelasnya.

Baca juga: Hadapi Krisis Iklim Peneliti Kembangkan Padi Tahan Cuaca Panas

 

Bumi yang hijau dan jauh dari kerusakan adalah harapan kita bersama. Foto: Pixabay/geralt/Public Domain

 

Penyebab perubahan iklim

Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa [PBB] menunjukkan, bahan bakar fosil seperti batubara, minyak, dan gas, adalah penyumbang terbesar perubahan iklim, lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida.

“Saat emisi gas rumah kaca menyelimuti Bumi, sinar matahari akan terperangkap,” tulis laporan tersebut.

Hal ini menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Tak hanya itu, alih fungsi hutan untuk pertanian, pertambangan dan pemukiman, juga menyebabkan emisi, karena pohon ketika ditebang, melepaskan karbon yang telah mereka simpan.

Akibat perubahan iklim, suhu Bumi akan lebih panas, terjadi badai, keringan, permukaan laut meningkat, kemiskinan bertambah, kesehatan memburuk, dan kekurangan makanan melanda. Bumi akan kehilangan spesies di darat dan di laut.

“Beberapa spesies akan dapat pindah dan bertahan hidup, tetapi yang lain tidak,” jelas laporan tersebut.

 

Exit mobile version