Apa yang bakal terjadi dengan Bumi jika temperturnya naik lebih dari 2 derajat Celcius? Apakah Bumi tetap layak kita tempati?
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia, suhu rata-rata Bumi kita saat ini sekitar 1,2 derajat Celcius lebih hangat ketimbang sebelum revolusi industri, akhir 1800-an.
Perjanjian Paris yang diratifikasi 196 negara pada 2015 lalu, telah menyepakati untuk menjaga peningkatan temperatur Bumi dibawah 2 derajat Celcius, serta berupaya membatasinya pada 1,5 derajat Celcius.
Tahun 2018 lalu, para ilmuwan iklim menerbitkan sebuah laporan yang memperingatkan kita tentang apa yang mungkin terjadi, jika temperatur Bumi menghangat sekitar 1,5 derajat Celcius.
Jika hal itu terjadi, diperkirakan permukaan laut akan naik 26 hingga 77 sentimeter, serta menempatkan 10 juta lebih orang di berbagai belahan dunia dalam risiko badai pantai dan banjir.
Gelombang panas pun akan terus memburuk, membuat 14 persen populasi dunia terkena hawa panas ekstrem setiap lima tahun sekali. Ekosistem juga akan menderita. Diperkirakan, hingga 90 persen semua terumbu karang bisa mati, sekitar 7 persen luas daratan Bumi bisa berubah menjadi bioma baru, dengan padang rumput berubah menjadi gurun.
Baca: Bumi dan Ekosistem yang Sehat untuk Kehidupan Manusia
Temperatur naik hingga 6 derajat
Mark Lynas, penulis buku “Our Final Warning: Six Degrees of Climate Emergency” menjelaskan bahwa perubahan iklim akan sangat katastropik.
Menurut Lynas, bila temperatur Bumi naik 2 derajat Celcius, menyebabkan terjadi kekeringan parah dan kekurangan air di pedalaman Tiongkok. Ketika karbon dioksida terakumulasi, lautan akan menjadi lebih asam dan kurang mampu mendukung kehidupan. Saat makhluk laut yang menyerap karbon dioksida mati, maka lebih banyak karbon dioksida yang bertahan di atmosfer.
Benua Eropa akan sering mengalami gelombang panas. Selain itu, gletser akan menyusut dan lapisan es Greenland mulai menghilang.
Peningkatan 3 derajat, akan menghasilkan “badai super” yang lebih kuat dari apa pun yang pernah kita alami. El Niño dan cuaca ekstrem yang ditimbulkan, bisa menjadi peristiwa hampir permanen. Kekeringan terkadi di Afrika bagian selatan, sementara musim angin monsun Asia akan lebih intens tetapi kurang dapat diprediksi.
Saat tanah menghangat, bakteri akan memecah sejumlah besar karbon yang tersimpan di dalamnya, mengembalikannya ke atmosfer sebagai karbon dioksida. Hutan hujan di cekungan Amazon akan berubah menjadi padang rumput, mungkin sebagai akibat dari kebakaran besar, dan mungkin berubah menjadi gurun.
Jika suhu naik 4 derajat Celcius, Lynas memprediksi, lapisan es di Antartika Barat dapat runtuh ke laut, menaikkan permukaan laut hingga 4,6 meter atau lebih. Tanah akan sulit ditanami sehingga kelaparan massal akan terjadi.
Suhu yang lebih tinggi akan mencairkan permafrost di Siberia, Alaska, dan Kanada bagian utara, melepaskan ratusan miliar ton gas rumah kaca yang telah terperangkap di dalamnya oleh suhu di bawah titik beku selama jutaan tahun.
Baca: Membangun Kesadaran Kolektif Melindungi Bumi
Peningkatan 5 derajat, Bumi akan mengeringkan sebagian besar reservoir air bawah tanah, membuat kita lebih sulit bercocok tanam. Semakin lama, manusia akan terkonsentrasi ke kutub, sehingga populasinya bisa turun menjadi satu miliar atau kurang.
Kondisi ini mungkin seperti 55 juta tahun lalu, ketika tingkat karbon dioksida mencapai 1.000 bagian per juta, lautan bersifat asam, serta ada kawasan ekstrem basah dan kering.
Selama waktu itu, terjadi kematian besar-besaran makhluk laut. Para ilmuwan percaya bahwa kejadian tersebut mungkin merupakan hasil letusan besar kombinasi metana dan air yang terlepas dari kedalaman laut. Bahkan sekarang, sejumlah besar zat ini tetap terperangkap di bawah lautan.
Jika dibiarkan, pemanasan global dapat menyebabkan kondisi yang mirip dengan akhir periode Permian, sekitar 250 juta tahun lalu. Kemudian, sebuah peristiwa bencana memusnahkan hampir semua kehidupan di Bumi. Salah satu kemungkinannya adalah tragedi rumah kaca yang menaikkan suhu global hingga enam derajat.
Pada titik ini, lautan hampir tidak ramah bagi kehidupan, angin topan ganas mengamuk, dan gunung berapi yang meletus melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Pada skenario 6 derajat lebih, manusia juga berisiko punah. Lynas mengapungkan kemungkinan “skenario mimpi buruk” berupa letusan super metana bawah air yang akan 10.000 kali lebih kuat dari gabungan semua senjata nuklir dunia.
Lynas percaya bahwa suhu air lebih tinggi dapat melepaskan gas metana yang saat ini terperangkap di dasar lautan. Gas yang sangat mudah terbakar itu bisa menjadi bola api besar.
Baca juga: Manusia dan Bayang-bayang Kepunahan Massal Keenam
Menghindari skenario buruk
Tentu saja diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk menghindari skenario-skenario buruk seperti digambarkan Lynas. Upaya itu mencakup transformasi drastis pada sektor ekonomi dan industri global yang melibatkan komitmen kuat semua pihak untuk menghentikan pemanasan global.
Para ahli sepakat, untuk mempertahankan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius dalam jangka panjang, kita harus mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 45% pada 2030 dan mencapai nol emisi bersih [karbon netral] tahun 2050.
Untuk melakukannya, emisi tahunan harus mampu dikurangi sekitar setengah dari emisi saat ini, yaitu dari 52 Gt menjadi 25 Gt per tahun. Sudah tentu, peran energi terbarukan akan menjadi fundamental untuk mencapai target ini. Pada 2050, energi terbarukan diharapkan harus mampu memasok 70-85% dari seluruh kebutuhan energi kita.
Terlepas dari sejumlah risiko buruk, jika kita gagal mempertahankan peningkatan suhu Bumi sekurangnya 1,5 derajat Celcius, sebagian ahli tetap optimis bahwa dengan teknologi dan instrumen finansial yang memadai, kita akan mampu mengatasi persoalan pemanasan global dan perubahan iklim.
Referensi:
Laure Sommer. 2021. This is What the World Looks Like if We Pass the Crucial 1.5-degree Climate Threshold
Luke Kemp. 2022. Climate Endgame: Exploring Catastrophic Climate Change Scenarios
Mark Lynas. 2007. Six Steps to Hell
Mark Lynas. 2020. Our Final Warning: Six Degrees of Climate Emergency
SFA. 2019. What Will Happen if the Planet Temperature’s Rises by Just Half a Degree?
*Djoko Subinarto, penulis lepas, tinggal di Bandung, Jawa Barat.