Mongabay.co.id

Cerita di Balik Penangguhan Minyak Sawit Astra Agro Lestari

 

 

 

 

 

Minyak sawit dari tiga anak usaha sawit PT Astra Agro Lestari (AAL) ditangguhkan oleh perusahaan minuman dan makanan asal Amerika Serikat, PepsiCo, bersama pemilik merek Susu Cap Bendera, FrieslandCampina NV, belum lama ini.

Dua perusahaan itu meminta agar pemasok mereka mengeluarkan tiga perusahaan itu dari rantai pasok, setelah meninjau aduan kelompok organisasi nirlaba, Friends of Earth (FoE) yang menuduh mereka melanggar hak asasi manusia warga sekitar konsesi perusahaan di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

Tiga anak usaha AAL itu yakni, PT Lestari Tani Teladan, PT Agro Nusa Abadi, dan PT Mamuang.

“Terkait pernyataan PepsiCo dan FrieslandCampina, AAL tidak memiliki hubungan komersial (jual-beli) langsung dengan kedua perusahaan itu,” kata Fanny Sofyan, Communication and Investor Relations Manager Astra Agro Lestari (AAL).

Kedua perusahaan itu, katanya, juga tak menghubungi atau meminta klarifikasi atas pernyataan mereka. “Hingga kami tidak mengetahui secara pasti isi dalam penyataan itu.”

Apa yang terjadi di lapangan, di balik tuduhan dan penangguhan itu? Pada Oktober 2022, saya mengunjungi salah satu titik konflik agraria, antara warga dengan PT Mamuang, anak usaha AAL.

Karolus Kolong, salah satu warga transmigran punya cerita. Pada 1995, gelombang transmigrasi dari Nusa Tenggara Timur, membawanya ke Desa Rio Mukti, pelosok Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Dia bertekad meninggalkan Ojang, desa kelahiran demi secercah impian besar agar arah nasib lebih cerah kalau hidup di negeri seberang. “Di kampung, saya tidak punya apa-apa.”

Ketika tiba pertama kali, Rio Mukti masih hamparan hutan lebat dan rawa basah. “Banyak buaya. Ular. Besar-besar!” kata pria 62 tahun ini.

“Kita yang buka itu hutan.”

Dari NTT, Karolus tiba bersama 50-an keluarga. Beberapa bulan kemudian, transmigrasi pertama dari Bali datang. Mereka bertetangga bersama warga lokal dan para transmigran yang datang dan ubah wilayah itu jadi tempat penuh keberagaman budaya.

Karolus pun memulai kembali hidupnya. Dia kebagian lahan transmigrasi seluas dua hektar lalu dirikan rumah dan sepetak kebun.

Pada 1997, Karolus membeli sepetak tanah restan transmigrasi dari kepala desa, di Sibuntu, seluas tiga hektar di tepi sungai. Tanah itu Rp1 juta per hektar.

Dia menanami dengan jeruk, cabai, hingga kakao, dan taat bayar pajak tanah itu. Hasilnya,  cukup buat makan dan menyekolahkan dua anaknya.

Karolus berharap besar pada kebun itu. Suatu saat, ketika anak-anak berkeluarga, mereka punya tanah warisan. Angan-angan itu harus sirna. “Tahun 2004, perusahaan masuk,” cerita Karolus soal awal masuk Mamuang.

Kepada Karolus, utusan perusahaan mengatakan, kebun masuk area Mamuang yang punya konsesi 8.000 hektar, membentang dari Pedongga, Sulawesi Barat hingga Rio Mukti, Sulawesi Tengah.

 

Baca juga: Ketika Nestle Setop Pasok Sawit dari Tiga Anak Usaha Astra

Tandan buah sawit. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Sekitar 70 pemilik tanah sempat berunding dengan perusahaan, tetapi keputusan tak sesuai harapan.

Karolus, kukuh menolak.

Selang beberapa waktu, kebun Karolus rata. Karolus marah, tetapi takut melawan.

“Waktu itu banyak polisi. Brimob. Senjata laras panjang lagi.”

Beberapa hari kemudian, putri sulung Karolus meninggal tiba-tiba tanpa perawatan medis dan putranya terpaksa putus sekolah. “Tidak mampu biaya,” kata Karolus. “Kebun sudah tidak ada.”

Di Rio Mukti, Karolus tidaklah sendiri. Sejumlah warga perantau juga bernasib serupa.

“Waktu itu kita mau panen kebun, tapi sudah tidak bisa. Dilarang sama Brimob,” kata I Wayan Raiyasa, perantau Bali, usia 46 tahun, tiga anak.

Pada 1995, Raiyasa merantau dari Bali menuju Rio Mukti menyusul adiknya yang ikutan program transmigrasi. Di daerah asal, Raiyasa tak punya apa-apa, selain beban utang besar.

Seperti Karolus, dua bersaudara itu kehilangan kebun yang mereka beli, di Sibuntu. Dia menanam kacang, jagung, hingga kakao dan semua hancur. Anak-anak Raiyasa harus putus sekolah dan bekerja sebagai buruh harian hingga kini.

Pada 2015, Raiyasa sempat merantau ke Kalimantan Barat, jadi buruh sawit selama beberapa tahun. Adiknya, Nengah Suka, membuka bengkel kecil depan rumahnya.

Bukan tinggal diam, tahun 2004, Karolus bersama warga lain menggugat Mamuang di pengadilan. Upaya mereka seakan membentur tembok, berujung hampa. Tanah-tanah tak pernah kembali.

Kepada Mongabay, juru bicara perusahaan mengatakan, seluruh proses melalui tahapan prosedur berlaku. “Salah satu prosedur adalah mengindentifikasi lokasi lahan yang dimohonkan untuk HGU,” kata Mochamad Husni, Media and Public Relations Manager PT Astra Agro Lestari Tbk.

“Tahap identifikasi memastikan apakah ada terdapat lahan-lahan milik orang lain, perizinan yang terbit sebelumnya, tanah masyarakat, tanah adat, dan lain-lain.”

Tahun-tahun berikutnya, wajah Rio Mukti berubah. Sawit tumbuh mengepung kampung, menghampar seluas mata memandang. Kampung sejuk jadi panas dan gerah.

 

Baca juga: Kala Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

Kebun sawit dalam konsesi PT Mamung. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Ketika minyak sawit mengalir ke pasar global dan jadi ‘andalan’ pemasukan negara, hidup Karolus sebaliknya. Dia dan putranya bergumul cari hidup dari upah sebagai buruh kebun. Di mana warga perlu jasa panen, Karolus dan putranya akan berangkat. Warga menyebut itu dengan istilah “makan gaji.”

Pekerjaan macam itu penuh risiko, tak berbanding lurus dengan upah yang kecil.

Saat bertemu Karolus Oktober 2022, rambut sudah memutih dan badan mudah lelah. Setahun sebelumnya, istri Karolus meninggal, setelah bertahun-tahun menderita penyakit lambung.

“Dia pasti selalu ikut kalau kita demo perusahaan,” kenang Karolus.

Sehari setelah Natal 2022, Karolus menelfon. Dia bilang, kawan-kawannya dari NTT, kini tinggal sembilan keluarga. “Termasuk saya.”

“Semua sudah kembali ke kampung.” “Saya tetap bertahan.”

Perjuangan Karolus dan warga belumlah berhenti. Hingga kini, dia menolak uang ganti rugi dari perusahaan.

Konflik berkepanjangan menuntut banyak pengorbanan.

“Saya dikriminalisasi,” kata Dedi Sudirman, warga Kabuyu, juga bersengketa dengan Mamuang.

Ceritanya, 24 Februari 2022, kelompok warga mengatasnamakan diri Aliansi Masyarakat Kabuyu menuju Kantor Mamuang. Mereka ingin protes yang telah bergulir beberapa hari.

Mereka berjalan kaki berkilo-kilo meter, menyusuri kebun-kebun perusahaan.

Pangkal protes itu disulut persoalan konflik agraria menahun. Mereka mendesak perusahaan segera mengembalikan lahan Kabuyu seluas 500 hektar.

Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan truk pengangkut sawit Mamuang. Dalam bak buah-buah sawit menumpuk hingga melampaui bak.

“Kasih turun buahnya,” suara perempuan menyahut, dalam sebuah video amatir yang merekam peristiwa siang itu.

Suara lain bermunculan.

“Buang!”

“Tumpah!”

Warga mulai mengelilingi truk. Dari video, terdengar bunyi mesin truk, dan seorang pria berhelm kuning memutari kemudian memasuki truk duduk di balik kemudi.

“Kasih turun, Pak,” kata seorang pria dengan megaphone. “Kasih turun, Pak.”

Suara mesin truk meraung. Bak truk mulai miring dan muatan tumpah menutup jalan. Warga menyambut dengan bertepuk tangan dan sahut-sahutan.

“Merdeka! Merdeka!”

“Pulang, Pak. Pulang, Pak.”

Truk itu pergi.

Perisitiwa itulah yang jadi dasar laporan polisi terhadap Dedi. Dia kena tudingan pengancaman oleh sopir truk itu, menurut Hermanto Rudi, Community Development Officer (CDO) Mamuang.

Dalam video berdurasi hampir empat menit itu, saya tidak melihat kehadiran Dedi. “Saya datang belakangan,” katanya.

Selain Dedi, Kepolisian Resort Pasangkayu turut memanggil empat warga Kabuyu sebagai saksi. Mereka tak pernah memenuhi panggilan itu. Mereka merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan.

Dedi terlibat cukup aktif dalam aliansi. “Saya tidak tahu kenapa saya yang dilapor.”

Pagi hari, 9 Maret 2022, kelima warga itu bertolak ke Kota Palu, Sulawesi Tengah, hendak menemui pengacara pro-bono. Di jalan, mobil mereka dicegat polisi. Mereka lalu dibawa ke Polres Pasangkayu untuk diperiksa. Beberapa pekan setelah itu, polisi menyatroni Kabuyu, meminta warga membubarkan aksi pendudukan lahan.

Setelah pemeriksaan, Dedi jadi tersangka dan segera ditahan. Medio Juni, berkas perkara Dedi naik ke jaksa. Persidangan pun bergulir.

Dia vonis bersalah, 8 September 2022, sehari setelah istrinya melahirkan putri bungsu di rumah kecilnya, dibantu dukun beranak. “Kejam sekali,” kata Dedi.

Kabuyu adalah rumah komunitas kecil rumpun Kaili Tado, pemukim dataran Sulawesi bagian tengah.

Albert C Kruyt, etnografer Belanda, mencatat pada 1938, Kabuyu—dalam ejaan ‘Kaboejoe’—dibangun oleh Komunitas ‘Torilo’, di antara pertemuan Sungai Ewa dan Kabuyu, berpenduduk sekitar 100 orang.

Kruyt memasukkan Kabuyu ke dalam bagian Kelompok Pakawa, pemukim pedalaman hutan Pasangkayu.

Jauh sebelum sawit mengubah lanskap dan perusahaan kayu beroperasi. Warga Kabuyu menggantungkan hidup pada berkat hutan, sungai, dan rawa. Berladang padi—kadangkala di rawa, tanam sagu, durian, nangka, pisang, mencari ikan-ikan di sungai, atau pergi berburu.

Ketika saya berkunjung di Kabuyu, Dedi menunjuk ke arah kebun perusahaan, pada kaki bukit yang dulu kebun warga.

“Hutan di sini dulu. Pohonnya besar-besar,” kata Kimin, pria 66 tahun.

 

Protes warga yang bersengketa dengan perusahaan sawit Astra. Foto: Walhi Sulteng

 

 

Sekitar 1990-an, Mamuang mulai bangun kebun sawit. Mamuang mendapatkan hak guna usaha pada 1997, di lahan seluas 8.000 hektar, dibatasi sungai dan HGU anak perusahaan AAL yang lain.

“Sekitar 93, perusahaan masuk dikawal tentara. Tumbangkan pohon, dicincang-cincang baru dibakar. Besar sekali apinya,” kata Kimin.

“Ladang, kebun habis.”

Perusahaan membantah tuduhan mereka merusak tanaman kebun warga. “Pada proses identifikasi lapangan oleh BPN untuk permohonan HGU PT. Mamuang, ditemukan ada 250 hektar lahan bagian dari masyarakat Kabuyu,” kata Husni.

“PT. Mamuang mengeluarkan atau enclave seluas 250 hektar.”

Warga Kabuyu juga melayangkan gugatan kepada Mamuang di pengadilan, bersama Karolus dan warga lain. Mereka menduduki lahan yang diklaim perusahaan dan demonstrasi sana-sini.

Kini, Kabuyu jadi kampung dengan rumah-rumah semi permanen dikelilingi sawit dan terhimpit badan sungai.

Orang Kabuyu tetap berladang di lahan tersisa yang sempit. Mereka tanam padi, jagung sampai cabai. Pada waktu tertentu, mereka bekerja di perusahaan sebagai buruh kasar.

Perempuan Kabuyu, banyak bekerja sebagai pembasmi gulma di kebun perusahaan yang sedang peremajaan. Mereka menyemprotkan racun dan membabat gulma yang tumbuh menjerat sawit baru.

 

Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)

Polisi datangi Kampung Kabuyu, minta warga bubarkan aksi pendudukan lahan. Foto: dokumen warga

***

Tegar Siloloen,  anak empat tahun. Dia punya tiga anak anjing yang mengekorinya ke mana pun. Nama Tegar punya makna mendalam.

Tegar lahir di sebuah rumah sakit di Palu, pada 2018. Malam harinya, Franz Hemsi, sang ayah yang sedang tidur dibangunkan. Di ruangan lain polisi menunggunya dengan surat perintah penangkapan.

Hemsi meminta polisi menunggu pengacaranya. Polisi mengamini. Keesokan hari, Hemsi menuju Polres Pasangkayu memenuhi pemanggilan polisi. Dia diperiksa lalu ditahan. Tuduhannya, mencuri buah sawit perusahaan di lahan miliknya yang bersengketa dengan Mamuang sejak 2004.

“Padahal saya panen itu di lahan saya sendiri,” kata Hemsi.

Itu kali ketiga Hemsi berhadapan dengan hukum.

Pada 2010, Hemsi dituduh mencuri buah sawit perusahaan di atas lahan sengketa itu. Kemudian 2017, Hemsi dituduh mencuri buah sawit dan merusak alat berat perusahaan. Keluar masuk penjara, membuat Hemsi tak gentar.

“Selagi itu hak kita, kita harus perjuangkan. Apapun yang terjadi,” katanya.

“Apalagi lahan itu tempat keluarga saya menggantungkan hidup. Keluarga, anak-anak saya bisa makan dan bersekolah dari situ. Masa depan anak-anak saya dari situ.”

“Saya tidak menyerobot lahan perusahaan, tapi perusahaan yang mengklaim lahan saya.”

Dalam pernyataan perusahaan, pemidanaan terhadap Hemsi murni kasus kriminal, tidak terkait dengan Mamuang atau entitas AAL yang lain.

Pada Oktober 2022, saya tinggal di rumah Hemsi, menyaksikan Tegar sepanjang hari. “Tidak tidur itu kalau tidak minum susu,” kata ibunya.

Tegar meminum susu formula SGM, produk Sarihusada bersama Danone, produsen raksasa makanan dan minuman asal Paris, di mana minyak sawit Mamuang bermuara.

Dari kebun Mamuang, buah sawit dipasok ke pabrik pengelolaan minyak sawit terdekat AAL, antara lain, PT Lestari Tani Teladan, PT Letawa, dan PT Pasangkayu. Mamuang tak memiliki pabrik.

Sebelum sampai ke Danone, minyak sawit dari Letawa dan Pasangkayu, dipasok untuk Cargill dan AAK, menurut laporan Danone, pada Desember 2020.

Sejalan dengan PepsiCo, Danone juga menangguhkan minyak sawit dari Mamuang, bersama dua anak perusahaan AAL yang lain, dalam laporan Walhi. Walhi, salah satu organisasi yang melayangkan aduan kepada Forest Positive Coalition, bagian Costumer Goods Forum, sebuah konsorsium merek konsumen ternama dunia, di mana Danone, PepsiCO, dan FrieslandCampina menjadi anggota.

Perusahaan anggota lain, L’Oréal, Hershey’s, Procter & Gamble, Colgate-Palmolive, Unilever, Nestlé, dan Mondelez juga ikut mengambil kebijakan serupa.

Bagaimana tanggapan perusahaan atas tuduhan yang dilayangkan? “PT Mamuang menentang keras adanya pelanggaran HAM. Komitmen perusahaan terhadap penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia telah tertuang dengan jelas dalam Sustainability Policy,” tulis Husni kepada Mongabay.

Dalam operasional perusahaan,  kata Husni, berpedoman pada UN-Guiding Principle on Busines and Human Right, atau asas-asas pedoman perserikatan bangsa-bangsa tentang bisnis dan hak asasi manusia. “Dalam kaitan dengan tuduhan Friends of the Earth bahwa Mamuang melakukan pelanggaran HAM, secara resmi Astra Agro telah memberikan klarifikasinya,”

AAL dalam pernyataan pada Desember 2022 mengatakan, akan menunjuk pihak ketiga independen meninjau tuduhan itu dan akan merancang kerangka acuan. Perusahaan berkomitmen akan transparan dan mengarah pada solusi.

31 Maret 2023, AAL mengumumkan, bahwa EcoNusantara ditunjuk sebagai pihak ketiga independen dan telah merampungkan kerangka acuan bersama konsultan keberlanjutan, Robertsbridge Group. EcoNusantara dalam pernyataan tersebut, akan bekerja mulai April 2023 hingga enam bulan ke depan. Perusahaan akan mempublikasikan seluruh temuan dan “tindakan apapun yang diperlukan untuk mengatasinya.”

“Kami mengharapkan investigasi baru EcoNusantara, menegaskan apa yang telah terungkap bahwa AAL beroperasi di tanah masyarakat tanpa persetujuan mereka,” kata Gaurav Madan, Senior Forests and Lands Campaigner di Friends of the Earth Amerika Serikat.

“… Ini harus diumumkan untuk kepentingan transparansi penuh. Dunia sedang menonton.”

 

Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari

Kebun sawit PT Mamuang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

******** 

Exit mobile version