Mongabay.co.id

Jewawut, Pangan Lokal Bernilai Tinggi yang Jarang Ditanam

 

 

Petani di Kampung Lewouran, Desa Lewotobi, Kecamatan Ilebura, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, masih setia menanam jewawut.

Jewawut merupakan tanaman pangan sejenis serelia berbiji kecil dengan diameter sekitar satu mm. Jewawut populer sebagai makanan pokok di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sulawesi Barat, Pulau Buru, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Tengah.

Mengutip pertanian.go.id, jewawut diperkenalkan ke Indonesia oleh orang Tiongkok yang bermigrasi sekitar 3000-an tahun lalu. Sejak itu, jewawut mulai dikenal di Indonesia bahkan dijadikan makanan pokok oleh beberap daerah, seperti di Kaluppini, Enrekang, Pulau Rote, Pulau Sumba, dan Nusa Tenggara Timur.

Leonardus Lewobala Kwure, masyarakat Lewotobi, mengatakan tetap menanam jewawut di bagian luar lahan padi dan jagung.

“Jewawut seperti benteng tanaman padi.”

Leonardus mengatakan, dalam setahun biasa memanen padi sebanyak 20 hingga 30 karung ukuran 50 kilogram yang sudah digiling. Ini belum termasuk jagung jenis lokal yang dipanen.

“Padi dan jagung untuk dikonsumsi keluarga selama setahun,” jelasnya, akhir April 2023.

Untuk jewawut, dia bisa memanen 5 karung ukuran 50 kilogram untuk lahan seluas setengah hektar.

“Jewawut sebagai cadangan saja. Bila padi dan jagung hasilnya tidak cukup, kami akan makan jewawut. Tanaman ini juga tidak terserang penyakit,” ungkapnya.

Leonardus mengatakan, satu kilogram jewawut dijual seharga Rp30 ribu.

“Biasanya diolah untuk bahan kue, karena rasanya lebih enak.”

Baca: Resahnya Petani Jagung di Sikka dengan Ulat Grayak

 

Jewawut yang memiliki potensi sebagai bahan pangan. Foto: Wikimedia Commons/STRONGlk7/CC BY-SA 3.0

 

Kearifan lokal

Masyarakat etnis Lamaholot di bagian timur Pulau Flores, selalu menanam berbagai pangan lokal di lahan padi ladang. Sorgum, jewawut, singkong, dan labu kuning ditanam di bagian luar lahan padi. Tanaman ini juga sebagai penghalau hama.

Menurut Silvester Petara Hurit, anak petani dan budayawan muda Flores Timur, konsep ini sangat baik sebagai bentuk ketahanan pangan juga melindungi padi dari kerusakan. Misal, jika ada babi hutan atau landak, maka yang pertama diserang adalah singkong atau labu kuning. Dengan begitu, padi atau jagung aman, tidak diserang karena satwa tersebut sudah kenyang.

“Juga burung-burung. Mereka memakan sorgum yang ukurannya lebih tinggi dari padi, lalu terbang setelah kenyang,” ungkapnya.

Maria Loretha, pegiat sorgum menambahkan, jewawut selalu ditanam dan juga terkait tradisi lokal Besi Pare Tonu Wujo.

“Tanaman berlapis yang bermanfaat melindungi padi,” ujarnya.

Baca: Bonifasius Soge, Lelaki Muda Penggerak Sentra Sorgum Likotuden 

 

Jewawut masih ditanam oleh masyarakat di NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ridwan, Tri Handayani, dan Witjaksono, dalam penelitian berjudul “Respon Tanaman Jewawut [Setaria italica (L.) P. Beauv.] terhadap Kondisi Cahaya Rendah” menjelaskan jewawut merupakan tanaman serealia yang berpotensi dikembangkan untuk mendukung program diversifikasi pangan.

Peneliti BRIN tersebut menjelaskan, sumber daya hayati Indonesia yang sangat beragam memungkinkan untuk mendapatkan sumber daya pangan selain beras, salah satunya jewawut.

Tanaman ini termasuk tanaman C4 yang dapat beradaptasi dengan baik di daerah kering dan semi kering [Zooleh et al. 2011]. Jerawut juga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, dari tanah berpasir hinga tanah liat. Bahkan tanaman ini masih dapat tumbuh pada tanah-tanah berbatu di lereng bukit di Sumba Timur [Hasil Eksplorasi Tim Tanaman Pangan EWIN di Sumba Timur 2016].

Baca juga: Menikmati Keindahan Bunga Edelweis dan Stroberi di Taman Nasional Kelimutu

 

Jerawut juga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, dari tanah berpasir hinga tanah liat. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penyesuaian Iklim

Menanam sorgum dan jewawut bagi petani di Flores Timur ada keterkaitan dengan dampak perubahan iklim. Cuaca tidak menentu berdampak pada hasil produksi.

Leonardus menambahkan, wilayah Lewouran tidak pernah mengalami gagal panen kecuali penurunan hasil.

“Dalam Bahasa Lamaholot, lewo artinya kampung dan uran adalah ujan. Lewouran artinya kampung hujan.”

Silvester menjelaskan, budaya ladang mendekatkan masyarakat Lamaholot pada tanahnya, pada ibunya, dan pada bumi. Masyarakat selalu menempatkan dirinya dalam keteraturan siklus alam.

“Jadi bukan hanya menjaga lingkungan, melainkan juga merawat kesadaran sebagai bagian dari alam. Lingkungan sakit, manusia sakit. Pun sebaliknya,” ucapnya.

Masyarakat menyadari, curah hujan yang pendek, angin, kekeringan, hama, dan lainnya membuat tanaman monokultur atau satu jenis saja, tidak ideal. Jika padi gagal, masih ada sorgum, jewawut, singkong dan lainnya.

“Tak banyak lagi yang mempertahankan tradisi ini termasuk kearifan etis-ekologis. Juga kesadaran, rasa hormat dan cinta kita terhadap bahan makanan sebagai sesuatu yang hidup seperti menghormati diri, saudara, dan ibu,” ungkapnya.

 

Exit mobile version