Mongabay.co.id

Lindungi Habitat Satwa Endemik, Ferdy Salamat Terima Penghargaan dari BirdLife Indonesia Association

 

Ferdy Salamat mendapat penghargaan BirdLife Indonesia Association (BIA) Award 2023 di Makassar, Sulawesi Selatan (04/05/2023). Sosok Ferdy dianggap banyak berkontribusi mendorong kebijakan daerah dalam pelestarian keragaman hayati, khususnya satwa endemik dan habitatnya di pulau Peling.

Pulau Peling merupakan rumah bagi setidaknya 13 spesies endemis terancam punah. Satu diantaranya gagak banggai (Corvus unicolor). Keberadaannya sempat dianggap punah, namun kemudian ditemukan kembali di Pulau Peling pada 2007.

Gagak banggai sebelumnya hanya diketahui melalui spesimen yang tersimpan di Museum Alam Amerika di New York, Amerika Serikat. Badan Konservasi Dunia (IUCN) mengubah status konservasi gagak banggai dari punah menjadi kritis pada 2007.

Ke-13 spesies endemis lain yang ada di pulau Peling antara lain empat spesies burung, empat spesies mamalia, dan satu spesies herpetofauna, satu spesies kupu-kupu, dan beberapa spesies tumbuhan.

Selain gagak banggai, terdapat juga tarsius peling (Tarsius pelingenses) dan celepuk banggai (Otus mendeni) yang terancam, karena habitat aslinya semakin menyusut dan populasinya berkurang akibat perburuan.

 

Gagak banggai (Corvus unicolor), keberadaannya sempat dianggap punah, namun ditemukan kembali di Pulau Peling. Dok: Wikipedia/Jo Ibo Lausala/ CC.BY 4.0

Baca juga: Maleo dan Tradisi Masyarakat Adat Batui yang Digerus Industri

 

Mengenal Ferdy Salamat

Ferdy Salamat dilahirkan di Palu, 22 April 1977. Dia menempuh pendidikan sarjana dari jurusan Teknik Lingkungan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta tahun 1996, di mana dia juga aktif di kelompok pecinta alam. Tahun 2004 ia melanjutkan pendidikan S2 Pengelolaan Lingkungan Hidup di Universitas Gadjah Mada.

Pada tahun 2021, Ferdy melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, dengan fokus peminatan kesehatan lingkungan. Disertasinya tentang isu air di kawasan karst.

Ferdy menjalani kariernya sebagai birokrat di Sulawesi Tengah. Sejak 2011 dia ditempatkan di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) dalam bidang yang mengurus Amdal, pengelolaan, dan perlindungan.

Pada tahun 2014 Ferdy menggagas pembentukan Taman Kehati Kokolomboe, seluas 14 hektar, yang merupakan habitat satwa endemik gagak banggai yang sebelumnya sudah dinyatakan punah.

“Saya berpikir waktu itu, pulau ini kaya dengan keragaman hayati tetapi kok tidak ada kawasan konservasinya. Nah, saya baca dari regulasi ternyata bisa didorong Taman Kehati. Dari situ kami bangun kerja sama dengan Pertamina, lalu ada dukungan dari Burung Indonesia juga,” katanya.

 

Ferdy Salamat, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, menerima penghargaan BirdLife Indonesia Association (BIA) Award 2023 dari Burung Indonesia. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Ubi Banggai, Tanaman Pangan Primadona Sulawesi

 

Pada tahun 2018 Ferdy dilantik sebagai Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (LH), dan dua bulan kemudian dilantik sebagai PLT Kepala Dinas LH sampai Juli 2021, hingga kemudian menjadi kadis definitif hingga sekarang.

Prestasi lain dari Ferdy adalah menggagas lahirnya Perda Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Bangkep, yang disahkan pada Desember 2019.

“Perda ini sangat penting karena wilayah Bangkep sendiri sebagian besar adalah kawasan karst, sekitar 97 persen dari total wilayah, atau sekitar 2.300 hektar,” sebut Ferdy.

Dalam penyusunan Perda, pihaknya melibatkan para pakar dan peneliti karst, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Universitas Gajah Mada.

“Perda ini sudah mengatur kawasan lindung dan budidaya. Lalu ada zonasi, yang di-breakdown lagi untuk pola pemanfaatan berdasarkan region.”

Meski sejumlah daerah telah memiliki perda serupa, namun Ferdy menyebut perda yang digagasnya lebih implementatif.

“Karst memiliki karakteristik yang berbeda, tidak bisa tanaman dari luar dipindahkan ke situ, harus menggunakan tumbuhan yang sudah ada di situ,” jelasnya.

Saat ini, Ferdy sedang memantau dampak pencermaran di kawasan karst, akibat penggunaan pupuk dan pestisida. Meski belum ada hasil laboratorium, Ferdy melihat adanya potensi pencemaran air mikro yang masuk hingga ke pori-pori tanah.

“Dari [hasil ini] akan dibuat strategi perlindungan air, -meski belum sampai ke level air bawah tanah, tapi minimal dari konsep permukaan sudah ada.”

 

Bentang alam karst di Pulau Peling, Banggai Kepulauan merupakan penyedia air bagi masyarakat. Foto: M. Pahlawan/Burung Indonesia

Baca juga: Kolaborasi Konservasi di Sektor Kelautan Menjadi Keharusan di Kawasan Wallacea

 

Dia berharap hasil penelitian ini ke depan bisa menjadi masukan dan meyakinkan pemerintah pusat bahwa karst memiliki kerentanan. Tidak hanya dilihat sebagai tutupan hutan atau satwa di dalamnya tapi juga pada aspek kesehatan manusia yang tinggal sekitar karst.

Tantangan lainnya di Kabupaten Bangkep adalah adanya rencana masuknya tambang. Ia menilai hadirnya tambang akan berdampak pada ekosistem karst, khususnya ketersediaan dan potensi pencemaran air.

Dia bersikukuh dengan pandangannya itu, meski kerapkali sering dituding menolak pembangunan.

“Sebagai kadis saya ikut kebijakan atasan, tapi saya selalu sampaikan data serta risiko-risiko yang akan dihadapi jika tambang tetap dipaksakan. Ketika dilakukan penambangan, lalu terjadi hujan, menyebabkan sedimentasi yang akan menghabisi seluruh karang yang ada,” katanya.

Selain sebagai kadis, Ferdy juga mengajar di FKM Universitas Tompotika (Untika) Kabupaten Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Kuliahnya fokus pada kesehatan lingkungan, pencemaran dan Amdal.

BIA Award adalah penghargaan yang diberikan oleh Burung Indonesia bagi tokoh-tokoh di Indonesia yang telah memberikan dukungan dan berkontribusi pada pelestarian keragaman hayati di tingkat tapak.

 

 

Exit mobile version