Mongabay.co.id

Antisipasi El Nino, Perlu Kesiapan Bersama

 

 

 

 

 

 

Orang-orang mengeluhkan panas makin ekstrem belakangan ini. Bahkan, ada yang uji coba memasak makanan dengan bantuan terik matahari. Warga Rembang, Jawa Tengah, misal,  menggoreng kerupuk dan telur di wajan yang diletakkan di atas seng, tanpa kompor dan api tungku 2 Mei lalu. Kerupuk dan telur matang dengan hasil cukup memuaskan.

Tahun ini, El-Nino akan menghampiri Indonesia, setelah fase La-Nina selama tiga tahun. El-Nino merupakan fenomena iklim pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.

Kondisi ini akan meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik bagian tengah dan mengurangi curah hujan di Indonesia. Fenomena ini pun bisa memicu kekeringan di Indonesia.

Penelitian dari Megasains menyebut, El-Nino akan mempengaruhi kekeringan meteorologis di suatu wilayah. BMKG memprediksi, El-Nino 2023 tiba lebih awal dari sebelumnya.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam siaran pers mengatakan,

sekitar 289 zona musim (zom) atau 41% wilayah memasuki kemarau maju atau lebih awal dari normal, 200 ZOM, 29% memasuki kemarau sama dengan normalnya.  Sekitar 95 ZOM atau 14% wilayah musim kemarau mundur atau lebih lambat dari normal.

 

Baca juga: Kemarau Datang, Jangan Hanya Atasi Kebakaran Hutan dan Lahan

 

 

Wilayah yang mengalami kemarau lebih awal pada April meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sebagian besar Jawa Timur. Sedangkan wilayah yang memasuki kemarau pada Mei meliputi sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan, dan Papua bagian selatan.

Sedang wilayah yang baru memasuki musim kemarau pada Juni meliputi Jakarta, sebagian kecil Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, dan Kepulauan Bangka Belitung. Juga, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara.

Pada semester kedua tahun ini, terdapat peluang 50-60% kondisi netral akan beralih menuju fase El-Nino. Puncak kemarau 2023, BMKG  prediksi pada Agustus 2023

“Indian Ocean Dipole atau perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia saat ini berada pada kondisi netral dan diprediksi bertahan hingga akhir tahun 2023,” katanya.

 

Sungai Bengawan Solo saat mengalami kekeringan di musim kemarau panjang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Namun, data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, suhu rata-rata permukaan laut mencapai 21,2 derajat Celsius sejak awal April 2023, ini mengalahkan suhu tertinggi sebelumnya, 21 derajat Celcius yang ditetapkan pada 2016.

Carbon Brief menyebut, sekitar 79% dari 405 kasus cuaca ekstrem makin parah karena dipengaruhi perubahan iklim dari ulah manusia.

Analisis Carbon Brief, dalam tiga bulan pertama tahun ini, suhu permukaan global tercatat terpanas keempat dalam sejarah, setelah 2016, 2020, dan 2017.

Pada Maret 2023,  yang terpanas kedua sejak pencatatan mulai pertengahan 1800-an, dengan rekor suhu hangat di beberapa bagian Asia Tengah, pesisir China, dan Jepang, serta Amerika Selatan.

Berdasarkan data tahun berjalan dan perkiraan El-Nino saat ini, Carbon Brief memperkirakan,  tahun 2023 kemungkinan besar berada di antara tahun terpanas dalam catatan dan tahun terpanas keenam, dengan perkiraan terbaik di urutan keempat terpanas di dunia. Pasalnya, NASA, NOAA, dan Met Office Hadley Centre/UEA mencatat suhu permukaan telah menunjukkan pemanasan sekitar satu derajat celcius sejak 1970, dengan laju pemanasan sekitar 0,19 derajat celcius per dekade.

Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) dalam laporan yang terbit Maret menyatakan krisis iklim karena ulah manusia terjadi cepat serta meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem di setiap wilayah di dunia. Antara lain, gelombang panas makin intens, hujan lebat, kekeringan, hingga siklon tropis.

Laporan IPCC itu menyebut, suhu bumi akan meningkat 1,5 derajat celcius pada 2030 jika tidak ada aksi iklim lebih nyata dan ambisius dari semua negara. Kondisi ini memicu potensi bencana alam lebih besar di tahun-tahun mendatang.

Kenaikan suhu bumi akan memicu peningkatan intensitas dan frekuensi berbagai bencana hidrometeorologi berupa kekeringan ekstrem, hingga badai, tanah longsor dan banjir.

 

 

Antisipasi

Dwikorita mengimbau, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak kemarau. Terutama, katanya,  di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal (lebih kering dibanding biasa).

Fenomena El Nino yang memicu kekeringan di sejumlah negara ini rawan menyebabkan krisis pangan. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa mengklaim, kemungkinan besar pola cuaca di bawah kondisi El Niño sangat potensial berdampak pada pertanian yang merugikan.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi juga khawatir El-Nino berdampak buruk ke Indonesia dengan kekeringan berisiko kebakaran hutan dan memicu penurunan produksi pertanian yang bisa sebabkan inflasi.

Dia mengambil pengalaman El-Nino 2015. Saat itu, diperkirakan 41% lahan padi mengalami kekeringan ekstrem. Data World Food Programme menyebut,  tiga dari lima rumah tangga kehilangan pendapatan karena kekeringan. Lalu, satu dari lima rumah tangga harus mengurangi pengeluaran untuk makanan karena kekeringan.

Luhut pun meminta seluruh kementerian dan lembaga juga pemerintah daerah mulai bersiap sejak dini. Dengan, memperhitungkan segala langkah yang mesti ditempuh agar pengalaman buruk delapan tahun lalu tak terulang kembali.

Setidaknya, kata  Luhut, Indonesia bisa menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El-Nino.

“Mari kita semua tetap waspada dan saling menjaga di masa masa sulit seperti ini hingga kerugian akibat perubahan cuaca bisa kita reduksi bersama,” kata Luhut seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

 

Tim Pemadam Api memadamkan kebakaran di Giam Siak Kecil pada awal Maret 2021. Foto : BKSDA Riau

 

 

Aris Pramudia, peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sifat El-Nino erat dengan kekeringan dan La-Nina erat dengan curah hujan tinggi akan mempengaruhi musim tanam dan musim panen. Hal itu, katanya, pasti berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. BRIN memprediksi Indonesia menghadapi anomali iklim sepanjang 2023-2024.

Menurut Aris, perlu ada tindakan adaptasi dan mitigasi menghadapi anomali iklim ini. Antara lain, melakukan pemantauan informasi prediksi curah hujan termasuk potensi bencana hidrometeorologis, menerapkan jadwal tanam yang tepat dan varietas adaptif. Juga, gerakan penanganan dampak perubahan iklim serta memanfaatkan infrastruktur panen air hujan yang tepat.

“Tindakan adaptasi dan mitigasi itu, perlu secara beriringan serta kolaborasi antara berbagai macam stakeholders seperti BMKG, BRIN, Kementerian Pertanian, pemerintah daerah serta perguruan tinggi,” katanya awal Maret lalu.

Namun, fenomena El Nin-, dan pemanasan global yang memicu suhu ekstrem hingga mengancam kisis pangan disinyalir karena ada peningkatan penggunaan energi kotor dan perubahan penggunaan lahan. Hal itu yang membuat konsentrasi gas rumah kaca (GKC) CO2 dan CH4 yang terdapat di atmosfer mengalami peningkatan dengan sangat cepat karena ada penggunaan energi fosil besar-besaran.

 

Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menilai, upaya negara-negara termasuk Indonesia untuk menghadapi krisis iklim belum cukup bahkan akan membawa dunia menuju bencana iklim lebih parah.

Apalagi, menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan negara paling rentan terhadap krisis iklim, terutama banjir dan panas ekstrem.

Selama 2022, Indonesia mengalami 3.544 bencana, sekitar 90% merupakan bencana hidrometeorologi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tren bencana hidrometeorologi Indonesia mengalami peningkatan selama 40 tahun terakhir. Bank Indonesia menganalisis, kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.

Adila bilang, semua negara di dunia, termasuk Indonesia harus melakukan aksi iklim lebih nyata dan ambisius, demi terhindar dari situasi lebih buruk lagi.

“Dekade ini sangat krusial mempercepat transisi energi dan mitigasi lain sebelum bumi mencapai titik kritis dan mengalami kerugian fatal seperti hilangnya keanekaragaman hayati, kenaikan muka air laut, dan mencairnya es kutub,” kata Adila.

Sektor energi, katanya, diperkirakan menyumbang 58% total emisi 2023. Dengan prediksi itu, katanya, pemerintah harus serius dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.

 

 

Dua anak di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, bermain di sawah yang kering. Terlihat rekahan tanah karena kemarau panjang pada 2019. Sebagian besar petani di desa ini tak menanami sawah mereka dan sebagian gagal panen. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version