- Tahun 2023 ini merupakan tahun ancaman bencana di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Musim kemarau diperkirakan disertai El Nino yang menyebabkan kekeringan.
- Masyarakat desa di Sumatera Selatan saat ini hanya terfokus mengatasi persoalan kebakaran lahan dan hutan. Padahal gagal panen juga menjadi ancaman.
- Petani diharapkan mengembangkan pertanian yang ramah air, seperti menggunakan pupuk organik dan agroforestri.
- Pemerintah juga harus mengatasi dampak sosial dari musim kemarau, seperti meningkatnya angka kriminalitas di wilayah pedesaan yang gagal panen, serta menegaskan moratorium perkebunan skala besar dan pertambangan.
Tahun 2023 ini merupakan tahun ancaman bencana di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Suhu panas di beberapa wilayah di Indonesia, yang disebut sebagai dampak gerak semu matahari [bukan gelombang panas], mulai mengeringkan sejumlah wilayah lahan basah di Sumatera Selatan.
Kekeringan ini kian bertambah pada masa musim kemarau, jika disertai El Nino. Sebaliknya, jika kemarau ini dipengaruhi La Nina Modoki, maka sebagian besar lahan basah di Sumatera Selatan akan tergenang air.
Baik kering maupun basah, petani di Sumatera Selatan yang jumlahnya sekitar 750 ribu orang, akan menghadapi berbagai persoalan. Bukan hanya mengatasi lahan yang kering, terbakar disertai kabut asap, tetapi juga banjir. Kondisi ini memengaruhi aktivitas pertanian dan perkebunan, yang berdampak pada ketersediaan pangan, ekonomi, dan kesehatan.
Baca: Gelombang Panas dan Dampak Nyata Perubahan Iklim
Apa yang harus dilakukan petani?
“Petani harus melakukan adaptasi dengan kondisi alam yang terjadi saat ini. Mereka bukan hanya berpikir dan bertindak menghindari bencana alam, seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir. Juga, mereka harus mengembangkan sistem pertanian baru,” kata JJ. Polong [Julian Junaidi], pegiat lingkungan dan akademisi pertanian dari Universitas Sriwijaya, Kamis [11/05/2022].
Dijelaskan Polong, para petani sudah waktunya meninggalkan sistem pertanian konvensional yang sangat bergantung pupuk kimia. Selain tidak baik dalam menjaga air, ketergantungan pada industri pupuk, juga dalam proses pembuatannya melepaskan emisi karbon, memperparah kondisi iklim yang kian panas ini.
“Para petani harus menggunakan pupuk organik. Bahan-bahan pupuk organik itu mampu menjaga kondisi air, sehingga saat musim kemarau atau kekeringan, tanaman masih tumbuh dan berkembang dengan sedikit air,” katanya.
Selain itu, dengan kondisi iklim seperti sekarang ini, petani di Sumatera Selatan harus mengembangkan agroforestri. “Setidaknya ada tanaman hutan yang ditanam di sekitar lahan pertanian. Apalagi tanaman yang baik menjaga air, seperti beringin, bambu, atau pisang.”
Jika sebaliknya, yang terjadi banyak wilayah tergenang air, seperti di rawa atau lebak, “Mungkin dikembangkan pertanian terapung. Beberapa wilayah di Kabupaten OKI, seperti Desa Bangsal, pertanian terapung cukup baik. Terutama menanam sayuran,” kata Polong.
Baca: Tahun 2023, Sumatera Selatan Waspada Kebakaran Rawa Gambut
Fokus kebakaran lahan
Menghadapi kemarau 2023, sebagian masyarakat yang berada di lahan basah [rawa, gambut dan mangrove] justru fokus mengatasi kebakaran.
“Menghadapi musim kemarau yang kemungkinan disertai El Nino, masyarakat di sini fokus mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan,” kata Sumantri, peneliti rawa gambut di Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, Jumat [12/05/2022].
“Kalau kemarau kering, wilayah rawa gambut di sini pasti terbakar. Mulai dari 1997 hingga 2019 lalu,” ujarnya.
Kebakaran lahan dan hutan, khususnya di rawa gambut, di Sumatera Selatan, dimulai 1997, kemudian 1998, 2006, 2007, 2008, 2014, 2015, dan terakhir 2019. Tahun 2020, 2021 dan 2022 tidak terjadi kebakaran dikarenakan adanya fenomena La Nina.
Dijelaskannya, BRGM [Badan Restorasi Gambut dan Mangrove] bersama masyarakat Desa Perigi Talangnangka membangun enam sekat kanal di lahan rawa gambut, yang selama ini sering terbakar.
Juga, dibuat sekat bakar, dan pembuatan pompa air. “Pompa air ini baru satu dibuat. Gunanya untuk membasahi lahan, sehingga tidak mudah terbakar dan membantu tanaman. Memang satu pompa air tidak cukup untuk lahan sekitar seribu hektar ini,” katanya.
Terkait pertanian dan perkebunan di lahan mineral, juga masih fokus mengantisipasi kebakaran, bukan produksinya. Misalnya, membersihkan lahan kebun agar tidak mudah terbakar. Sementara menjaga produksi pertanian dan kebun belum ada upaya.
“Produksi getah karet saat musim kemarau jauh lebih rendah dibandingkan penghujan. Tapi itu sudah dipahami masyarakat, sehingga dikenal sebagai musim paceklik,” ujarnya.
Baca: Sumatera Selatan Banjir Bandang, Audit Lingkungan Perusahaan Perlu Dilakukan?
Persoalan sosial
Yulion Zalpa, akademisi dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang menuturkan, menghadapi kemarau tahun ini, sebaiknya pemerintah dan berbagai pihak yang peduli lingkungan, jangan hanya terfokus mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Juga, berbagai persoalan lain.
“Gagal panen hasil pertanian dan perkebunan, yang membuat paceklik, biasanya berlanjut meningkatnya kriminalitas, seperti pencurian. Beberapa wilayah di Sumatera Selatan yang masyarakatnya bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan, hal ini sering terjadi,” kata Yulion.
Selain pencurian, juga terjadi perambahan hutan. Perambahan ini, selain mencari lahan baru yang subur untuk ditanam, juga kayunya dijual sebagai sumber ekonomi.
“Menghadapi kemarau tahun ini yang diperkirakan jauh lebih kering dan berlangsung beberapa bulan, harus diikuti bantuan pangan terhadap masyarakat terdampak,” jelasnya.
Sependapat dengan Polong, Yulion berharap pemerintah terus mengembangkan agroforestri di pedesaan. Gunanya, sebagai antisipasi perubahan iklim yang terus terjadi. Air menjadi persoalan utama, baik musim kemarau maupun penghujan, yang berdampak signifikan terhadap ketersediaan pangan.
“Selain itu, tentunya menghentikan [moratorium] pengembangan perkebunan skala besar, penambangan, serta aktivitas ekonomi yang mengubah bentang alam.”
Baca juga: Rotan yang Perlahan Menghilang di Sumatera Selatan
Berubah
Sumatera Selatan yang memiliki luas sekitar 8,7 juta hektar, sejatinya tidak ada persoalan jika musim kemarau dan musim penghujan berlangsung lama. Sebab, lahan basah di Sumatera Selatan yang luasnya sekitar tiga juta hektar berupa rawa, gambut, dan mangrove. Selain itu, terdapat ratusan sungai dengan sembilan sungai besar; Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Rawas, Sungai Rupit, dan Sungai Batanghari Leko.
“Seharusnya tidak ada masalah air di Sumatera Selatan. Tapi muncul persoalan dikarenakan berubahnya bentang alam, khususnya di wilayah DAS [Daerah Aliran Sungai] dan lahan basah,” kata Polong.
Misalnya, perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] dan perkebunan sawit menguasai sekitar 738.137,84 hektar lahan basah. Sebanyak 17 perusahaan HTI menguasai lahan basah sekitar 478.969,20 hektar, dan 70 perusahaan sawit menguasai 259.168,64 hektar lahan basah.
Sementara pertambangan, seperti pertambangan batubara, telah mengubah bentang alam sekitar satu juta hektar.