Mongabay.co.id

Pendidikan dan Pemulihan Bumi

 

 

Tahun ini, Hari Bumi 22 April lalu, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Dua momentum akbar ini berbarengan sebagai bel pengingat bagi umat manusia sejagat bahwa pelestarian lingkungan hidup senyatanya terkait erat, tak terceraikan dengan kualitas iman.

Bukankah bagi umat beriman, ekspresi kasih secara horizontal kepada sesama dan alam senyatanya bentuk ibadah keseharian dan perwujudan atas isi doa secara vertikal kepada Tuhan.  Jadi, pelestarian lingkungan sesungguhnya ekspresi iman yang membumi.

Pun sebaliknya, kondisi bumi dengan segala di dalamnya semestinya memperteguh kualitas iman kepada Sang Pencipta.

Khurshid Ahmad, sarjana Muslim Pakistan menyatakan, di balik keindahan dan keharmonisan semesta ini ada seorang Pendesain yang luar biasa (Myers and Noebel, 2015).

Tema Hari Bumi tahun ini, ‘Invest in our planet’. Pertanyaannya, apa yang telah kita investasikan bagi kelangsungan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian di planet bumi ini?

Alih-alih harmonis dan damai, justru acapkali fenomena kekinian yang dipertontonkan di ruang publik adalah kegaduhan demi kegaduhan akibat sikap dan perilaku manusia yang cenderung mencederai lingkungan seperti diulas dalam artikel Investment, Homeostasis and Earth’s Continuity.”  Bahwa,  dampak perubahan iklim menyebabkan gletser di kutub mencair, volume permukaan air laut meningkat, dan memproduksi gelombang serta badai pantai yang berpotensi menenggelamkan seluruh kota di pesisir.

 

Ketupat lebaran, dengan bungkus anyaman daun kelapa. Tradisi  lontong nasi dengan daun kelapa–ketupat–memberikan makna kalau pilihan wadah masyarakat bersahabat dengan alam sejak lama. Baru belakangan ada praktik berbeda, mungkin dengan alasan praktis . murah dan mudah, ada lontong gunakan plastik. Ia tak hanya berisiko bagi lingkungan, keamanan secara kesehatan saat mengkonsumsinya juga perlu dipertanyakan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Krisis moral dan nilai

Seiring perkembangan zaman, tampak terjadi pergeseran pemahaman dan cara pandang serta tafsir keliru dalam menerjemahkan maupun memaknai hakikat alam semesta.

Bumi dan segala isinya diposisikan sebagai obyek yang dapat dieksploitasi untuk memuaskan keinginan manusia yang tak pernah mengenal rasa cukup dan puas.

Chapman dkk (2007) dalam buku berjudul “Bumi yang Terdesak, menyatakan, populasi manusia tak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia mendorong munculnya teknologi yang makin merusak lingkungan. Juga kemungkinan perubahan iklim akibat ulah manusia.

Ditegaskan Perini (2008) dalam bukunya, ‘Environment: Saving Our Planet’, bahwa manusia (terutama di negara kaya) menggunakan sumber daya lebih cepat daripada yang bisa digantikan.

Ego diri mengejar aneka keinginan yang tak pernah mengenal rasa cukup dan puas inilah yang acapkali menjebak dan memerangkap manusia untuk melakukan aneka tindakan yang berujung pencemaran lingkungan (polusi).

Lingkungan terestrial rusak. Tajuk pepohonan yang semestinya berperan menjadi filter alami bagi pukulan air hujan jadi hilang. Porositas tanah menyerap air hujan pun ikut tergerus.

Lingkungan akuatik juga tercemar karena aneka sampah plastik yang dibuang di badan air. Pula, fenomena eutrofikasi akibat pencemaran badan air oleh limbah organik. Dampaknya, oksigen terlarut berkurang, arus air melambat, dan berujung pada pendangkalan badan air.

Udara pun tak luput dari pencemaran gas buang dari aktivitas transportasi dan industri. Ringkasnya, tak satupun area ekosistem di bumi ini, darat, air, dan udara yang steril dari polusi.

 

Berbagai jenis sampah yang ditumpuk warga Laiwui Obi di dekat hutan mangrrove kampung itu. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Pendidikan dan iman

Butet Manurung, aktivis pendidikan menyatakan pendidikan adalah kunci bagi masyarakat adat untuk melindungi hutan. Saat hutan terawat dengan baik, hutan akan menghidupi melalui aneka keanekaragaman hayatinya. Benih-benih kehidupan di setiap makhluk hidup, seperti biji-bijian tanaman, kemampuan hewan dan manusia untuk berproduksi akan lebih produktif ketika manusia memurnikan hati nuraninya.

Untuk itu, perlu koreksi dan meluruskan pemikiran serta pemahaman, misal, soal musibah lingkungan yang menghancurkan harta benda maupun merampas kesehatan, bahkan merenggut nyawa manusia diterima sebagai hal wajar atau sekadar siklus tahunan.

Esensi pendidikan adalah upaya penyadaran. Maka,  agenda mendesak dalam memaknai hakikat maupun pemanfaatan sumber daya alam dengan bijaksana,  tepat sasaran dan berkelanjutan melalui

proses pendidikan dan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Harapannya, mampu lanjut dengan aksi nyata walau dengan cara sederhana.

Orientasi pembangunan pun seyogianya tak lagi hanya mengejar aspek keuntungan, tetapi mempertimbangan manusia dan planet sebagai aset global. Bumi perlu dirawat demi keberlanjutan kehidupan manusia.

Saatnya mengekspresikan dan mewujudkan iman, doa, asa, dan cinta akan planet bumi dalam serangkaian aksi konkret dengan menerapkan pola hidup hijau. Mulai dari pola pikir, pola sikap, dan pola tindak keseharian yang ramah dan bersahabat dengan alam. Semoga perlahan, bumi kembali pulih dan awet muda.

 

Hutan yang dibuka untuk jalan PT IWIP pada September 2022. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

*Penulis: Ester Buntoro, Development Division,

Teaching Learning Curriculum Department, Sekolah Citra Kasih dan Thio Hok Lay, Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta. Penulis Buku ”Mendidik, Memahkotai Kehidupan” (2020). Tulisan ini adalah opini penulis.

 

 

 

Exit mobile version