Mongabay.co.id

Buat Bangga, Lukisan Gua Tertua di Dunia Ternyata Ada di Indonesia

 

Jika bicara tentang lukisan gua karya manusia purba, maka biasanya publik lebih mengenal lukisan gua Lascaux di Dordogne di Perancis. Lukisan lebih dari 2 ribu gambar ini diperkirakan di buat pada rentang 15.000-13.000 SM.

Namun mungkin belum banyak yang tahu, ternyata lukisan gua tertua di dunia bukan ada di Perancis, tetapi di Indonesia, tepatnya di Leang Tedonge, Biku, Kabupaten Pangkep.

Lukisan tertua ini menunjukkan gambar babi kutil (Sus celebensis), spesies yang masih ada hingga saat ini di Sulawesi. Para ilmuwan dari Indonesia dan Australia, menyebut lukisan gua Leang Tedonge berasal dari 45.500 tahun lalu.

“Gua ini baru ditemukan, saat ada kegiatan survei dan eksplorasi gua tahun 2017, letaknya di pelosok perbatasan antara Maros dan Pangkep,” jelas Irwan, staf Balai Pelestari Cagar Budaya Sulsel.

 

Artefak lukisan babi kutil yang ada di Leang Tedongnge, Kampung Biku, di kawasan karst Maros-Pangkep, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi

 

Replika gambar lukisan itu berada di Pusat Informasi Gambar Prasejarah Sulawesi Selatan dan Tenggara yang berlokasi di Taman Arkeologi Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan.

Di bangunan berasitektur unik yang dibangun tahun 2020 itu banyak terdapat replika benda-benda prasejarah. Seperti foto-foto dari hasil ekskavasi, juga ada beberapa foto lukisan-lukisan gua yang dibuat oleh manusia prasejarah.

Selain replika lukisan Leang Tedonge, terdapat juga sebuah replika lukisan yang ditemukan di Leang Bulu Sipong-4 Pangkep pada 2019. Usianya 43.900 tahun.

Sebelumnya pada tahun 2017, di Leang Timpuseng ditemukan lukisan berusia sekitar 39.500 tahun, -yang pernah menjadi lukisan tertua di dunia saat itu, sebelum ditemukannya lukisan di Leang Batu Sipong dan Leang Tedonge.

Lalu bagaimana cara para peneliti dapat menyimpulkan usia sebuah lukisan gua?

Irwan menjelaskan para peneliti mencari penanda alami lapisan putih yang berada di atas lukisan yang disebut dengan popcorn.  Disebut popcorn karena bentuknya mirip jagung kembang. Dari popcorn itu, -melalui sebuah metode penanggalan modern, dapat diketahui usia lukisan.

Popcorn itu harus terletak di bagian lukisan,” katanya.

Temuan prasejarah penting lainnya adalah mata panah bergerigi yang terbuat dari batu yang disebut Maros Point, yang usianya sekitar 8.000 tahun. Ada juga yang dijadikan sebagai pisau alat serut.

 

Replika panah bergerigi yang dibuat oleh manusia gua prasejarah, yang disebut sebagai Maros Point. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

Baca juga: Mengenal Jejak Purba Rammang-Rammang dalam Bentang Karst Maros-Pangkep

 

Temuan Gua Prasejarah Hingga Si Rambut Paku

Temuan jumlah gua hunian prasejarah di Kabupaten Maros semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun silam. Survei eksplorasi gua 2020-2021 menunjukkan peningkatan jumlah gua dari sebelumnya 77 meningkat menjadi 511 gua.

Untuk Kabupaten Pangkep terdata sekitar 242 gua, termasuk lokasi lukisan tertua di dunia di Leang Tedonge dan Leang Bulu Sipong.

Penyingkapan isi gua juga memperkenalkan bagaimana pola kehidupan masa itu. “Selain berburu binatang, manusia prasejarah mengumpulkan makanan kerang-kerangan,” tutur Irwan.

Di gua yang dihuni, manusia gua biasa meninggalkan sisa makanan dan sampah dapur (kjokkenmodinger), yang didominasi cangkang moluska bercampur tulang dan bij-bijian yang telah membatu.

 

Replika rangka manusia utuh yang usianya diperkirakan 2.700 tahun, ditemukan pada tahun 2018 di Leang Jarie, yang dinamai Manusia Maros. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Temuan Ini Ungkap Manusia Maros 2.750 Tahun Lalu

 

Di beberapa gua, juga terdapat tinggalan rangka seperti temuan tahun 2018 di Leang Jarie, yang dinamai Manusia Maros. Perkiraan usianya adalah 2.700 tahun. Replika fiber rangkanya dapat di lihat di Pusat Informasi Taman Arkeologi Leang-Leang.

“Ada juga temuan rangka di Leang Panninge Mallawa, yang usianya sekitar 7.300 – 7.200 tahun. Hanya tidak utuh. Rangka itu diberi nama Besse, yang temuannya dipublikasikan secara luas pada 2021 lalu.”

Hasil penelusuran DNA, Besse adalah perempuan berusia 17–18 tahun dengan latar belakang genetik Austromelanesoid, yang deskripsi penampakannya seperti orang-orang Papua dan Aborigin di Australia.

Tidak hanya lukisan gua dan kerang sisa makanan. Di sejumlah lokasi ditemukan manik-manik mirip aksesoris.

Di Leang Burung dan Leang Bettue yang proses ekskavasinya dilakukan para peneliti Indonesia bersama peneliti dari Grifith University Australia, ditemukan liontin tulang jari kuskus yang usianya sekitar 30 ribu tahun.

Jika ada yang menarik perhatian adalah lukisan purba di Leang Jing yang ditemukan pada tahun 2016 yang dinamai ‘Spiky Haired Women of Sulawesi’, yang menggambarkan sosok perempuan dengan model rambut ‘spike’ atau rambut acak jingkrak menghadap ke atas. Lukisan ini berusia antara 24.000-30.500 tahun.

Lukisan gua ini mencerminkan bagaimana manusia gua pun sudah memiliki preferensi fashion, disamping temuan berbagai asesoris pernik-pernik perhiasan.

 

Lukisan di Leang Jing berusia 24.000-30.500 tahun, yang dinamai ‘Spiky Haired Women of Sulawesi’, yang menggambarkan sosok perempuan dengan model rambut ‘spike’ (kiri). Interpretasi lukisan Leang Jing yang dibuat oleh Craig A. Kraft seorang seniman asal New York, AS (kanan) yang dihibahkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan pada tahun 2020. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Sosok Lukisan Dipengaruhi Geografis

Hal lain yang menarik terkait lukisan-lukisan tangan adalah jenis gambar yang bisa dikategorikan berdasarkan letak geografis gua itu berada.

Di lokasi gua di Maros yang berada di padang dan hutan, lukisan gua didominasi pola hewan buruan seperti babi dan anoa. Sementara, di Pangkep yang lebih dekat dengan daerah pesisir pantai, banyak ditemukan lukisan perahu dan ikan.

Salah satu temuan menarik lainnya adalah lukisan besar dari temuan di Tebing Ambe yang jika di runut mirip fragmen fakta histori masa lalu.

Ada gambar perahu yang menceritakan masa awal manusia sampai di Sulawesi, kemudian mendiami daratan karst. Gambar kelompok manusia menggambarkan mereka hidup dalam kelompok.

“Kita mungkin keturunan mereka,” ungkap Irwan. “Lukisan Tebing Ambe ini belum dapat dirunut penanggalannya, karena tak ditemukan lapisan popcorn.”

 

Di Pusat Gambar Prasejarah Sulawesi Selatan dan Tenggara, Taman Arkeologi Leang-leang, pengunjung memperoleh informasi berbagai temuan prasejarah di gua-gua Maros-Pangkep, baik berupa lukisan gua maupun temuan arkeologi lainnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Kisah Belantara Karst Maros-Pangkep yang Menakjubkan

 

Leang Pettakere

Setelah mendapat penjelasan sejarah lukisan-lukisan gua, Irwan mengajak kami ke Leang Pettakere, sebuah gua prasejarah yang ada di Taman Arkeologi Leang-Leang.

Gua ini berada di lokasi yang agak tinggi, yang harus dicapai menggunakan tangga. Tinggalan arkeologi di sini diantaranya gambar babirusa dan gambar cap telapak tangan, alat batu serpih bilah (microlith), serta mata anak panah.

Di bagian dalam gua sendiri tak ditemukan lukisan, namun lokasinya yang rata dan memiliki semacam ventilasi, diperkirakan pernah menjadi hunian.

“Mungkin ribuan tahun lalu gua ini ditempati, [mirip rumah sekarang] ada ruang tamu, ada ruang keluarga, teras rumah,” jelas Irwan.

Terkait gambar telapak tangan, Irwan menyebut ini dimaknai sebagai simbol tolak bala (menghindarkan makhluk jahat). Tradisi ini masih dapat di lacak hingga zaman sekarang.

 

Lukisan tapak tangan di Leang Pettakere, sebuah gua prasejarah yang ada di Taman Arkeologi Leang-Leang. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

Baca juga: Seni Ukir Purba dari Karst Maros

 

“Di masyarakat Bugis-Makassar saat masuk rumah baru, biasanya penghuni dan pinati (dukun) mengitari rumah, sambil mengibaskan daun sirih. Salah satu anggota keluarga menempelkan tangan di dinding atau tiang, pakai tepung beras pewarna kunyit.”

Taman Arkeologi Leang-Leang, ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya pada 4 Oktober 1999 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, sejak tahun 1981.

Di area seluas 5 hektar ini, terdapat ratusan gua dan terhampar taman batu. Juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti bangunan Pusat Informasi Gambar Prasejarah Sulawesi Selatan dan Tenggara, ruang perkantoran, laboratorium/ruang penyimpanan, ruang kelas, dan fasilitas lainnya.

 

Taman Batu di Taman Arkeologi Leang-Leang. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version