Mongabay.co.id

Sekolah Mekong, Hutan Tali Pusar dan ‘Naketi’

 

 

 

Ketika mendengar kata “Mekong,”  saya membayangkan sungai besar membelah negara-negara seperti Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam. Memang benar, Sekolah Mekong memiliki murid-murid  dari negara-negara di sekitar Sungai Mekong, kecuali Tiongkok.

Nama aslinya adalah “Earthrights School”. Sekolah yang diinisiasi Earthrights, sebuah Lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang memberi perhatian pada isu lingkungan di Amerika Serikat, Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Sekolah Mekong mulai 1999. Murid-muridnya adalah anak-anak muda dari komunitas yang berhadapan dengan proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan dan pembangunan pipa migas serta  proyek raksasa lain di sekitar Mekong.

Gedung sekolah berada di Chiang Mai,  Thailand. Ruang belajar lengkap dengan asrama.  Mereka mendengar ceramah dan berdiskusi, para pelajar juga studi lapang.

Menurut keterangan penyelenggara, tiap tahun, sekolah ini menerima sekitar 60-80 formulir pendaftaran dan hanya 20 -26 yang diterima. Pelajar yang lolos mendapat beasiswa mengikuti kelas selama tiga bulan di Chiang Mai dan wajib kembali ke komunitas setelah sekolah usai. Saat ini,  ada sekitar 600 alumni sekolah tersebar di wilayah Mekong.

Perjalanan ke Chiang Mai ini guna pertukaran belajar tentang regenerasi aktivis di Asia Tenggara sebagai rangkaian perayaan 20 Tahun Samdhana Institute. Saya mewakili Mama Aleta Fund (MAF) yang khusus mendukung regenerasi kepemimpinan perempuan pembela HAM dan lingkungan hidup.

Bersama saya, ada sekitar 20 wakil dari Indonesia dan Phillipina, dari organisasi non pemerintah, sekolah adat hingga dosen.

Para peserta dari Indonesia memiliki pengalaman dalam praktik kelembagaan, metode dan proses pendidikan untuk anak muda antara lain ada Walhi, organisasi lingkungan terbesar di Indonesia yang baru meluncurkan “Akademi Ekologi” tahun lalu.  Salah satu tujuannya mendidik aktivis lingkungan hidup se Indonesia.

Ada Sekolah Adat Hobong di Papua yang berhasil memasukkan pelajaran tentang adat sebagai muatan lokal pada sekolah-sekolah di Jayapura.

“Bersama DPRD, kami sedang mengusulkan perda agar pelajaran tentang adat masuk dalam sistem pendidikan dan mendapat dukungan formal pemerintah,”  kata Origenes Monim, bercakap sambil mengunyah pinang.

Ada dari Sekolah Lapang  Reforestasi dan Perhutanan Sosial, yang mendampingi petani kopi dan anak-anak muda yang komunitasnya mendapatkan izin  perhutanan sosial di Kabupaten Garut.

Kami dipertemukan dengan Sekolah Mekong yang mengajarkan pendekatan dan silabus  pendidikan skala region, lintas negara. Kurikulum sekolah ini terbagi enam bagian yaitu orientasi, akar masalah, pendekatan berbasis hak, strategi dan perangkat perlawanan komunitas, keberlanjutan gerakan dan kunjungan lapang.

Kurikulum ini dipelajari dalam enam minggu online dan 12 minggu tatap muka di kelas dalam Bahasa Inggris.  Berbahasa Inggris. Sepertinya, hanya mereka yang terdidik dan bisa berbahasa Inggris bisa ikut sekolah ini.

“Sebenarnya bukan Bahasa Inggris yang fasih, justru di sekolah ini kemampuan Bahasa Inggris mereka dikuatkan,” kata Christine, pengampu Sekolah Mekong asal Hungaria.  Para pengajar dan pengelola sekolah ini dari seantero dunia.

Bahasa memang salah satu tantangan utama membuat sekolah skala region. Komunikasi para pengajar dengan pelajar memiliki beragam bahasa di negara asalnya perlu bahasa Inggris sebagai lingua franca.

 

Ruang Belajar Sekolah Mekong. Foto: Zenzi Suhadi/ Walhi Nasional

 

Saya tak bisa membayangkan bagaimana mereka mengurangi kesenjangan dan hirarki penggunaan bahasa dalam proses belajar. Sebaliknya, pikir saya, yang justru terjadi adalah hirarki dalam bahasa, menjadi hirarki dalam pengetahuan.

Saya merasa sulit menerima sekolah kritis ini semata menggunakan Bahasa Inggris. Sepertinya jauh dari semangat dekolonisasi pengetahuan.

Tantangan berikutnya adalah materi. Dalam silabusnya, sekolah ini menyesuaikan ajaran dengan situasi negara-negara di wilayah Mekong yang dikuasai otoritarian dan militer. Misal, pendekatan -pendekatan berbasis HAM yang relefan dimanapun, ataupun pengenalan konsep hukum internasional.  Juga,  pelajaran tentang investasi asing dan akuntabilitas korporasi untuk memahami bahwa korporasi juga aktor kekerasan selain negara.

Sayangnya, ada pengalaman kolektif negara-negara Mekong – kecuali Thailand, yang justru tidak masuk sebagai  materi “akar permasalahan,” yaitu pengalaman penjajahan dan kolonialitas (coloniality) yang membentuk hubungan kuasa berlapis seperti ras, gender, agama etnisitas dan lain dalam masyarakat.

Pengalaman kolonial dan kolonialitas ini memungkinkan kita membuka ruang untuk mendekolonisasi pengetahuan, termasuk alternatif terhadap model ekonomi ekstraktivisme yang mendominasi wilayah Asia Tenggara. Seperti,  pembangunan bendungan raksasa sepanjang wilayah Mekong dan percepatan zona-zona ekonomi ekstraksi di Indonesia.

Proyek-proyek ekstraktivisme itu memisahkan hubungan manusia dengan alam. Sebaliknya, menyuburkan hubungan pemangsaan (predatory) antar kota-desa, antar pulau, bahkan antar negara melalu ekstraksi dan ekspor-impor batubara dan bahan mentah lain.

Kalau merujuk kurikulumnya, Sekolah Mekong mengajarkan tentang globalisasi dan pembangunan, tetapi belum mengenalkan alternatif  terhadapnya. Pelajaran alternatif terhadap ekonomi ekstraktif justru saya dapatkan pada sesi kedua pertukaran belajar ini.

Saat rombongan mengunjungi De Paw Thoo forest  atau tali pusar di distrik Mae Wang, Thailand.

 

Hutan Tali Pusar seluas 60 rai atau sekitar 9,6 hektar. Foto: Mai Jebing/ MAF

 

Hutan Tali Pusar

Hutan itu terletak di Desa Huay Ee Khang, Distrik Mae Wang, wilayah Masyarakat Adat Karen. Hutan ini mempertautkan hubungan alam dengan manusia sejak pertama kelahirannya dan disebut de paw thoo forest atau hutan tali pusar (plasenta).

Baru pertama kali saya melihat pohon hutan menjadi “rumah” bagi ari-ari (bahasa Jawa) atau plasenta, bagian dalam rahim yang menyediakan nutrisi dan oksigen agar bayi hidup dan tumbuh, juga transfer metabolik, dan perlindungan janin.

Plasenta akan keluar bersama dengan lahirnya bayi. Di Indonesia, plasenta mendapat perlakuan istimewa. Keluarga-keluarga biasa menguburkan  ari-ari di belakang rumah, menutup dengan keranjang dari bambu memberi penerangan pada malam hari sampai beberapa minggu kemudian.

Hutan Huay Ee Khang memberi pelajaran berbeda.

Saat bayi lahir. Sang ayah atau anggota keluarga laki-laki akan pergi ke kebun dan mengambil batang bambu terbaik, kemudian memotongnya. Tabung bambu itu adalah tempat menyimpan plasenta bayi. Terakhir tabung itu ditutup kain. Ia lantas membawa tabung itu ke pohon terbaik yang telah dia pilih dalam hutan sebagai tempat untuk menggantungkan bambu plasenta. Ia meninggalkannya di sana hingga terdekomposisi dan menyatu dengan dasar hutan.

Hutan tali pusar tidak serapat hutan hujan tropis Kalimantan. Lantai hutan tidak terlalu lembab, pohon-pohon tak terlalu besar. Banyak pohon di bagian tengah batang bergantung tabung bambu plasenta. Beberapa sudah jatuh di lantai hutan.

Bagaimana kalau satu saat pohon-pohon ini tak mampu menampung plasenta bayi yang lahir? “Ah,  mereka bisa menggunakan pohon yang sama. Kadang satu pohon dipakai dua keluarga, dengan harapan si anak kelak menjadi pasangan saat dewasa,” ujar Noraeri Thungmueangthong, dipanggil Noeri,  kepala desa perempuan.

“Jika anaknya sakit, seperti mengalami demam, atau penyakit lain orangtuanya akan datang ke hutan dan berbicara kepada pohon plasenta anaknya. Mereka berharap roh pohon membantu menyembuhkan anaknya.”

“Jiwa anak dan si pohon telah menyatu. Mereka akan saling menjaga.”

Itulah sebabnya pohon plasenta itu tidak boleh ditebang dengan alasan apapun.

Hutan ini menginspirasi Origenes. “Mereka tak perlu membuat peta untuk menunjukkan hutan adat mereka, sudah ada buktinya di hutan itu.”

Bersama plasenta anak-anaknya, mengkonservasi hutan adalah bagian keseharian kearifan hidup mereka.

Meski begitu,  ternyata konservasi adalah tantangan utama masyarakat adat di Thailand. Sejarah negara kerajaan dengan mayoritas penduduk  beragama Budha ini menunjukkan masyarakat adat menghadapi tantangan berat untuk mendapatkan pengakuan wilayah dan menjalankan keyakinannya.

Mereka kerap disebut sebagai warga “Non-Thai.” Bahkan, dalam banyak kasus mereka ditangkap, diusir bahkan kampung dibakar dengan tuduhan melanggar kawasan hutan konservasi negara.

Tiga tahun lalu, tercatat hampir setengah juta orang tak memiliki kewarganegaraan. Mereka yang diakui kewarganegaraannya mendapatkan sebutan Chao Thai Phu Khao atau orang Thai yang tinggal di gunung – sebutan untuk warga yang tinggal di pegunungan. Seperti pengalaman Indonesia, orang gunung distigma sebagai orang yang jauh dari peradaban dan terbelakang.

Noraeri, Kepala Desa Huay Ee Khang lebih suka menyebut diri sebagai Masyarakat Adat Pgakenyaw  dibanding sebutan Karen.  Dia menunjukkan,  masyarakat adat memiliki keragaman identitas termasuk cara-cara hidup.

Menghadapi isu perubahan iklim, tantangan masyarakat adat lebih berat. Lewat kebijakan “reklamasi hutan” pada 2014, Pemerintah Thailand dengan bantuan militer “mereklamasi“ paksa hutan-hutan adat  sebagai bagian program perluasan taman nasional untuk komitmen iklim.

Antara 2014 dan 2019 tercatat 29.350 kasus  reklamasi tanah adat dan pertanian oleh taman nasional menjadi rekor tertinggi di negara kala itu  dilaporkan oleh Jaringan Masyarakat Adat di Thailand kepada Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD).

 

Ruang belajar dan berkumpul. Foto: Ita Natalia/ Samdhana Institute

 

Situasi itu membuat perempuan adat memiliki tantangan berat untuk jadi pemimpin. Namun Noraeri, kepala desa perempuan pertama di Distrik Mae Wang justru menjadikan tantangan sebagai strategi menghidupkan pengetahuan adat dan membuka peran-peran perempuan melampaui ruang-ruang domestik.

Dia menghidupkan pengetahuan Pgakenyaw dalam merawat hutan dengan menetapkan keu neu atau hutan perempuan dan  Keu Neu Pha atau hutan laki-laki. Hutan perempuan seluas 9,6 hektar ini bisa diakses ibu-ibu dan anak gadis untuk mendapatkan pangan, tanaman obat obatan dan pewarna alami tenun untuk keluarga dan masyarakat.

Obat-obatan dari hutan sangat penting buat perempuan. Khususnya yang baru melahirkan harus mendapatkan ow meh oo thi atau tradisi pemulihan tubuh. Ini mengharuskan sang ibu tinggal di ruangan yang hangat oleh kayu bakar dan mengkonsumsi ramuan herbal. Saya jadi ingat tradisi sama di Mollo di Pulau Timor Indonesia.

Pasca melahirkan, perempuan harus mendapatkan tatobi, pemulihan pasca melahirkan. Mereka diminta beristirahat selama 40 hari di ruangan hangat penuh aroma herbal dari hutan.

Di sini, perempuan dewasa menggunakan kain tenun sebagai pakaian sehari-hari. Sebagian kain tenun bahkan menggunakan kapas yang dipintal dengan tangan, dan pewarna alami seperti tanaman secang untuk pewarna merah dan kunyit jadi warna kuning.

Hutan perempuan ini juga jalan untuk merawat tanaman pewarna alami tenun.

Belakangan,  menenun menjadi salah satu penarik ekowisata penting bagi desa ini. Di bawah koordinasi desa, kelompok perempuan membuat workshop mewarnai kain dengan metode ikat dan celup. Ini salah satu bagian yang mengasikkan bagi saya dan peserta kunjungan belajar. Kami menumbuk kulit kayu dan mencampur dengan air.

Tiap orang mendapatkan kain dan baju berwarna putih untuk diwarnai. Setelah diikat dan dicelup berkali-kali, hasilnya bisa langsung terlihat kurang dari satu jam. Pengalaman tak terlupakan.

Upaya Masyarakat Adat Pgakenyaw menarik orang luar untuk belajar, tak hanya dari rombongan kami. Juga peneliti-peneliti muda dari luar Thailand. Salah satunya,  meneliti bagaimana model ekonomi mereka jadi ekonomi tanding di hadapan ekonomi neoliberal saat ini.

Saat saya bertanya kepada peneliti muda dari Amerika Serikat tentang kunci dari model ekonomi lokal ini bertahan, jawabannya, Pgakenyaw memiliki prioritas dalam produksi dan konsumsi mereka. Prioritas utama memenuhi kebutuhan keluarga, lapis berikutnya,  kebutuhan tetangga, selanjutnya komunitas, baru pasar lokal, sebelum menyediakan untuk pasar lebih luas. Hal ini mengingatkan saya pada lapis-lapis bawang.

 

Jalan menuju Hutan Perempuan. Siti Maimunah/ MAF

 

Naketi

Orang Mollo, Pulau Timor, Indonesia, punya ritual biasa disebut naketi.

Saat naketi, para sesepuh orang Mollo termasuk perempuan, memimpin pertemuan, bercerita, merenungkan situasi, dan membawa kenangan dan pengetahuan dari leluhur. Kemudian, mereka memohon ampunan kepada bumi, leluhur dan pencipta alam, sebelum ditutup dengan doa harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Saya meminjam makna naketi untuk menyampaikan dan merenungkan apa yang telah didapat dari pertukaran belajar ini. Termasuk juga memikirkan kekuatan dan keterbatasannya, serta membayangkan bagaimana mengadopsi untuk pembelajaran di tanah air, khusus tentang regenerasi aktivis.

Sebelum itu, siapa yang disebut aktivis?  Suraya Affif,  fellow Samdhana Institute dan pengajar di Departemen Antropologi Universitas Indonesia yang ikut serta dalam rombongan ini mengusulkan, aktivis bukan hanya sebutan untuk orang yang bekerja di organisasi masyarakat sipil saja.

Saya setuju. Aktivisme seharusnya menjadi laku setiap orang yang peduli kepada mereka “yang tertindas” dan jadi bagian aktif dalam memperjuangkan perubahan untuk kehidupan lebih sehat dan adil.

Aktivisme harusnya menjadi kerja-kerja mengubah kuasa yang berlapis dan relasi yang tak adil di manapun kita tinggal. Kerja-kerja aktivisme ini perlu terefleksi secara kolektif dan terus menerus agar perubahan yang ingin dicapai makin mendekat. Segala tindakan aktivis itu makin manjur menghasilkan perubahan yang diniatkan.

Belajar dari Pgakenyaw, berjuang melawan relasi kuasa berlapis-lapis, termasuk relasi gender, relasi desa-kota, bahkan relasi rakyat dengan negara bisa dilakukan berbasis pengetahuan lokal, dengan budaya, dengan seni.Juga  menggali pengetahuan lokal sebagai ekonomi tanding ekstraktif.

Artinya,  kemandirian ekonomi lokal harus jadi bagian tak terpisahkan dalam memikirkan regenerasi aktivis. Dalam dunia organisasi masyarakat sipil, bisa dimaknai  penguatan ekonomi yang mengurangi ketergantungan terhadap donor. Ya, disini perlu suatu pilihan membangun sumber keuangan dari aktivisme dari kerja-kerja yang “berdiri di atas kaki sendiri”dan di atas itu kerjasama dilakukan.

Sekolah Mekong mengingatkan bahwa melakukan yang lokal itu penting tetapi tak cukup.

Mereka sudah memulai pendidikan aktivis dalam skala regional: lintas negara di wilayah Mekong dan merawat alumni dari wakyu ke waktu. Kita harus memikirkan metode pendidikan regenerasi aktivis untuk membangun jejaring perlawanan dan solidaritas yang malampaui fragmentasi isu dan kerja-kerja sektoral, seperti isu lingkungan dan buruh, isu perkotaan dan pedesaan, dan seterusnya.  Bahkan,  melampaui batas-batas negara.

Sebab, ekonomi ekstraktivisme – atau ekonomi yang mengekstraksi bahan mentah beroperasi melintasi negara dengan percepatan yang tak mampu kita bayangkan. Pun dampak perubahan iklim yang tak mengenal batas negara.

Kunjungan belajar ke Sekolah Mekong dan hutan tali pusar memberikan bekal untuk memikirkan cara-cara lebih kreatif, menguatkan pengetahuan lokal, menghidupkan seni budaya, dan ekonomi berdikari sebagai bagian tak terpisahkan dalam pendidikan regenerasi aktivis.

 

Peseta pertukaran belajar dari Indonesia, Phillipina dan region Mekong. Foto: Zenzi Suhadi/ Walhi

 

*Penulis: Siti Maimunah adalah Pengurus Mama Aleta Fund (MAF), penulis lepas dan ekofeminis.

 

 

 

 

******

Exit mobile version