Mongabay.co.id

Wawancara dengan Deputi Otorita IKN, Myrna Safitri: Nusantara Tidak Akan Korbankan Lingkungan

 

Presiden Joko Widodo pada Agustus 2019 mengumumkan sebuah rencana ambisius untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan, beberapa minggu setelah ia dilantik untuk masa jabatan kedua dan terakhirnya.

Ibukota Jakarta yang tenggelam dengan cepat, kelebihan penduduk, dan polusi mendorong relokasi tesebut diperlukan, jelas Presiden. Selain itu, memindahkan ibu kota ke luar pulau Jawa akan mengurangi ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan pulau-pulau bagian timur yang kurang terindustrialisasi dan lebih miskin.

Jokowi berjanji bahwa ibu kota baru, yang dikenal sebagai IKN Nusantara, akan menjadi “kota hijau” dengan strategi konstruksi yang minimal mengurangi kerusakan lingkungan dan  bertujuan untuk emisi karbon nol setelah selesai.

Presiden mengharapkan hingga 80 persen pendanaan untuk kota baru yang dibangun dari nol ini berasal dari investor swasta, dengan sisanya dialokasikan dari APBN selama beberapa tahun ke depan.

Peta yang menunjukkan wilayah yang dialokasikan untuk ibu kota baru Indonesia, Nusantara.

 

Pada bulan Februari 2022, pemerintah mengesahkan rencana pembangunan tersebut menjadi undang-undang, meletakkan kerangka hukum untuk proyek senilai USD 32 miliar yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2045.

Pada saat itu, kota baru tersebut akan mencakup lahan seluas 256.000 hektar (3,8 kali luas DKI Jakarta sekarang), yang sebagian berada di konsesi kehutanan yang sudah habis masa berlakunya, konsesi pertambangan, perkebunan sawit serta pemukiman.

Presiden pada Maret 2022 juga menunjuk sebuah badan pemerintah baru, Otoritas Ibu Kota Nusantara (IKN), untuk mengawasi kemajuan pembangunan kota baru dan melapor langsung kepadanya.

Untuk menelisik lebih jauh tentang tantangan pengembangan IKN yang kerap di sorot oleh publik, Mongabay mewawancarai Myrna Asnawati Safitri, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN. Myrna diangkat ke badan tersebut pada Oktober 2022, setelah sebelumnya bekerja sebagai Deputi Bidang Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), dan sebelumnya di Lembaga Advokasi Landreform Epistema Institute.

Presiden Indonesia, Joko Widodo, dan Gubernur Kalimantan Timur mengunjungi lokasi ibu kota baru Indonesia, Nusantara, pada 17 Desember 2019. Dok: Muchlis Jr/Sekretariat Kantor Presiden

 

Mongabay: Bagaimana tanggapan Otorita IKN terkait pemberitaan yang ada sejauh ini?

Myrna Safitri:  Yang pertama, senang saja dengan semua pemberitaan. Saya sangat menyadari dengan semua keterbatasan yang ada di otorita, belum semua informasi bisa disampaikan ke publik dengan utuh.

Dari pemberitaan yang ada, banyak yang masih ragu apakah ini akan mengorbankan lingkungan atau tidak. Kalau ditanya begitu, saya bisa katakan bahwa dalam kerangka regulasi dan perencanaan pembangunan clear disebutkan pembangunan IKN ini untuk memulihkan lingkungan yang sudah terlanjur rusak. Mungkin ini aspek yang belum terlalu diangkat.

Kalau kita lihat lokasi IKN luas daratannya 256.000 hektar, sebagian besar area Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanami eucalyptus. Kemudian, ada beberapa Izin Usaha Perkebunan (IUP) sawit, juga ada 100-an Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Jadi lingkungan saat ini bukan lingkungan yang baik-baik saja, tapi sudah rusak. Yang disebut dengan hutan alam itu sangat sedikit. Dari 256.000 hektar tidak semua dibangun kota, yang dibangun hanya sekitar 50.000-an hektar, dan bertahap sampai 2045.

Ada 5 tahapan pembangunan IKN, yang pertama itu 2022-2024, yang adalah persiapan, dan tahap-tahap selanjutnya per-5 tahunan sampai dengan 2045. Pembangunan IKN juga berkomitmen untuk mengendalikan perubahan iklim karena salah satu key performance index (KPI)-nya adalah net zero emission di tahun 2045.

 

Titik Nol IKN yang menjadi ikon baru di Kalimantan Timur. IKN akan dikembangkan dengan prinsip lingkungan, termasuk zero emission. Foto: Basten Gokkon/Mongabay

 

Mongabay: Bagaimana perencanaan IKN supaya bisa mencapai zero emission dan juga menekan emisi tambahan dari proses pembangunannya?

Myrna Safitri: Kalau bicara emisi, harus dilihat juga sektor-sektor penting yang menjadi sumber utama emisi. Kalau tidak dirawat bisa menjadi sumber emisi. Kalau bisa dikelola baik, bisa jadi penyerap.

Dari sektor Forestry and Other Land Use (FOLU), maka fokusnya pada pengendalian deforestasi. Beberapa bulan pertama, kami telah membuat edaran ke penanggungjawab konstruksi, untuk mengendalikan semaksimal mungkin deforestasi.

Misal dalam kebutuhan pembangunan pasti ada penebangan, -itu tidak bisa dihindari, namun yang diperbolehkan adalah penebangan di lokasi hutan tanaman. Jadi by design tidak ada pembangunan yang merambah hutan alam.

Kedua, penebangan di area yang diperbolehkan untuk dibangun, hanya boleh dilakukan secukupnya, sesuai dengan tahapan pembangunan saat itu.

Ketiga, rehabilitasi juga dilakukan di lokasi kritis. Kementerian juga sudah melakukan upaya secara bertahap mengganti hutan tanaman monokultur hingga mendekati hutan tropis.

Untuk sektor pertambangan, kami akan merilis kebijakan moratorium. Di wilayah IKN seluas 256 ribu hektar tidak ada lagi penerbitan izin baru atau peningkatan status izin tambang.

Lalu bagaimana dengan energi untuk IKN, tidak mungkin dengan batubara. Kita berkomitmen dengan energi bersih, energi surya sekitar 80 persen. Untuk transportasi, tidak lagi berbasis bahan bakar fosil.

Di sektor konstruksi, sedang dikembangkan konstruksi yang menggunakan material ramah lingkungan. Ya, Ini memang belum solid, jadi saya harus banyak bicara dengan berbagai pihak, kira-kira bahan ramah lingkungan apa yang bisa digunakan.

 

Sebagian kawasan hutan yang dikembangkan untuk ibu kota baru Indonesia, Nusantara. Foto: Richaldo Hariandja/Mongabay Indonesia.

 

Mongabay: Banyak pemerhati lingkungan khawatir dampak di luar IKN, seperti ke Teluk Balikpapan, kemudian jalan tol yang mengikis Hutan Lindung Sungai Wain. Terkait listrik juga, tambang nikel tidak di Kalimantan tapi di Sulawesi. Seperti apa mitigasinya?

Myrna Safitri: Di area-area terdekat sudah ada konsep 3 kota, yaitu pembangunan IKN, Balikpapan dan Samarinda. Sudah ada dalam masterplan yang mensyaratkan kerja sama antar daerah.

Ketika saya dilantik, saya sudah bertemu dengan semua kepala daerah untuk menjajaki kerja sama antar daerah. Tidak mungkin membangun IKN saja. Pasti akan ada dampak di luar IKN, semua perlu duduk bersama.

Tentang Teluk Balikpapan. Di tanggal 5 April lalu, kami sudah kumpulkan stakeholder-nya. Mulai TNI AL yang akan atur keamanan di perairan itu, syahbandar yang atur lalu lintas kapal, Bappeda, dan juga LSM. Kalau bicara ancaman, semua sudah ada dari dulu. Ada minyak tumpah, ada penebangan mangrove. Saya bukan membela diri, ada atau tidak ada IKN, ekosistem tersebut terancam.

Agar keberadaan IKN tidak menambah parah, kita berkumpul bersama dan bersepakat membentuk forum. Stakeholder bisa saling berkomunikasi dan membuat desain rencana aksi bersama. Ini tidak bisa selesai dalam sekali pertemuan.

Hal lain, harus ada sinkronisasi kebijakan. Balikpapan, sudah bangun kawasan ekonomi khusus di Kariangau itu. Untuk adjust rencananya, harus ada pembicaraan lagi. Dengan Kabupaten PPU, perlu bicara berapa banyak mereka mau jaga mangrovenya.

Jadi kami tidak hanya urus IKN, tapi juga ke samping kiri dan kanan. Kita ajak Pemda jalan bereng. Termasuk pengendalian pencermaran, khususnya dari pembuangan solar kapal-kapal yang masuk.

Kemudian soal mangrove. Sebagian besar mangrove bagus, ini harus dilindungi. Kebetulan kalau di IKN kawasan mangrove masuk ke fungsi lindung.

Nah, mindset kita sudah terlanjur percaya jika yang lindung itu hanya kawasan hutan. Area Penggunaan Lain (APL) boleh diapakan saja. Itu keliru. Kita mau era baru, tidak lagi bicara status penguasaan, tapi bicara soal fungsi ruang, sesuai UU Tata Ruang.

Boleh saja tanah kepemilikannya milik siapa saja, tapi pemanfaatannya tidak boleh sembarangan. Itu hal yang menurut saya baru, di tempat lain tidak seperti itu.

 

Pantauan analisis citra yang dilakukan terhadap perubahan bentang lahan di wilayah IKN dan sekitarnya. Dok: Global Forest Watch

 

Mongabay: Bagaimana memastikan tidak terjadi penyalahgunaan pemanfaatan area tersebut?

Myrna Safitri: Kami sedang berproses, akan ada personel dalam waktu dekat untuk melakukan penertiban. Pembukaan itu tidak boleh. Kami juga sedang lakukan analisis dimana spot pembukaan itu dilakukan.

Untuk Sulawesi, karena batu-batuannya dari situ, kami perlu berdiskusi dengan pemerintah setempat, supaya satu pemahaman. Bagaimana memasok dengan kriteria tertentu, tidak merusak lingkungan dan lain-lain.

Kami bisa saja mempersyaratkan apapun yang masuk ke IKN itu harus legal, -tidak terima barang-barang ilegal, dan berasal dari kegiatan yang tidak merusak lingkungan. Di tingkat nasional perlu juga ada aturan, supaya daerah-daerah berada di satu policy yang sama.

Mongabay: Para ahli khawatir terkait spekulan lahan yang marak karena pembangunan IKN. Bagaimana mengatasinya?

Myrna Safitri: Ada Perpres tentang pertanahan, salah satunya tentang pembekuan penerbitan hak atas tanah, tujuannya untuk mengantisipasi para spekulan lahan ini.

Tapi kemudian di lapangan ada salah pengertian, -seakan-akan berlaku untuk semua. Masyarakat yang ingin meningkatkan status lahan khawatir tidak bisa.

Padahal bukan itu. Kami sudah luruskan. Kalau masyarakat yang tengah mengurus sertifikat, itu bisa diproses. Tapi yang tidak boleh adalah pembukaan dan transaksi baru untuk mengantisipasi para spekulan lahan tadi.

 

Tanda di sepanjang jalan tol baru yang mengklaim kepemilikan lahan. Foto: Basten Gokkon/Mongabay.

 

Mongabay: Pembela HAM khawatir soal relokasi warga lokal dan masyarakat adat setempat, khususnya pada aspek free prior and informed consent. Bagaimana agar aspek sosial juga terjaga?

Myrna Safitri: Kalau soal pemaksaan, tidak ada. Deputi sosial budaya terus melakukan dialog dengan masyarakat untuk mencari bentuk-bentuk yang disepakati. Seperti apa saja, termasuk misalnya apakah perlu dipindahkan atau tidak.

Jika tidak terhindarkan lagi, -dari rencana detail tata ruang, misalnya untuk fasilitas pertahanan keamanan, mereka harus pindah, itu dilakukan dialog bersama. Kalau dipindahkan, dipindahkan ke mana, mereka sepakat atau tidak dipindahkan di situ, dan apa yang perlu disediakan di situ.

Ini juga bukan hanya persoalan ganti rugi uang, tapi juga fasilitas. Masyarakat perlunya yang seperti apa. Kalau bilang ‘kami mau dibuatkan kampung baru’ ya tidak masalah dibuatkan. Kami di otorita, juga berpikir membangun kampung heritage. Lokasinya di mana harus diskusi panjang.

Konsep awal yang sedang dikaji adalah konsep kearifan lokal, showcase untuk kebudayaan material, tari-tarian dan sebagainya.

Atau mereka mau yang lebih luas? Seperti tempat melestarikan ekosistem, jadi ada jasa lingkungan di situ. Kami mau gali perihal pengetahuan tradisional. Kita sedang rekonstruksi lagi supaya kebudayaan itu tidak hanya sekedar seni tarian.

 

Warga suku Balik, salah satu masyarakat asli yang tinggal di lokasi IKN Nusantara. Keberadaanya kurang diekspose. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Akan ada kompetisi antara masyarakat lokal yang memilih menetap dengan pendatang dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang tidak seimbang. Bagaimana mitigasinya?

Myrna Safitri: Yang namanya kompetisi pasti tidak terhindarkan. Kebijakan afirmasi akan dibuat. Identifikasi peningkatan kapasitas SDM seperti apa yang diperlukan. Pendidikan akan jadi concern. Hal itu masih dalam diskusi, selain itu, ini bukan bidang saya. Kita sedang pikirkan bentuk dukungannya.

 

Peta Wilayah Adat di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dok Peta: AMA Kaltim

 

Mongabay: Pemerhati lingkungan juga khawatir jika pembangunan IKN dan fasilitas pendukungnya, akan menyebabkan mengurangi konektivitas satwa, seperti jalan tol baru yang mengikis kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. Bagaimana agar konektivitas habitat tetap terjaga dan terlindungi?

Myrna Safitri: Satwa liar di IKN itu dilindungi, itu kebijakan dasarnya. Koridor-koridor alami tetap dijaga, tidak akan diutak-atik. Koridor satwa akan dibuat di lokasi yang bakal terkena, seperti jalan tol itu. PU sudah membuat desain, seperti underpass atau jembatan.

Kami sudah membahas ini dengan ahli satwa, Kawan-kawan PU juga siap mengadaptasi desain itu.

Kami juga mendukung upaya konservasi eksisting seperti yang dilakukan BOS Foundation, Samboja Lestari, untuk beruang madu dan orangutan. Konservasi eks-situ diberikan ruang dan perlindungan.

Kami juga sudah buatkan petunjuk teknis bagi para pengelola proyek, apa yang mereka harus perhatikan. Kepada pekerja harus lakukan apa, tidak boleh melakukan apa, itu sudah kami sosialisasikan secara periodik.

 

Bekantan, satwa endemik Kalimantan, yang hdiup di hutan mangrove yang ada di Teluk Balikpapan. Foto: Hendar/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Tujuan IKN adalah mendukung pemerataan economic growth di area Indonesia bagian timur. Dari sisi lingkungan, apakah benefit dari pembangunan IKN ini lebih banyak dibandingkan kerugian?

Myrna Safitri: Saya tidak bisa jawab itu, karena belum pernah menghitung atau belum pernah membaca hasil perhitungannya. Tapi prinsip kehati-hatian, -agar tidak memberi kerugian pada lingkungan, itu memang dilakukan.

Termasuk pilihan cluster industri yang bisa dikembangkan, sedapat mungkin adalah yang bukan industri yang merusak lingkungan. Misalnya sustainable agriculture dan ecotourism, itu akan dikembangkan.

 

Mongabay: Apakah Anda pengembangan IKN sejauh ini dan ke depan bisa sustainable?

Myrna Safitri: Ya. Kalau melihat dari arahan yang sekarang, baik secara lisan maupun dokumen, keberpihakan kepada lingkungannya tinggi. Agar upaya ini tetap berjalan, proses ini perlu dikawal bersama.

Semua pihak harus diingatkan bahwa IKN itu tujuannya memulihkan lingkungan, dan agar semua orang ingat dan semua tergerak.

 

Artikel asli: Indonesia’s new capital ‘won’t sacrifice the environment’: Q/A with Nusantara’s Myrna Asnawati Safitri.

 

***

Foto Utama: Desain Ibu Kota Negara Indonesia dNusantara. Sumber: Kementerian PUPR

 

 

Exit mobile version