Mongabay.co.id

Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar

 

 

 

 

 

 

Nasib memprihatinkan dialami warga desa-desa di Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, diduga karena operasi tambang nikel.  Sumber air,  sungai, laut sampai air-air yang mengalir ke rumah-rumah warga pun keruh, berwarna oranye bercampur lumpur. Krisis air bersih terjadi selama hampir tiga pekan. Warga pun terpaksa beli air galon untuk penuhi keperluan air bersih sehari-hari.

Kelima desa terdampak itu adalah Roko-roko, Dompu-dompu, Sukarela Jaya, Bahaba, dan Teporoko. Warga di sana mengandalkan satu aliran sungai di Desa Roko-roko yang belum tercemar, untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Dari pantauan Mongabay selama beberapa hari, hujan deras berjam-jam mengalirkan air bercampur lumpur turun menggenangi pemukiman warga di pesisir. Air berlumpur juga mengalir di keran-keran bak mandi dan dapur di rumah warga.

Warga menduga, sumber air mereka tercemar aktivitas penambangan ore nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group.

Sebelum ada tambang beroperasi tidak pernah mengalami pencemaran air seperti ini.  Dulu, kalau hujan air keruh mengalir ke sungai, tetapi tak sampai air yang ke keran-keran rumah warga juga keruh. Baru setelah  perusahaan beroperasi,  mengeruk dan menggunduli hutan selama tiga tahun terakhir.

“Selama 60 tahun saya hidup di sini, nanti setelah beroperasi perusahaan (menambang) baru ada kejadian begini,” ucap Daa, warga Desa Dompu-dompu.

 

Baca juga: Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang

Laut pesisir Wawonii, berubah warha setelah hujan. Air beserta lumpur berwarna oranye mengalir dari pegunungan ke pesisir. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

GKP membantah tudingan ini.  “Setelah melalui pengecekan lapangan, tudingan itu tidak benar,” kata Alexander Lieman, Manager Strategic Communication PT GKP, dalam tanggapan resminya kepada Mongabay, saat dikonfirmasi.

Lieman mengaku, telah mengecek di lapangan bersama pihak desa, dan menyimpulkan sumber air di Wawonii Tenggara keruh karena intensitas curah hujan deras dalam sepekan terakhir. Kesimpulan itu, katanya,  diperkuat pengakuan warga sekitar yang ditemui GKP kalau sungai keruh ‘bukan kali pertama terjadi di Wawonii’.

Sementara Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, turun ke lapangan. Hasnawati, Bidang Penataan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Konawe Kepulauan, mengatakan, bersama tim Balai Penegakan Hukum Wilayah Sulawesi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah turun mengambil sampel air di beberapa sungai yang keruh, pekan lalu. Sampel itu, katanya akan diuji ke laboratorium.

 

Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

Warga memperlihatkan pertemuan dua aliran sungai pesisir yang tercemar lumpur dan tidak tercemar lumpur, tidak jauh dari pemukiman warga. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

***

Pada 9 Mei lalu, hujan mengguyur selama dua jam. Air bersih yang mengalir ke kran rumah warga mendadak berubah warna menjadi orange bercampur pasir dan lumpur. Penampungan air sementara di dapur dan bak mandi teraliri air kotor.

Ratna, seorang ibu rumah tangga terkejut saat membasuh wajah dengan air di kegelapan pagi buta. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dengan air biasa. Air bersumber dari mata air tak jauh dari area pengerukan tanah di gunung.

“Saya kaget waktu berwudhu, terasa lengket-lengket muka. [Air] sudah berlumpur.”

Di sejumlah dapur rumah warga yang Mongabay kunjungi, para ibu rumah tangga terpaksa menunggu lama sampai lumpur mengendap di dasar penampungan. Mereka pun  terpaksa pakai air yang masih keruh untuk mencuci bahan makanan dan peralatan makan.

Di titik pertemuan dua sungai di sekitar Desa Dompu-dompu,  salah satu sungai terlihat  membawa lumpur coklat, mencemari aliran sungai berbeda jadi agak keruh. Air pertemuan dua anak sungai ini mengalir ke muara dengan warna orange. Laut sepanjang pesisir Pantai Wawonii Tenggara, berubah warna.

“Ini lautan Jasjus (produk serbuk minuman ringan dengan serbuk pewarna oranye),” kata seorang nelayan. Para nelayan ini pun menunda sampai laut surut. Mereka terpaksa hanya mengais hewan-hewan laut di hamparan pesisir yang tertutup lumpur halus.

Hujan deras turun lagi pada 22 Mei pagi. Warga pesisir saling membantu membersihkan lumpur dan kayu yang menumpuk terbawa aliran air dari ketinggian. Ia menyumbat drainase yang terhubung ke laut. Drainase tersumbat menyebabkan air menggenangi pekarangan rumah warga.

“Kalau begini terus, bagaimana kalau puncak musim hujan di Juni nanti.”

Hingga kini warga di lima desa hanya mengandalkan satu aliran sungai di Desa Roko-roko yang belum tercemar untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Mereka setiap hari berkumpul di sungai itu untuk mengambil air bersih di antara aktivitas warga yang mandi, mencuci dan bersih-bersih.

Sebagian warga membeli air galon. Sebagian lain tetap mengandalkan air sumur galian dengan kondisi makin keruh.

 

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Nelayan berjalan di atas cemaran lumpur yang menutupi permukaan pasir laut saat surut. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Cabut izin, jalankan putusan Mahkamah Agung

Walhi, juga sudah merilis laporan mengenai ancaman kehancuran dan pencemaran sumber air di Pulau Wawonii ini.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, tambang nikel menghancurkan mata air yang jadi sumber air minum masyarakat di sejumlah kecamatan di Wawonii. Di dataran tinggi Pulau Wawonii, katanya,  terdapat mata air yang mengalir ke sejumlah sungai di sejumlah kecamatan, terutama Wawonii Tenggara dan Wawonii Selatan.

Data BPS Konawe Kepulauan 2019, menyebutkan, dalam kehidupan sehari-hari, sekitar 76,63% warga Pulau Wawonii tergantung sumber mata air. Kehancuran sumber air yang terjadi saat ini, kata Parid, menjawab kekhawatiran atas laporan yang disusun Walhi pada 2019 itu.

Dia bilang, tak ada pilihan lain selain pertambangan nikel itu dihentikan. Terlebih, untuk kasus tambang nikel di Wawonii ini, dalam utusan Mahkamah Agung Nomer 67/2022 mengabulkan gugatan 29 warga atas keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Tenggara. Surat  bernomor 949 itu mengenai persetujuan perubahan izin usaha pertambangan operasi  produksi kepada PT Gema Kreasi Perdana tertanggal 31 Desember 2019.

Dalam Putusan Mahkamah Agung itu, persetujuan perubahan izin usaha pertambangan operasi  produksi kepada PT Gema Kreasi Perdana (GKP) bertentangan dengan sejumlah hal.

Pertama, Pasal 65 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Kedua, melanggar Pasal 35 UU Nomer 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 39 UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Juga, Peraturan Daerah Sulawesi Tenggara Nomor 2/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tenggara 2014-2034.  Juga melanggar Peraturan Daerah Sulawesi Tenggara soal Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2018-2038. Lainnya, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 27/2012 tentang Izin Lingkungan.

Ketiga, Peraturan Daerah Sulawesi Tenggara Nomor 2/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tenggara 2014-2034. Dalam menyusun RTRW, katanya, salah satu dasar UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan  Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

 

Baca juga: Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes Berbuah Aniaya dan Penangkapan

Warga mencuci peralatan makan dan perlengkapan dapur menggunakan air keruh yang tercemar lumpur. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Dalam Pasal 23 UU itu, kata Parid,  mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya prioritas untuk kepentingan, konservasi, pendidikan dan pelatihan. penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan lestari, pertanian organik dan atau peternakan.

Atas dasar itu, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan seluruhnya dan membatalkan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Tenggara  soal perubahan izin GKP. Dinas wajib mencabut keputusan kepala itu.

Dia desak, pemerintah jalankan putusan Mahkamah Agung.

GKP pun harus melakukan pemulihan sosio-ekologis yang rusak dan memulihkan ekonomi warga. “Mereka harus membayar itu sebagai bagian dari pertanggungjawaban korporasi,” katanya kepada Mongabay.

Dia pun meminta Presiden Joko Widodo turun ke Wawonii untuk melihat langsung dampak pertambangan nikel sebagai bagian dari industri kendaraan listrik dia kampanyekan dalam banyak forum internasional.

Warga Wawonii, katanya,  harus menagih pemerintah pusat dan daerah segera menjalankan putusan Mahkamah Agung.

Dia ingatkan juga dalam pemilihan umum serentak 2024, warga Wawonii jangan memilih calon-calon pemimpin yang tak memiliki visi keadilan ekologis. “[Jangan [ilih]  yang tidak peduli pada keselamatan rakyat, khusus di pulau-pulau kecil seperti Wawonii,” kata Parid.

Masyarakat di pulau-pulau kecil, termasuk Wawonii, katanya, juga  harus terlibat mengawal rancangan pembangunan jangka panjang (RPJP) 2025-2045.

“Memastikan pulau-pulau kecil di Indonesia tidak teralokasi untuk kepentingan industri ekstraktif.”

 

Balai Gakum turun bersama Dinas Lingkungan Hidup Konawe Kepulauan mengambil sampel air yang berubah warna. Foto: dokumen warga

 

 

******

 

 

 

Exit mobile version