Mongabay.co.id

Perempuan Memimpin Desa dan Menjaga Sumber Daya Alam, Sudah Saatnya?

Hadirnya kelompok perempuan peduli Sungai Musi merupakan kabar baik yang harus didukung semua pihak demi kelestarian sungai tersebut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Banyak desa di Indonesia yang kekayaan alamnya terus terkuras. Sementara sebagian besar masyarakatnya tidak sejahtera. Sebagai upaya menyelamatkan atau memperbaikinya, desa harus dipimpin perempuan. Mengapa?

“Perempuan itu memiliki karakter merawat bukan mengeksploitasi atau ekstraktif,” kata Ade Indriani Zuchri, Tenaga Ahli Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran [Kementerian Desa PDTT], kepada Mongabay Indonesia, Senin [22/05/2023].

Sementara lelaki, sebaliknya, “Cenderung menguras. Mengambil sebanyaknya dengan waktu yang cepat. Tidak memikirkan hari esok. Sebab banyak keputusan politik yang dilakukan para pemimpin lelaki, baik di atas maupun di bawah, yang berdampak pada rusaknya lingkungan atau ekstraktif. Khususnya di wilayah pedesaan.”

Tapi, asumsi ini harus dibuktikan dengan melakukan perbandingan karakter kepemimpinan perempuan dengan lelaki. “Caranya beri kesempatan kepada para perempuan untuk memimpin desa. Setidaknya 50 persen desa di Indonesia dipimpin perempuan,” kata mantan Ketua Umum SHI [Sarekat Hijau Indonesia].

Dijelaskan Ade, dari 81.686 desa di Indonesia, perempuan yang menjadi kepala desa hanya 3.186. Tidak sampai 10 persen.

“Kondisi ini membuat kepala desa perempuan memiliki posisi tawar yang lemah. Misalnya, ketika mengambil keputusan dalam musyawarah atau pertemuan antarkepala desa, saat menyikapi hadirnya sebuah perusahaan yang akan mengeksploitasi kekayaan alam di wilayah mereka.”

Meskipun jumlahnya kecil, tapi perempuan yang menjadi kepala desa jauh dari berbagai persoalan yang merugikan komunitasnya, seperti korupsi.

“Setahu saya, belum didapatkan kepala desa perempuan ditangkap dan ditahan karena kasus korupsi dana desa. Mungkin satu dua terlibat tidak langsung.”

Baca: Ketika Kaum Perempuan Tergerak Menjaga Sungai Musi

 

Hadirnya kelompok perempuan peduli Sungai Musi merupakan kabar baik yang harus didukung semua pihak demi kelestarian sungai tersebut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Merawat

Di masa lalu, ketika perempuan memiliki peran penting pada masyarakat Indonesia, yang masih menjunjung hukum adat, perempuan memiliki posisi penting.

“Suara atau pendapat perempuan sangat menentukan sikap dari komunitasnya. Mengapa? Sebab perempuan memiliki peran merawat di dalam keluarga. Perempuan mempertimbangkan banyak hal, guna menjamin keberlangsungan hidup suami, anak, dan keluarganya.”

Peran merawat ini, membuat perempuan di dalam berbagai komunitas, dipercaya sebagai penjaga warisan, seperti benda beharga [harta benda] atau sumber daya [sawah dan kebun].

Bahkan, perempuan juga menjadi agen pengetahuan. Warisan pengetahuan ini diserahkan kepada perempuan dari generasi ke generasi. Baik terkait pengobatan, kuliner, kerajinan, hingga pengetahuan merawat tanaman di kebun dan hutan.

“Hutan bagi perempuan merupakan aset bagi keluarga dan komunitasnya. Sebab, hutan merupakan sumber penghidupan bagi keluarga dan keturunan yang dirawat perempuan. Mulai dari air bersih, obat-obatan, dan pangan.”

“Tradisi meramu [mengolah hasil hutan] merupakan pengetahuan yang dikuasai kaum perempuan di pedesaan yang hidup di sekitar hutan,” ujar Ade.

Baca: Perempuan, Purun dan Relasi Gender di Lahan Gambut

 

Perempuan Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, tengah ngetem atau panen padi gotong-royong. Foto: Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Dekat dengan alam

Eko Bagus Sholihin, dari FISIP UIN Raden Fatah, setuju jika perempuan diberikan kesempatan lebih besar untuk memimpin desa. “Tujuannya, guna menyelamatkan kekayaan alam tersisa,” katanya, Kamis [25/05/2023].

Dijelaskan Eko, perempuan di wilayah timur [khususnya di Asia Timur dan Selatan] memiliki ikatan batin dan emosial lebih kuat dengan alam dibandingkan laki-laki.

“Sehingga kita mengenal ibu bumi atau ibu pertiwi.”

Perempuan timur yang identik dengan urusan domestik, sangat bergantung pada alam. Misalnya, untuk memasak, mencuci pakaian, memandikan anak, dibutuhkan air bersih. Sehingga, ketika sekelompok masyarakat kehilangan akses atas air bersih, maka perempuan merasa lebih menderita.

“Dan mereka di depan untuk menentang kerusakan atau tindakan yang membuat hilangnya akses air bersih.”

Kemudian terkait pangan. Ketika kerusakan dan ketidakseimbangan alam menyebabkan krisis pangan, maka perempuan juga lebih merasakan dampaknya. Ketika harga cabai mahal, kelangkaan bawang, dan kelangkaan bahan pangan lainnya, perempuan akan lebih merasa risau dibandingkan laki-laki.

“Ini artinya, perempuan yang akan pertama menentang jika sebuah sawah atau kebun dijual atau diambil sebuah perusahaan perkebunan atau penambangan mineral,” kata Eko.

Lingkungan yang kotor juga menyebabkan perempuan gelisah. Misalnya, ibu yang memiliki bayi, akan sangat risau ketika hidup di lingkungan yang kotor, penuh sampah, atau udaranya terkontaminasi limbah.

“Dengan determinisme atau saling ketergantungan yang lebih tinggi antara perempuan dengan alam, menurut saya secara naluriah, perempuan akan memiliki naluri yang lebih kuat tentang merawat alam.”

Jadi, lanjut Eko, meskipun tidak bisa dipastikan apakah kekayaan alam di pedesaan akan terjaga, “Tapi ketika perempuan memegang kekuasaan di desa, maka naluri tentang saling ketergantungan dengan alam, membuat perempuan akan cenderung lebih menjaga alam dari perilaku manusia yang eksploitatif.”

Baca juga: Pejuang Pangan di Desa Penakalan Itu Petani Perempuan

 

Ranger MpU Uteun, penjaga hutan di Bener Meriah, Provinsi Aceh, yang seluruh anggotanya perempuan. Foto: Dok. HAkA

 

Tidak dipercaya

Berbeda di masa lalu, saat ini kepercayaan terhadap perempuan untuk memimpin sebuah komunitas mulai menurun. Masyarakat di pedesaan [Indonesia] cenderung lebih percaya dengan laki-laki untuk memimpin.

“Pada saat ini, pemimpin digambarkan seseorang yang gagah dan royal. Tidak pelit. Dan, karakter seperti  ini umumnya dimiliki laki-laki. Sementara perempuan sebaliknya. Makanya ketika politik uang berlaku dalam suksesi kepemimpinan, perempuan tidak mau terlibat. Mereka lebih baik tidak mencalonkan diri,” kata Ade.

Selain itu, dampak kolonialisme, yang membuat banyak perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, melahirkan stereotype perempuan itu bodoh, tidak mampu menjadi pemimpin, tidak tahu politik. Dan, perempuan itu tempatnya di ruang domestik.

“Feodalisme dan sejumlah kepercayaan mendukung persepsi perempuan itu tidak akurasi dan presisi bila dipiliih sebagai pemimpin.”

Tapi, peluang perempuan untuk memimpin tetap terbuka di Indonesia, khususnya di pedesaan, sebab negara mendorong kuota perempuan 30 persen dalam dunia politik.

“Kita butuh perempuan untuk menyelamatkan lingkungan, bumi ini,” ujar Ade.

Sementara Eko berharap ada gerakan atau keinginan bersama di masyarakat sipil untuk mendorong perempuan menjadi pemimpin di desa, “Ini kan demi kepentingan penyelamatan lingkungan, dan kekayaan alam di Indonesia yang terus tergerus.”

“Hal ini tentunya tidak mudah, banyak penolakan, terutama dari berbagai kekuatan yang menginginkan pengurasan kekayaan alam di pedesaan terus berlangsung,” ujar Eko.

 

Exit mobile version