Mongabay.co.id

Tambang Nikel dan Resahnya Petani Merica Luwu Timur

Petani merica yang menolak kehadiran PT Vale Indonesia Tbk di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Foto : WALHI Sulsel

 

Syamsul, seorang petani merica (lada) Desa Loeha, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, meradang. Aktivitas tambang yang dilakukan PT Vale Indonesia Tbk sebutnya telah membuat warga resah.

Para petani kemudian melakukan aksi penolakan dengan pemasangan spanduk di beberapa ruas jalan utama di desa itu. Tertulis spanduk ‘Petani Lada Melawan dan Tolak Tambang’. Ada sekitar 3.600 hektar merica yang menjadi sumber kehidupan utama masyarakat di Loeha Raya.

“Kebun merica yang membuat anak-anak muda di sini bisa berkuliah. Merica menyejahterakan kehidupan kami,” sebut Syamsul (15/5/2023).

Selain berdampak pada ekonomi warga, keberadaan tambang berpotensi pada kualitas alam yang mereka tempati.

“Aktivitas pertambangan tidak hanya menggerus sumber perekonomian kami, tapi juga berpotensi memberi dampak pada sumber air sungai, dan Danau Towuti.”

 

Petani merica yang menolak kehadiran PT Vale Indonesia Tbk di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan,Dok: WALHI Sulsel

 

Seperti yang telah tertulis di artikel Mongabay sebelumnya, Head of Communications PT Vale Indonesia Tbk, Bayu Aji telah memberikan klarifikasi.

“Terkait konsultasi publik dan persetujuan masyarakat setempat, Vale bersama pemerintah desa telah membentuk forum koordinasi pemangku kepentingan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam setiap tahapan pelaksanaan eksplorasi dan membahas isu yang ada di masyarakat,” sebutnya (17/5/2023).

Wilayah yang dipersoalkan, jelas Bayu, adalah wilayah Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wilayah PPKH yang merupakan kawasan hutan, telah digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan penanaman merica.

“Vale tidak melakukan kegiatan eksplorasi bila tidak mendapatkan akses dari penggarap lahan dan kami sangat menyayangkan adanya kegiatan perambahan hutan yang cukup masif,” katanya. 

 

Petani merica melakukan aksi pemasangan spanduk bertuliskan tolak tambang di beberapa desa di Kecamatan Towuti, Luwu Timur. Dok: WALHI Sulsel.

Baca juga: Dituding WALHI Sulsel Serobot Lahan Warga dan Langgar HAM, Ini Jawaban Vale

 

Namun, pernyataan Bayu dibantah Resa, salah satu petani merica di Desa Loeha. Resa mengatakan dirinya bersama petani merica lainya tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi maupun konsultasi publik sebelum Vale melakukan eksplorasi di Tanamalia.

“Saya dan para petani merica di Desa Loeha dan Ranteangin tidak pernah diundang sosialisasi,” katanya.

Dia mengeluhkan aktivitas Vale di Desa Loeha, Masiku, Ranteangin, dan Bantilang yang merusak jalan dan tanaman merica petani.

Hamsin, salah satu anggota forum pemangku kepentingan Desa Loeha menyebut konsultasi publik hanya melibatkan pihak terbatas. Pertemuan hanya dihadiri Kepala Desa Loeha, aparat desa, dan lima anggota forum. Tiga diantaranya, berpihak ke perusahaan.

“Pada saat pertemuan di kantor Desa Loeha, tidak ada pembahasan spesifik membahas rencana eksplorasi. Vale tidak pernah menunjukkan peta rencana eksplorasi di Tanamalia. Tidak ada sosialisasi apalagi konsultasi publik oleh perusahaan,” katanya.

Dia menjelaskan dirinya sudah keluar dari forum pemangku kepentingan, dan menilai Vale tidak menjalankan permintaan forum sebelum melakukan eksplorasi.

“Semua janji Vale tidak ada yang ditepati. Vale berjanji akan membangun jalan, jembatan sebelum melakukan eksplorasi. Kenyataannya tidak ada. Malah jalan yang dirintis dan dibangun masyarakat dirusak.”

Vale juga menurutnya, telah berjanji akan menyelesaikan eksplorasi di Desember 2022, yang bila tidak selesai akan dilakukan dialog dengan petani. Namun, sampai saat ini tak ada konsultasi publik antara perusahaan dengan masyarakat.

 

PT Vale Indonesia Tbk, perusahaan ini melakukan pertambangan nikel di wilayah Sulawesi. Dok: PT Vale Indonesia

 

Rusaknya Ruang Hidup dan Ancaman Deforestasi

Aktivitas penambangan nikel di Luwu Timur sendiri adalah yang terbesar di Sulsel. Dari enam perusahaan tambang nikel di Sulawesi Selatan, ada dua perusahaan yang sedang menambang nikel di bentang alam hutan Luwu Timur, yaitu PT Vale Indonesia Tbk, di Blok Sorowako dan PT Citra Lampia Mandiri, di Blok Landau, luas konsesinya mencapai 74.253,4 hektar.

“Hutan di Luwu Timur yang dulu berfungsi sebagai habitat flora dan fauna, sumber kehidupan masyarakat adat dan lokal serta daerah tangkapan air berubah fungsi menjadi area pertambangan nikel,” jelas Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin.

Berdasarkan pantauan dan kajian ruang yang dilakukan WALHI Sulsel, luas deforestasi akibat pertambangan nikel di Sulawesi Selatan mencapai 4.752,87 hektar.

“Kerusakan hutan ini tentu saja akan terus meningkat, sejalan semakin masifnya aktivitas tambang nikel di Pegunungan Verbeck. Kami sudah identifikasi ada sejumlah titik air di wilayah pegunungan tersebut yang pasti akan rusak jika tambang ini tetap dilanjutkan.”

Amin menyayangkan aktivitas Vale di Tanamalia, yang tidak melibatkan masyarakat secara luas, sebelum melakukan aktivitas penambangan.

“Petani hanya menggunakan lahan untuk diolah sementara Vale melakukan pengerukan tanah. Aktivitas Vale berdampak pada kualitas lingkungan dan memperparah deforestasi.”

Apa yang terjadi di Tanamalia ini, juga menambah sederetan persoalan yang pernah ditimbulkan Vale. Kasus sebelumnya di perkampungan Dongi yang masuk area bumper, menyebabkan masyarakat tidak memiliki air bersih, sebut Amin.

“Bayangkan saja kalau PT Vale selesai menambang lalu pergi, siapa yang akan menanggung risiko lingkungan, pasti masyarakat adat dan masyarakat,” pungkasnya.

 

Exit mobile version