Mongabay.co.id

Bagaimana Mengelola Ruang Laut dengan Bijak dan Transparan?

 

Menjaga keseimbangan ekonomi dan ekologi secara bersamaan, memang mudah untuk diungkapkan namun sulit untuk diterapkan. Prinsip tersebut berulang kali diucapkan dan dikampanyekan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam banyak kesempatan.

Memadukan dua kegiatan dalam satu lokasi, menjadi tantangan yang harus bisa dijawab oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengiringi pembangunan kelautan dan perikanan di seluruh Indonesia.

Dengan kata lain, jika ingin memadukan pembangunan ekonomi dan ekologi sekaligus dengan capaian sama baiknya, maka semua pihak terkait harus senantiasa memperhatikan daya dukung ruang laut dalam menyerap semua kegiatan.

Menurut Sakti Wahyu Trenggono, inti dari pembangunan kelautan dan perikanan adalah mengelola ruang laut dengan sangat bijak dan efisien. Kata dia, pengelolaan ruang laut juga harus bisa memberi manfaat bagi daerah, serta meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dia yakin, jika pengelolaan ruang laut dilakukan secara sembarangan dan tidak memperhatikan prinsip ekologi yang bisa menjaga ekosistem laut, maka kehancuran dunia akan segera terjadi dengan dimulai dari laut.

“Maka, berakhirlah kehidupan,” tutur dia belum lama ini di Jakarta.

Agar ruang laut bisa bermanfaat dengan maksimal, maka perlu dilakukan pengawasan yang ekstra ketat agar pemanfaatannya bisa memberi manfaat dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, pemanfaatan ruang laut harus dilaksanakan dengan tepat dan tidak berlebihan.

baca : Duet Ekonomi dan Ekologi pada Pemanfaatan Ruang Laut

 

Ilustrasi pipa bawah laut. Pemasangan pipa bawah laut membutuhkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Foto : shutterstock

 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo pada kesempatan berbeda mengatakan kalau pengelolaan ruang laut dewasa ini sudah menjadi salah satu isu penting jika berbicara tentang pembangunan kelautan dan perikanan.

Pentingnya isu pengelolaan saat ini, tidak lain karena dampak perubahan iklim sudah bergerak sedemikian jauh di bumi dan memicu terus meningkatnya tekanan pembangunan. Akibatnya, laut menjadi semakin terdorong mengalami banyak persoalan lingkungan dan sumber daya alam.

“Tanpa pengelolaan yang baik maka laut tidak akan mampu lagi menjadi sumber kehidupan,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Dia menyebutkan kalau pengelolaan kawasan konservasi laut berperan besar dan banyak dalam membantu keberlanjutan jasa ekosistem dari laut. Itu kenapa, pengelolaan laut juga menjadi patokan utama untuk bisa menjalankan kegiatan konservasi dengan baik.

Fakta tersebut membuat KKP berani mematok target luasan kawasan konservasi hingga 30 persen pada 2045 mendatang atau mencapai 97.5 juta hektar dari total luas laut Indonesia. Target tersebut dinilai masuk akal, karena 2022 kawasan konservasi perairan sudah mencapai luasan 28,9 juta ha.

Dari total capaian 2022, sebanyak 58,23 persen dari total kawasan konservasi masih dikelola minimum, kemudian 40,51 persen dikelola optimum, dan 1,27 persen kawasan dikelola berkelanjutan.

“Ini menjadi penyemangat untuk semakin mendorong akselerasi pengelolaan efektif kawasan konservasi di Indonesia,” ucap dia.

baca juga : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia

 

Ilustrasi. Pipa minyak pada sebuah kapal tanker. Foto : shutterstock

 

Bentuk lain dari pemanfaatan ruang laut adalah dengan memberikan kemudahan dan kepastian berusaha untuk pemanfaatan jenis ikan dilindungi dan/atau masuk kelompok Appendiks yang ditetapkan konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).

Penetapan Appendiks tersebut, dilakukan KKP yang bertugas sebagai pelaksana otoritas pengelola CITES sejak 2021, adalah merujuk pada tiga prinsip utama, yakni legalitas (legality), keberlanjutan (sustainability), dan ketertelusuran (traceability).

Pemanfaatan ruang laut juga diakui harus bisa memberi manfaat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui pelayanan perizinan. Layanan tersebut diterbitkan untuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Victor Gustaaf Manoppo menerangkan, untuk PNBP dari PKKPRL saat ini akan mengalami penyesuaian tarif merujuk pada hasil revisi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada KKP.

Dia mengeklaim kalau penyesuaian tarif diberlakukan sebagai bentuk keberpihakan dan upaya KKP dalam melindungi pelaku usaha kecil pengelolaan ruang laut. Itu kenapa, revisi PP 85/2021 dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha dari berbagai kalangan.

baca juga : Seperti Apa Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Nasional?

 

Kawasan Konservasi Karang Jeruk, Kabupaten Tegal. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Rasional dan Adil

Detailnya, KKP melakukan penyesuaian tarif agar tidak memberatkan pelaku usaha, melindungi pelaku usaha skala kecil, menurunkan tingkat resiko, mendukung investasi pemanfaatan ruang laut yang menetap, serta memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan ruang lokasi usaha para nelayan dan pembudi daya.

“Sehingga pemanfaatan ruang laut nantinya lebih rasional dan adil sesuai karakter kegiatan dan lokasinya,” tutur dia.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto menambahkan, tarif PNBP yang lama untuk PKKPRL ditetapkan senilai Rp18.680.000 per ha. Tarif tersebut dinilai belum rasional dan adil, baik antar kegiatan maupun antar wilayah.

Oleh karena itu, penyesuaian tarif PNBP PKKPRL yang baru diusulkan dengan mempertimbangkan perbedaan berdasarkan metode pelaksanaan kegiatan, yaitu reklamasi dan non reklamasi. Kemudian, memperhatikan juga jenis kegiatan, yaitu berusaha dan non berusaha.

Tegasnya, tarif PNBP PKKPRL senilai Rp18.680.000 yang berlaku merujuk pada PP 85/2021 dinilai belum mencerminkan prinsip keadilan bagi kegiatan dengan tingkat risiko rendah-menengah rendah. Untuk itu, diharapkan penyesuaian tarif akan ditetapkan dengan adil bagi semua pihak.

Adapun, pembahasan mengenai penyesuaian tarif sudah dibahas di sejumlah lokasi seperti Bali, Kupang (Nusa Tenggara Timur), Balikpapan (Kalimantan Timur), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Surabaya (Jawa Timur), dan Jakarta.

Tentang penyesuaian tarif PNBP PKKPRL tersebut, Kepala Sub Direktorat Penerimaan Sumber daya Alam Non Minyak dan Gas Alam Kementerian Keuangan RI Dyah Kusumawati memberikan tanggapannya belum lama ini.

Menurut dia, PNBP adalah salah satu pilar pendapatan Negara yang bisa memberikan kontribusi besar pada anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dengan melaksanakan kegiatan optimalisasi penerimaan Negara.

“PNBP PKKPRL memegang peranan penting dan strategis dalam mendukung kebijakan Pemerintah untuk pengendalian dan pengelolaan kekayaan Negara, termasuk pemanfaatan alam,” terang dia.

baca juga : Tujuh Perangkat Pengelolaan Ruang Laut Diluncurkan

 

Sebuah kapal penangkap ikan di perairan Flores, NTT. Foto : shutterstock

 

Dia mengatakan, PNBP yang terkumpul dari PKKPRL bisa digunakan kembali untuk melaksanakan kegiatan perencanaan ruang laut, pendayagunaan pesisir dan pulau-pulau kecil, penataan dan pemanfaatan jasa kelautan, perlindungan dan pemanfaatan kawasan konservasi, serta keanekaragaman hayati laut.

Namun demikian, Dyah Kusumawati tetap meminta KKP untuk bisa memanfaatkan hasil PNBP PKKPRL untuk melaksanakan perluasan kawasan konservasi perairan hingga 30 persen. Selain itu, juga dimanfaatkan untuk penataan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut, serta kegiatan pengelolaan sampah plastik di pesisir.

Diketahui, capaian PNBP yang berasal dari pengelolaan ruang laut sepanjang 2022 tercatat sebesar Rp385 miliar atau 777 persen dari target Rp50 miliar. Tahun ini, target PNBP PRL ditetapkan senilai Rp333 miliar dan sudah terkumpul Rp157 miliar per 5 Mei 2023 atau mencapai 47 persen.

Sebelumnya, Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi M Rasman Manafi menyebut kalau pengelolaan ruang laut harus dilaksanakan dengan berkelanjutan.

Dia mengungkapkan kalau proses untuk mendapatkan PKKPRL masih banyak menemui kendala yang dialami para pelaku usaha. Selain permohonan yang ditolak, ada juga kegiatan yang berjalan tanpa PKKPRL, jumlah gerai yang masih terbatas, dan masih minim sumber daya manusia, anggaran, dan kelembagaan penataan ruang laut.

“Belum lengkapnya SOP (prosedur operasional standar), detail proses pelayanan untuk berbagai skenario layanan,” urai dia.

“Kemudahan pengurusan perizinan berusaha disertai transparansi biaya dan kejelasan waktu akan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan peringkat ease of doing business Indonesia,” pungkas dia.

 

 

Exit mobile version