Mongabay.co.id

Langkah Bersama Penyelamatan DAS Serayu Dimulai, Pendekatan Ekonomi Hijau Jadi Pilihan

 

Ketika musim penghujan yang mendatangkan hujan ekstrem terjadi di kawasan dataran tinggi Dieng di wilayah antara Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng), banjir bandang kerap terjadi.

Ketika hujan, banjir memenuhi jalanan yang menuju ke Dieng. Itu terjadi karena selain curah hujan tinggi, juga wilayah penyerapan juga berkurang akibat berganti menjadi areal pertanian khususnya kentang.

Tak hanya itu, air yang membawa lumpur sebagian masuk ke daerah aliran sungai (DAS) Serayu yang memiliki hulu di daerah Dieng yang bernama Tuk Bimo Lukar. Dari hulu itulah, DAS Serayu mengalir ke wilayah Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas hingga bermuara di Laut Selatan Cilacap. Sehingga sedimentasi di DAS Serayu cukup tinggi.

Sedimen juga terangkut hingga ke Waduk Mrica di Banjarnegara yang merupakan penampungan air untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dikelola PT Indonesia Power.

Perusahaan listrik plat merah tersebut melaporkan pada tahun 2021, jika sedimentasi waduk setempat telah mencapai 83% dari daya tampung Waduk Mrica. Waduk tersebut menimbun 114,25 juta meter kubik sedimen, membuat volume airnya tersisa 17 persen. Hal itu terjadi, karena setiap tahunnya ada laju sedimentasi yang diperkirakan mencapai 4,09 juta meter kubik/tahun yang membawa tanah dari hulu Serayu dan kelerengan lahan.

baca : Restorasi Sungai Serayu Butuh Bertahun-tahun, Tak Cukup Hanya Restocking

Kawasan yang akan jadi lokasi budi daya kambing perah di kawasan Dieng. Foto : Imam B Prasodjo

 

Tentu saja, kondisi DAS Serayu yang kritis membuat prihatin berbagai pihak. Sehingga kemudian ada yang mulai menginisiasi langkah kecil untuk melakukan penyelamatan DAS Serayu. Adalah sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasodjo yang mencoba untuk menggerakkan masyarakat terutama di sekitar kawasan hulu dan DAS Serayu.

Pekan lalu, bersama masyarakat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batur yang merupakan wilayah di pegunungan Dieng, menginisiasi budi daya kambing perah. Langkah itu sebagai upaya untuk mencoba mencari alternatif pendapatan selain bertani kentang.

“Sesungguhnya masyarakat itu tahu, jika budi daya kentang berdampak pada erosi dan sedimentasi yang kemudian masuk ke DAS Serayu. Namun, masyarakat belum memiliki pilihan lainnya selain menggeluti sektor pertanian kentang,”kata Imam Senin (22/5/2023).

Imam mengatakan petani di Dieng sudah sering mendengar mengenai adanya praktik pertanian yang menimbulkan erosi. Bahkan, secara ekonomi semakin berat. Sebab, lahan kian tergerus bahkan petani harus mendatangkan pupuk dari Surabaya. Harga pestisida juga mengalami kenaikan.

“Dengan adanya perubahan iklim, curah hujan makin tinggi dan sudah jelas-jelas semakin mengancam beberapa tempat. Para petani sebetulnya tahu, tetapi masih kesulitan bagaimana mencari alternatif lain,”jelasnya.

Kesadaran dan pemahaman memang ada, namun belum tentu bisa memotivasi. “Warga sangat sadar, cuma untuk berpindah butuh bukti. Mereka tidak perlu diajari, karena yang dibutuhkan adalah bukti. Itulah yang bakal kita lakukan.”

baca juga : Pembuangan Lumpur dari Waduk Mrica ke Sungai Serayu Berdampak Luas, Ekosistem Rusak Parah

 

Proses pemerahan susu kambing. Foto : MBS Wanayasa

 

Menurut Imam, dirinya mendampingi sekelompok anak muda yang merintis untuk memberikan bukti jalan keluar dari bertani yang membahayakan lingkungan.

“Saya datang ke Dieng mendampingi anak muda yang berdialog dan kemudian memutuskan untuk merintis usaha. Lokasinya berada di sekitar pemakaman tua. Lahannya ada sekitar 12 hektare yang merupakan makam yang dikelola Yayasan Budi Mulya. Sebagian yang telah ada makamnya, tetap menjadi kepemilikan yayasan, kemudian ada yang digarap dengan menjadi tanah desa dan kepemilikan oleh Pemda,” katanya.

Imam mengatakan tanah Pemda itulah yang direncanakan sebagai tempat percontohan usaha baru berbeda dengan budi daya kentang.

“Nantinya di lokasi setempat diharapkan sebagai tempat budi daya kambing yang diperah susunya, pengolahan pakan, pembibitan tanaman. Bisa saja alpukat, kopi dan lainnya. Pengembangannya adalah pertanian organik yang mencegah erosi. Itu harus dilakukan pelan-pelan sambil menyiapkan off taker-nya,”paparnya.

Sosiolog UI itu menyatakan bahwa langkah tersebut membutuhkan kesabaran dan harus mendapat dukungan dari banyak pihak. Kebetulan saat sekarang sudah ada contoh yakni di Desa Wanayasa, Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara. Di lokasi setempat sudah ada yang melaksanakan budi daya kambing perah yang dapat mendorong penanaman pohon keras. Di antaranya adalah kaliandra, indigofera, kelor, katuk dan lainnya.

Pohon tersebut ditanam untuk diambil daunnya untuk pakan ternak kambing. Kambing yang diambil susunya tidak membutuhkan waktu lama. “Saya juga akan bawa mereka ke Wanayasa dan Mrica,”kata Imam.

baca juga : Purwaceng “Viagra of Java” Hanya Hidup di Dieng. Benarkah?

 

Budi daya kambing perah yang dilakukan oleh MBS Wanayasa, Banjarnegara. Foto : MBS Wanayasa

 

Bagaimana budi daya kambing perah yang ada di Wanayasa? “Kami awalnya berikthiar untuk mendorong adalah unit usaha untuk pondok pesantren (ponpes) atau di sini adalah Muhammadiyah Boarding School (MBS). Agar tidak hanya mengandalkan dari sumbangan wali santri semata. Karena itulah, MBS mengembangkan enterpreneur. Pilihannya adalah budi daya kambing perah,”kata Direktur MBS Wanayasa Wahyudin.

Menurutnya, usaha tersebut juga sebagai bagian dari contoh supaya masyarakat di Wanayasa yang selama ini hanya membudidayakan sayuran dan kentang untuk dapat mulai berubah.

“Ketika kami membudidayakan kambing perah, maka membutuhkan pakan ternak. Nah, pakan ternak ini harus tersedia. Untuk itulah perlu ditanam pohon seperti kaliandra, ketela karet dan indigofera. Mengapa? Karena kami juga ingin mengurangi erosi yang masuk ke DAS Serayu. Jadi budi daya kami juga mendorong perbaikan lingkungan dan penyelamatan DAS Serayu,”ungkapnya.

Wahyudin mengatakan pihaknya tidak sendiri, karena ada pendampingan dari sosiolog UI Imam B Prasodjo dan melibatkan sejumlah lembaga. Di antaranya adalah Lazismu, Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Purwokerto dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah sebagai pendamping.

“Kebetulan kami juga menjadi anggota dari Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren). Makanya, MBS juga mengembangkan dan mengajak para santri untuk belajar enterpreneur, tidak saja pelajaran utama seperti ngaji dan pengetahuan lainnya,”ujarnya.

 

Susu kambing hasil produksi MBS Wanayasa. Foto : MBS Wanayasa

 

Menurutnya, program budi daya kambing perah yang kandangnya selesai pada Februari 2023 dan kemudian pengadaan kambing. “Praktis sebetulnya, awal April kami memulai dan langsung bisa memproduksi susu kambing. Jumlahnya baru sebanyak 23 ekor. Jenisnya ada sanen sebagai pejantan, sanen peranakan etawa atau sapera serta jenis lokal jawa randu. Tetapi pada kenyataannya, susu bisa langsung panen. Panen susu kambing paling banyak pada saat setelah melahirkan,”katanya.

Karena kambing yang dibeli sudah dewasa dan baru saja melahirkan, maka masih dapat diperah susunya. Untuk 20 kambing menghasilkan 2 liter per hari. Tetapi, itu sesungguhnya sudah mengering susunya. “Tetapi nanti akan banyak pada saat kambing habis melahirkan, karena per ekor dapat mencapai 1,5 liter setiap harinya. Bahkan, dari 23 kambing yang kami budidayakan, sudah ada 17 yang bunting,”katanya.

Harga susu kambing, lanjut Wahyudin, eceran Rp30 ribu per liter. Sedangkan kalau partai besar dan bakal dijual kembali Rp25 ribu per liter. Sementara kalau untuk pabrik Rp18 ribu per liter. “Ini adalah bukti, budi daya kambing perah tidak perlu menunggu lama dan cepat sekali berkembang. Karena selain mendapatkan susu dari kambing, ternyata juga cepat mendapat anakan,”jelasnya.

Kepala Perwakilan BI Purwokerto Rony Hartawan mengatakan pihaknya mendorong praktik ekonomi hijau. Bukan saja masyarakat akan memperoleh pendapatan, tetapi lingkungan bisa terselamatkan. “Program Hebitren yang ada di MBS Wanayasa menjadi salah satu contoh bagaimana ekonomi bisa dikembangkan sejalan dengan aktivitas penyelamatan lingkungan,”tambahnya.

Wahyudin bersama MBS telah membuktikan ada langkah kecil yang telah berjalan. Dengan budi daya kambing perah, ada upaya untuk memperbaiki lingkungan. Setidaknya ikhtiar untuk mengurangi erosi yang masuk DAS Serayu.

 

Exit mobile version