Mongabay.co.id

Kala Koalisi Masyarakat Sipil Pertanyakan Kerja Satgas Evaluasi Izin

 

 

 

 

 

Kinerja Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi dipertanyakan setelah setahun berjalan. Belum ada informasi perkembangan terbaru kepada publik. Koalisi masyarakat sipil bidang lingkungan mendesak,  pemerintah transparan dalam evaluasi pencabutan izin ini.  Terlebih, ada dugaan sejumlah pelanggaran di perusahaan-perusahaan yang masuk daftar pencabutan izin.

Pada Januari 2022, Presiden Joko Widodo mencabut 2.078 izin usaha pertambangan, 192 izin sektor kehutanan dan 34.448 hektar hak guna usaha perkebunan. Ia tertuang dalam aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 1/2022.

Dalam pelaksanaannya, melalui Kepres Nomor 1/2022, pemerintah membentuk Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang diketuai Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

“Inisiatif pencabutan dan evaluasi izin yang tertuang dalam SK KLHK tak efektif menekan laju deforestasi di Papua,” kata Tigor Hutapea, Devisi Advokasi Yayasan Pusaka, saat peluncuran laporan Kegagalan Inisiatif Pencabutan Izin dan Evaluasi bagi Pemulihan Hak Rakyat dan Pemulihan Lingkungan,  Mei lalu di Jakarta.

Berdasarkan pemantauan lapangan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Walhi, Sawit Watch, Yayasan Pusaka, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Transformasi Untuk Keadilan (TuK) Indonesia, setidaknya ada delapan perusahaan izin dicabut namun masih diduga melakukan pelanggaran.

Perusahaan-perusahaan ini adalah PT Nusa Pala Nirwana di Maluku Utara, PT Tunas Hutan Pratama di Sumatera Utara, PT Teluk Mekaki Indah di Lombok Barat, dan PT Permata Nusa Mandiri di Jayapura. Lalu, PT Bintuni Agro Prima Perkasa (Papua Barat), PT Anugera Sakti Internusa  (Sorong Selatan), PT Bayan Tumbuh Lestari (Gorontalo), dan PT Inti Global Laksana di Gorontalo.

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

Dugaan pelanggaran ini antara lain, konflik dengan masyarakat, perusahaan masih beroperasi, tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, perusahaan tak beroperasi tetapi tak ada kelanjutan proses redistribusi lahan.

Hasil pemantauan citra satelit, sejak Januai 2022-April 2023, Yayasan Pusaka menemukan ada pembukaan lahan ada 943,1 hektar. Ada empat perusahaan diduga membuka luasan lahan dan semua konsesi ada dalam daftar evaluasi dan pencabutan izin konsesi. Yakni, PT Subur Karunia Jaya (352,6 hektar), PT Inti Kebun Sawit (413,8 hektar), PT Inti Kebun Sejahtera (100,9 hektar), dan PT Permata Nusa Mandiri (67 hektar).

“Studi kasus yang kami dalami salah satu perusahaan menganggap mereka melakukan pembukaan lahan karena SK KLHK tidak memiliki kekuatan hukum, dan lahan itu telah menjadi APL(alokasi penggunaan lain),” ujar Tigor.

Temuan lain, izin pelepasan kawasan hutan PMN sudah dicabut bahkan sudah terbit Surat Keputusan Hutan Adat Yano Akrua di Jayapura tetapi izin dan hak guna usaha belum.

Ada juga dua perusahaan di Riau, masih beroperasi dan izin dalam tahap evaluasi pemerintah, PT Inecda dan PT Gandahera Hendana.

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Kawasan HTI PT Indo Sukses Lestari Makmur di lanskap Gunung Duren, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, selain tanaman karet yang belum berjalan baik, juga terancam penambangan timah ilegal. Foto [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Inecda, katanya,  beroperasi ilegal dalam kawasan hutan dan lahan gambut. Gandahera,  penanaman di luar kawasan izin dan sempat mengalami kebakaran hingga 580 hektar pada 2019. Sedangkan, PT Limbah Kayu Utama di Jambi sudah tak beroperasi, dan kondisi lapangan berupa pemukiman.

“Kami harus bilang kalau inisiatif yang baik ini sudah gagal,” kata Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Dari sejumlah lahan dalam konsesi perusahaan yang masih evaluasi dan ada dugaan pelanggaran, katanya,  seharusnya terdistribusi buat masyarakat.

Uli pun menilai,  satgas yang dibentuk ini tak serius karena tidak ada kewenangan penegakan hukum. “Secara politik, satgas ini tidak diarahkan pada penegakan hukum kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran.”

Koalisi pun merekomendasikan, dalam evaluasi ada parameter penting untuk pencabutan izin, seperti konflik dengan masyarakat, kondisi lingkungan, pelanggaran HAM hingga korupsi.

Ada lima perusahaan yang diusulkan untuk evaluasi  dan cabut izin namun belum masuk dalam surat keputusan.  Perusahaan-perusahaan  itu, PT Selatan Agro Makmur Lestari, PT Wana Subur Sawit Indah, PT Setia Agrindo Lestari, PT Wirakarya Sakti, dan PT Sawit Mandiri Lestari.

Perusahaan-perusahaan itu, katanya, sudah memiliki catatan buruk terhadap konflik lahan dengan masyarakat, pencemaran lingkungan, dan dugaan pelanggaran HAM.

“Harusnya pemerintah segera memberikan pengelolaan hutan kembali kepada masyarakat untuk menghindari pengalihan hak guna kawasan dan menghindari konflk masyarakat.”

 

Dokumen: Laporan evaluasi dan pencabutan izin

Hutan terbuka untuk jalan PT PMN pada Maret 2022. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Keterbukaan informasi

Koalisi juga menilai keterbukaan informasi minim soal tindak lanjut proses evaluasi pencabutan izin ini karena pemerintah tak konsisten dalam perbaikan lingkungan dan penyelesaian konflik.

Menurut koalisi, belum ada contoh  sukses pencabutan dan evaluasi izin ini untuk perbaikan tata kelola lahan di Indonesia. Belum iagi, katanya, tidak ada kejelasan dari evaluasi terkait bagaimana proses pasca pencabutan.

“SK ini sebatas menaikkan citra saja, karena tidak ada hasil yang konkrit dan tak ada eksekusi secara langsung,” kata Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch.  Rambo juga menilai, satgas yang dibentuk hanya fokus pada nilai ekonomi.

Saat dikonfirmasi kepada Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi, tidak ada respon hingga berita ini dinaikkan.

Linda Rosalina, Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, mengatakan,  pencabutan izin ini harusnya menjadi peringatan bagi para pemberi dana dari perbankan dan investor dalam memberikan fasilitas kredit.

Berdasarkan prinsip dalam taksonomi ekonomi hijau yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan, pemerintah seharusnya bisa melakukan intervensi melalui satgas yang dibentuk agar menyesuaikan pembiayaan yang disalurkan.

”Dokumen taksonomi ekonomi hijau perlu diintervensi untuk memperingatkan perbankan dengan memberikan pembatasan pembiayaan kepada perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan.”

 

 

******

 

Exit mobile version