Mongabay.co.id

Krisis Air Bersih Hantui Pulau Wawonii Kala Tambang Nikel Mulai Beroperasi

 

 

 

Warga terkejut melihat pipa paralon di bak penampungan air bersih terputus. Dari bak yang bertuliskan ‘Pamsimas III Desa Dompo-dompo Jaya tahun Anggaran 2020’ ini mengeluarkan air keruh berwarna oranye mengandung lumpur halus. Air mengalir dan menggenangi lembah di Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra), ini pada 23 Mei lalu.

Air terus mengalir sampai ke anak sungai yang juga mengalirkan air deras berwarna oranye sampai ke muara, masuk ke laut di beberapa desa pesisir.

“(Air) sudah tidak bisa lagi digunakan,”  kata warga ketika sedang gotong royong mengeluarkan lumpur dari lantai bak yang mengendap setinggi betis orang dewasa.

Di sela-sela membersihkan lumpur, terlontar umpatan-umpatan dan serapah kepada pelaku perusakan pipa oleh ‘orang tak dikenal’.  Sejumlah desa pesisir seperti Dompo-dompo, Sukarela Jaya, dan Roko-roko,  tidak peroleh air selama dua hari walau air keruh pasca hujan deras mengguyur beberapa jam.

Mereka menduga, pelakunya oknum yang sengaja merusak pipa–memutus aliran air berlumpur ke kran-kran rumah warga. Oknum ini diduga tak ingin masalah air tercemar tersebar luas.

Lumpur yang mencemari air  sudah berlangsung lebih dua pekan, membuat masyarakat kelimpungan membagi waktu mengurus air.

La Da’a,  tumbuh besar dan menua di Desa Sukarela Jaya. Dia bilang, ‘baru sekarang’ mendapati air keruh bercampur lumpur di kampung halamannya.

Kedua kaki La Da’a bengkak, asam urat kumat, membuat dia tidak sanggup berjalan jauh memikul air dari sungai lain yang belum tercemar lumpur. Uang dari penjualan hasil kebun dia belikan tandon air. Tandon itu dia siapkan untuk menampung air hujan ketika masuk ke musim penghujan pada Juni.

 

Baca juga: Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar

Bak penampungan air bersih tercemar. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Selama beberapa hari di desa ini, saya mendapati melihat bu rumah tangga terpaksa membersihkan ikan, sayur, dan mencuci peralatan makan dengan air keruh. Air keruh ini sebelumnya mereka diamkan berjam-jam menunggu lumpur mengendap ke dasar penampungan sementara. Setiap pagi, air yang keluar dari kran di rumah berwarna orange–berlumpur campur pasir.

Serupa cerita Iksan, petani muda di Desa Roko-roko. Pada dini hari 9 Mei lalu, pasca hujan deras mengguyur selama kurang lebih dua jam, Iksan terbangun dan membasuh wajah dan berkumur dengan air kran, basuhan air itu terasa licin dan tidak segar.  “Ternyata lumpur kuning”.

Mus, tetangga Iksan, hanya bisa termangu-mangu berhari-hari memikirkan nasib kedua orangtuanya yang sakit dan perlu air bersih untuk buang air selama berada di dalam rumah.

Ibunya berumur 70 tahun, lumpuh karena menderita diabetes, dan ayahnya 95 tahun, tidak bisa banyak bergerak.

“Saya sampai pernah bilang ke ibu saya  ‘mama, kita sudah ancang-ancang mau pindah ini’”.

“Kalau meninggal saja harus pakai air,” ucap Muslimin dengan wajah sedih.

Untuk menghemat air bersih, Muslimin terpaksa memulangkan anak dan istrinya ke rumah mertua untuk sementara waktu, menunggu air kembali bersih.

Dugaan kuat muncul pencemaran air sampai ke penampungan air bersih itu dampak perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) mulai beroperasi. Perusahaan membuka jalan tambang (hauling) dan menambang nikel di gunung,

Bu Rat, ibu rumah tangga lebih paruh baya bilang, tak punya harapan air akan kembali menjadi bersih seperti sedia kala. Dia menduga sumber air tercemar sejak perusahaan mulai beroperasi membuka jalan tambang (hauling) dan menambang nikel di gunung,

“Karena kapan sudah di tambang di atas itu (gunung), kabur kami punya air,”  kata Rat.

 

Baca juga: Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang

Aliran sungai di lembah pegunungan Wawonii Tenggara tercemar lumpur. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Lumpur di sumber air

Warga memeriksa sumber mata air Banda di dalam hutan Wawonii Tenggara. Banda merupakan sumber mata air lima desa yakni Roko-roko, Dompo-dompo, Sukarela Jaya, Bahaba, dan Teporoko, Mata air Banda merupakan induk salah satu sungai yang mengalir.

Banda berada dalam gua karst yang sempit pada ketinggian 119 mdpl, ditempuh belasan menit dari penampungan air dengan pipa yang dirusak.

Mata air banda berwarna orange, tercemar lumpur. Dinding kapur gua sebelumnya berwarna putih bersih, berubah menjadi coklat permanen setelah tambang nikel beroperasi.

Makin menyusuri aliran sungai air dalam gua mendekati penampungan air, langkah kami makin berat lantaran telapak kaki terbenam di sedimen lumpur yang menumpuk di bawah permukaan air lantai gua.

Di sekitar bak penampungan air, dikepung lumpur cokelat setinggi betis orang dewasa.

“Air di sini sudah tidak digunakan lagi, tercemar sejak ada tambang,” kata seorang warga yang ikut.

Endapan lumpur mulai terlihat ketika perusahaan GKP mulai beraktivitas buka hutan untuk jalan tambang.

GKP,  merupakan anak usaha Harita Group, yang memperoleh IUP dengan luasan operasi produksi nikel seluas 850.90 hektar di Kecamatan Wawonii Tenggara, melalui Gubernur Sultra akhir 2008.

Kami juga berjalan menuju arah utara ke puncak-puncak pegunungan Wawonii Tenggara–ratusan meter lebih tinggi dari mata air di gua Banda, sementara berlangsung aktivitas penambangan nikel memangkas hutan.  Makin luas ke sekitar perkebunan cengkih pala, kacang mete, dan kelapa yang dikelola warga selama puluhan tahun.

 

Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

Air di gua karst pun keruh. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar empat tahun belakangan ini, keributan saling klaim lahan antara warga dan GKP berlangsung. Beberapa warga menjalani masa penahanan di kepolisian Sulawesi Tenggara, karena melawan untuk mempertahankan lahan yang bersengketa dengan GKP.

Sepulangnya dari pegunungan, kami turun ke area muara di desa Sukarela Jaya. Di sini, salah satu sungai deras berwarna oranye membawa material lumpur halus, bertemu mencemari sungai lain yang jernih. Pertemuan dua aliran sungai ini mendorong material lumpur hingga muntah ke laut, mencemari pesisir Wawonii Tenggara.

Lumpur menyelimuti hamparan terumbu karang yang dulu sumber tangkapan hewan laut oleh warga di kala air laut sedang surut.

Apa kata perusahaan? Alexander Lieman, Manager Strategic Communication PT GKP membantah. “Tudingan itu tidak benar,” tulisnya kepada Mongabay, saat dikonfirmasi 23 Mei.

Lieman mengaku, telah mengecek langsung di lapangan bersama pihak desa. Intensitas curah hujan sangat deras, katanya,  menjadi penyebab air keruh, tercemar lumpur.

“Keterangan yang dikumpulkan dari warga menginformasikan bahwa ‘kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Wawonii’.

Dia bilang, mereka tanggap dan respon cepat untuuk penanganan masyarakat dengan air bersih tercemar.

Respon itu , katanya, berupa bantuan air bersih ke desa terdampak menggunakan beberapa water truck dengan kapasitas ribuan liter yang akan terus mereka lakukan sampai kondisi air kembali normal.

Lieman bilang, juga lakukan pembersihan bak penampungan air warga di Desa Sukarela Jaya dan Dompo-Dompo. Lalu, pembuatan dua sumur bor dan tandon penampungan air sebagai alternatif pengganti suplai air bersih ke rumah-rumah warga agar bila hujan lebat terjadi lagi, masyarakat selalu punya sumber air lain yang tidak akan tercemar.

“Memang betul bantuan suplai air water truck dari GKP itu ada, tapi hanya diperuntukkan ke bagi warga pendukung pertambangan nikel GKP,  ucap Tayci, warga desa Roko-roko.

“Itu bukan solusi. Kami ingin air tercemar dipulihkan kembali.”

Pada 5 Juni lalu, GKP juga keluarkan rilis tak jauh beda. Mereka membantah tudingan kalau air keruh karena pertambangan nikel GKP sebagai penyebab utamanya.

Dia bilang, perusahaan sudah respon cepat dengan bikin tim untuk berikan bantuan air bersih pada desa-desa terdampak.

 

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di Wawonii. Foto: drone

 

Bagaimana pula respon Pemerintah Sulawesi Tenggara? Hasnawati, Bidang Penataan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Konkep mengatakan,  sejak Agustus 2022 GKP melakukan pertambangan di Wawonii Tenggara.

DLH, katanya,  setiap enam bulan turun mengawasi dan memantau kualitas air dan udara di lingkungan sekitar area pertambangan.

“Masih dalam standar baku mutu,” kata Hasnawati menilai yang sudah dia amati.

Untuk pencemaran yang terjadi Mei ini, katanya, DLH bersama Tim Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan turun mengambil sampel air di beberapa sungai yang keruh.  Saat Mongabay mengkonfirmasi akhir Mei lalu, dia mengaku belum memperoleh informasi mengenai hasil uji laboratorium.

Hasnawati malah berdalih, sumber air jadi keruh bukan hanya karena operasi pertambangan nikel, juga aktivitas masyarakat membuka lahan perkebunan diduga jadi salah satu penyebab.

“Itu hanya alibi mereka,” kata Andi Rahman, Direktur Walhi Sultra yang menuding GKP dan DLH mencari alasan pembenaran.

Rahman menilai ‘alibi’ itu hanya akan mempersulit masyarakat yang lingkungannya terdampak pencemaran pertambangan nikel.

Pemerintah dinilai tak bertanggung jawab, dan melakukan tindakan pembiaran–memaksakan perizinan tambang beroperasi di Wawonii dengan luasan wilayah darat di bawah 2.000 km persegi.

Pada Desember lalu, Mahkamah Agung sudah memutuskan membatalkan  RTRW Konkep yang mengakomodir pulau kecil itu untuk tambang.

Rahman pun mendesak, Pemerintah Kokep patuh pada putusan Mahkamah Agung yang membatalkan RTRW kabupaten itu  yang memberi ruang bagi usaha pertambangan nikel.

“Pemerintah harus mencabut izin GKP.”

Menurut Rahman, pemaksaan tambang masuk di Pulau Wawonii hanya untuk merebut ruang-ruang hidup masyarakat yang selama ini jadi sumber penghidupan mereka.

Dia menilai,  pemaksaan itu  akan berdampak ke masa depan anak-anak ke depan, dan hanya menguntungkan segelintir oligarki.

Dia katakan, yang terjadi di Wawonii Tenggara merupakan pelanggaran HAM berat.

 

Unjuk rasa warga yang terdampak air bersih mereka tercemar. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

***

Pada sore hari, warga berduyun-duyun ke sungai yang belum tercemar, hanya untuk mandi dan mencuci. Sebagian lain terlihat datang dan pergi pakai sepeda motor untuk memuat jerigen berisi air sungai.

Pada malam hari, suasana di pesisir Dompu-dompu berisik. Truk-truk berwarna hijau berjalan lalu lalang di dermaga jetty, berjarak ratusan meter dari pemukiman. Truk itu bergantian masuk menumpahkan muatan ore nikel ke dalam kapal tongkang. Dua eksavator yang menunggu di dalam tongkang langsung menumpuk–memadatkan ore hingga dari kejauhan terlihat menggunung.

Warga di sekitar jetty mengaku kerap sulit tidur di malam hari, terganggu polusi suara aktivitas di pelabuhan jetty. Benturan besi eskavator dengan lantai kapal tongkang melahirkan suara ngilu yang memekakan telinga.

Kata warga yang setiap malam berkumpul di luar rumah akibat terganggu kebisingan itu, aktivitas bongkar muat ore nikel GKP di jetty meningkat jadi 24 jam–pasca Mahkamah Agung membatalkan RTRW Konkep Desember 2022.

“Kita pasti akan kena dampaknya nanti,” ujar Rat.

Air tercemar, katanya, berdampak berat bagi perempuan yang bekerja di sector domestik. Mereka menyiapkan pangan di dapur, merawat anak-anak, yang semua memerlukan air.

Has, perempuan paruh baya di Dompo-dompo juga khawatir kalau-kalau kulitnya nanti terkena penyakit kulit gegara air keruh, berlumpur.

“Sekarang, dalam satu hari ada kalanya kita mandi, ada kalanya tidak.”

Dia khawatir dengan kesehatan keluarga lantaran pakai air keruh untuk mencuci olahan bahan pangan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari suami dan anak-anaknya.

Rat terpaksa harus ke sungai yang masih jernih untuk mengambil air bersih buat konsumsi. Dia pun ragu air sungai itu layak konsumsi atau tidak karena biasa dipakai untuk mandi dan buang air besar warga lain.

“Biar air begitu kita ambil, daripada kita mati, tidak ada air.”

Has, merasa serba kebingungan, harus beradaptasi dengan kerusakan sumber air mereka. “Saya kira ini tambang mensejahterakan masyarakat, ternyata merugikan.”

 

 

Hutan di pegunungan di Wawonii terkelupas untuk tambang nikel. Foto: drone/ Mongabay Indonesia

 

 

***

 

Puluhan warga perwakilan lima desa yang merasakan dampak air tercemar lumpur: Roko-roko, Dompo-dompo, Sukarela Jaya, Bahaba, dan Teporoko, beramai-ramai mendatangi Gedung DPRD, pada 29 mei lalu. Mereka berunjuk rasa memperingati Hari Anti Tambang.

Dalam orasinya, mereka mendesak DPRD menghentikan pertambangan nikel GKP, yang dituding merusak lingkungan hingga menyebabkan sumber air masyarakat di Wawonii Tenggara tercemar lumpur.

Di hadapan Ketua Komisi II DPRD Konkep, Muhammad Yacub Rahman, warga menumpahkan sampel air berwarna oranye yang dicemari lumpur.

“Masalah air (keruh) ini sudah menyalahi aturan,” kata Yacub, di hadapan warga.

Dia  juga merupakan Wakil Tim Panitia Khusus (Pansus) Revisi RTRW Konkep. Pansus dibentuk pasca MA membatalkan Perda RTRW Konkep yang memberi ruang untuk tambang.

Dia mengatakan,  sudah ada poin penutupan GKP dalam draf revisi RTRW yang akan disahkan Juni ini.

Usai menerima pengunjuk rasa, Yacub bersama warga turun langsung mengecek sumber air warga yang dicemari lumpur.

Yacob berencana melaporkan hasil temuan lapangan ini kepada Pemerintah Konkep agar segera ditindak tegas bila terbukti merusak lingkungan.

Dalam kunjungan itu, Yacub mendapati dua sumber mata air warga yakni,  mata air Banda dan bak penampung pamsimas, tercemar lumpur.

“Kedua-duanya (sumber air bersih warga) sudah tidak layak untuk dikonsumsi,” kata Yacub, saat dikonfirmasi mengenai temuan lapangan ini.

Dia bilang, karena pengolahan ore nikel di atas tidak memikirkan sumber mata air masyarakat.

Yacub berencana menindaklanjuti hasil temuan Tim Pemprov Sultra bersama Gakum KLHK yang sebelumnya turun langsung mengambil sampel. Dia ingin ambil langkah konkrit apa yang akan ditempuh menindaki hasil temuan soal pencemaran air ini.

Dari hasil tindak lanjut dan koordinasi-koordinasi, Yacub akan memanggil GKP beserta manajemennya, Dinas Pekerjaan Umum Konkep, DLH Konkep. Pertemuan ini, katanya, untuk membahas langkah apa yang terbaik bagi masyarakat di Konawe Kepulauan.

 

 

Warga mencuci peralatan makan dan perlengkapan dapur menggunakan air keruh yang tercemar lumpur. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

***

 

 

 

Exit mobile version