Mongabay.co.id

Ikan Terbang, Potensi Perairan Maluku yang Terabaikan

 

Maluku dikenal dengan propinsi seribu pulau, karena memiliki pulau-pulau kecil yang banyak jumlahnya (Amal 2016). Pulau-pulau ini terhubung dengan tiga laut yakni Laut Banda, Laut Seram dan Laut Arafura, sekaligus mewakili tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) secara berturut-turut ialah WPP 714, 715 dan 718. Luas daratan Maluku sekitar 10 persen saja, 90 persen sisanya adalah perairan laut (Pane & Suman 2019).

Perairan Maluku kaya dengan potensi sumber daya ikannya, baik ikan demersal dan ikan pelagis besar serta kecil (Tuapetel et al. 2018). Salah satu sumber daya ikan pelagis kecil yang melimpah ialah ikan terbang, Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852 (Tuapetel et al. 2017).

Ikan terbang merupakan komponen penting dalam rantai makanan, karena merupakan makanan kesukaan pelagis besar, seperti ikan tuna (Ferdiansyah & Syahailatua 2010) dan hampir semua jenis tuna merupakan primadona ekspor asal Maluku (Jati et al. 2014), seperti tuna, tongkol dan cakalang atau TTC (Luhur & Yusuf 2017).

Ikan tuna melimpah di perairan Maluku tidak dapat dipisahkan dari karakteristik perairannya yang khas karena memiliki laut dalam pada sentral perairannya (Suyadi et al. 2018).

Meskipun melimpah di perairan Maluku, ikan terbang bukan merupakan target penangkapan masyarakat karena bukan ikan konsumsi yang digemari, harga jual rendah serta banyak dijumpai pada musim timur.

baca : Telur Ikan Terbang, Devisa Terbesar dari Takalar

 

Ikan Terbang, Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852 dan telurnya yang berlimpah. Foto : Friesland Tuapetel

 

Musim timur di Maluku berlangsung sekitar empat bulan (Mei-Agustus), tetapi dengan kondisi perairan Maluku tidak bersahabat karena ombak besar, arus kuat, angin kencang dan hujan terus menerus (Waileruny et al. 2014).

Armada tangkap nelayan lokal belum dapat menyeimbangi ekstremnya perairan Maluku pada musim ini, karena umumnya kapal mereka berukuran kecil dibawah 10 GT, diantaranya purse seine, gill net dan pole and line dan biasanya pada musim ini mereka tidak melaut, kecuali nelayan huhate atau pole and line (Siahainenia et al 2017a).

Selain itu, jiwa melaut masyarakat lokal belum tertantang untuk melakukan diversifikasi usaha penangkapan, juga karena kemampuan bertahan di laut dalam waktu yang lama belum terbukti, ditambah kekayaan stok non ikan di pesisir sebagai alternatif konsumsi masih tersedia (Wawo & Uneputty 2013, Nababan & Sari 2014, Siahainenia et al. 2017b).

Semua ini membuat masyarakat terbuai dan tidak melihat potensi besar perairan Maluku yang justru dinikmati oleh nelayan andon asal Sulawesi Selatan yang mengeksploitasi telur ikan terbang tanpa batas, karena belum ada regulasi yang jelas dan tegas dari pemerintah (Tuapetel et al. 2017).

Ikan terbang memegang posisi penting dalam tropic level rantai makanan (Churnside et al. 2017), yang berfungsi sebagai penghubung produsen primer dan konsumen level selanjutnya seperti terlihat pada Gambar 2., oleh sebab itu ikan terbang khusus telurnya yang dieksploitasi terus menerus tanpa adanya regulasi untuk membatasi pemanfaatannya, maka pasti akan mempengaruhi ekosistem sumber daya ikan didalamnya.

baca juga : Istimewanya Ikan Terbang, Bisa Melayang Sejauh 200 Meter di Permukaan Air

 

Seorang perempuan tampak menjemur telur ikan terbang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan Ikan terbang

Pemanfaatan telur ikan terbang di Perairan Laut Seram (perbatasan Fak-fak, Papua Barat dan Seram Timur, Maluku) tercatat pertama kali ditemukan area fishing ground oleh Daeng Ngerang asal Galesong Takalar Sulawesi Selatan pada tahun 2001 (Tuapetel et al. 2015a). Tahun berikutnya (2002- 2007) berdatangan kapal andon secara bertahap, dengan puncak tertinggi mendekati 1.000 kapal (Suwarso et al. 2008).

Tahun 2008 meskipun upaya bertambah (≥1000 kapal), namun produksi telur ikan terbang Laut Seram sudah tidak melimpah seperti tahun-tahun sebelumnya dan diduga telah melewati titik maksimal pemanfaatan/MSY (Tuapetel et al. 2015b). Dengan demikian strategi eksploitasi yang dilakukan oleh kapal andon ini yakni berpindah dan menyebar mulai dari lintang enam sampai lintang sembilan.

Hasil wawancara dengan nelayan penangkap telur ikan terbang asal Galesong dan Takalar, Sulawesi Selatan yang dikenal dengan nama pattorani, diperoleh informasi bahwa daerah penangkapan berdasarkan lintang tersebut ialah sebagai berikut: Lintang enam (Perairan Dobo), lintang tujuh (Perairan Tanimbar Key), lintang delapan (Perairan Saumlaki) dan lintang sembilan (perairan perbatasan dengan Australia), yang kesemua daerah tersebut adalah wilayah perairan Maluku.

Potensi ikan terbang yang melimpah di perairan Maluku sesungguhnya tidak dinikmati oleh masyarakat Maluku oleh karena beberapa kendala yang telah diuraikan sebelumnya, selain keterbatasan bobot kapal, penguasaan teknis penangkapan yang minim serta kapasitas memanfaatkan telur ikan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan nelayan di Indonesia, kecuali pattorani asal Sulawesi Selatan.

Namun disisi yang lain, pattorani diibaratkan seperti petani dengan perladangan berpindah-pindah. Jika mereka sudah menduduki satu fishing ground baru, pasti mengeksploitasi secara maksimal tanpa memikirkan keberlanjutan pemanfaatan pada tahun-tahun berikutnya, kemudian berpindah mencari daerah penangkapan potensial lainnya.

Daerah perburuan telur ikan terbang berdasarkan wawancara dengan pattorani baik punggawa (pemilik modal) dan sawi (nelayan), sekarang sudah sampai pada wilayah perairan perbatasan dengan Negara Australia (lintang Sembilan).

Tentu saja ini merupakan indikator bahwa potensi telur ikan terbang sudah overeksploitasi pada wilayah perairan Indonesia khususnya Maluku, sehingga dibutuhkan langkah-langkah bijak supaya kapal andon dapat dikendalikan sehingga kedepannya stok tetap tersedia dan dapat dinikmati bersama.

baca juga : Temuan Fosil Buktikan Evolusi Ikan Terbang untuk Hindari Kejaran Predator

 

Gambar 3. Tren produksi ikan terbang Sulawesi Selatan 36 tahun (1975-2011)

 

Upaya Potensi Ikan Terbang

Lebih baik mencegah dari pada mengobati, filosofi dari penggalan kata ini mengandung makna; sebaiknya sumber daya ikan terbang khusus telur diatur penangkapannya karena jika tidak dikelola dengan tepat, maka 10 atau 15 kedepan diduga sumber daya ikan terbang di perairan Maluku akan colaps seperti yang terjadi di Selat Makassar dan Laut Flores (Gambar 3).

Maukah kita mengalami hal yang sama? Pertanyaan ini merupakan sesuatu yang serius dan harus segera disikapi. Mengingat eksploitasi telur ikan terbang di perairan Maluku sudah berlangsung hampir 20ctahun, mulai intensif dieksplotasi tahun 2002 (Tuapetel et al. 2015b).

Konservasi, rehabilitasi dan restocking merupakan upaya pemulihan sumber daya akibat eksploitasi berlebihan. Alangkah bijaknya jika sumber daya ikan terbang dimanfaatkan secara berkelanjutan dan itu harus diatur. Pemanfaatan berkelanjutan ialah mengambil secukupnya sumber daya yang dibutuhkan tanpa mengabaikan generasi berikutnya membutuhkan sumber daya yang sama.

 

 

Sumber daya ikan terbang khusus telurnya selama ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat Maluku serta terabaikan dari pengawasan pemerintah daerah. Diharapkan masyarakat Maluku mulai meliriknya karena telur ikan terbang merupakan komoditi ekspor kedua setelah udang dengan harga keringnya paling rendah Rp300.000/kilogram (Tuapetel et al 2015b).

Namun dibutuhkan kolaborasi semua pihak sehingga potensi besar ini dapat dikelola dengan baik. Belajar dari pengalaman Sulawesi Selatan yang keliru mengelola sumber daya ikan terbang sehingga produksinya menurun lebih dari 67% setelah lebih dari 30 tahun pemanfaatannya (Gambar 3).

Tren produksi ikan terbang Sulawesi Selatan itu membuktikan fakta pemanfaatan hanya mengejar target tangkapan berdasarkan harga jual di pasar, akibatnya sumber daya akan kolaps dalam jangka waktu tertentu. Pola pikir ini perlu diubah dengan membatasi jumlah kapal serta batas produksi yang diperbolehkan pada setiap kapal penangkapan.

Ide yang dapat diusulkan ialah dengan mengatur daerah penangkapan dengan sistem buka tutup (Tabel 1). Sistem ini pernah direkomendasikan oleh Bunyamin et al. (2016) untuk ikan Rastrelliger di Perairan Selat Lombok dan Salmarika et al. (2019) terkait pengelolaan ikan tongkol di Perairan Aceh.

Sesuai fakta-fakta lapangan yang telah diuraikan secara terinci diatas, maka dibutuhkan upaya mengatur potensi ikan terbang supaya dinikmati bersama selain oleh pattorani yang ahli dalam memanfaatkan telurnya juga diharapkan manfaatnya dapat dinikmati pula oleh masyarakat Maluku yang menggantungkan hidup dan masa depan keluarganya dari hasil laut.

 

Seekor ikan terbang. Foto : louisianasportsman.com

 

Beberapa upaya tersebut antara lain:

  1. Nelayan huhate, pancing tuna (long line) serta pancing tangan (hand line) yang tidak beroperasi pada musim timur, perlu dilatih untuk mendesain dan menggunakan alat tangkap ikan terbang berupa bale-bale yang ramah lingkungan dengan jumlah armada maksimal 40 unit setiap kapal.
  2. Dibuat peraturan daerah yang dikeluarkan Dinas Perikanan Kelautan (DKP) Propinsi serta Kabupaten/Kota se-Maluku, yang menyebutkan untuk setiap kapal andon yang hendak mengurus izin penangkapan diwajibkan melibatkan satu atau dua nelayan dari Maluku untuk menjadi ABK setiap kapal selama satu musim penangkapan. Hal ini sebagai sarana pelatihan dan transfer ilmu pengetahuan, pengalaman serta teknologi
  3. Sebagai pionir, direkrut nelayan muda asal Naku Pulau Ambon karena nelayan Naku telah turun temurun menangkap ikan terbang, meski hanya menangkap ikan terbang bernilai ekonomis rendah
  4. Kaum perempuan pesisir dilatih mengelola telur ikan terbang, dari membersihkan dan menjemur yang baik termasuk saat musim penghujan agar terjamin kualitas telur ikan terbang yang dapat mempengaruhi harga jual di pasar ekspor. Pelatihan ini bisa mendatangkan pengrajin telur ikan terbang dari Galesong atau mengirimkan beberapa perempuan Maluku untuk dilatih pada gudang-gudang penampungan para punggawa di Takalar
  5. Pengusaha muda asal Maluku perlu dilatih, bagaimana mencari pasar ekspor ke Jepang dan Korea serta mempelajari rantai pasok terpendek untuk menjamin mutu telur tetap terjaga. Selanjutnya mereka dapat belajar untuk membuat gudang penampungan sendiri di Maluku untuk mengolah telur ikan terbang menjadi bahan baku atau setengah jadi sebelum diekspor keluar sebagai bahan dasar industri makanan, kosmetik dan obat-obatan.
  6. Maluku perlu sigap untuk mempersiapkan sumber daya manusia dalam menyambut Lumbung Ikan Nasional (LIN). Sudah ada grand design dari DKP Propinsi yang telah dikonsultasi secara publik (9 September 2020) serta webinar Lumbung Ikan Nasioanl yang diselenggarakan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura (8 Oktober 2020).

Insya Allah, masyarakat Maluku turut dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan terbang khusus telurnya mulai dari hulu sampai hilir dengan secara benar dan berkelanjutan. (***)

 

 

*Friesland Tuapetel, Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Email: friesland.tuapetel@fpik.unpatti.ac.id

 

 

Senarai pustaka

Ali SA, Nessa MN, Djawad MI, Omar SBA. 2004. Musim dan kelimpahan ikan terbang (Exocoetidae) di Sekitar kabupaten Takalar (Laut Flores) Sulawesi Selatan. Torani, 14(3), pp. 165-172.

Ali SA. 2005. Kondisi sediaan dan keragaman populasi ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Program Studi Ilmu Pertanian. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin, Makassar, p282.

Amal MA. 2016. Kepulauan rempah-rempah. Kepustakaan Populer Gramedia.

Bunyamin B, Hadi W, Hasan OD. 2016. Analisis pengelolaan penangkapan ikan kembung lelaki (rastrelliger kanagurta) secara berkelanjutan di perairan Selat Lombok. J. Penyuluhan Perikanan dan Kelautan, 10(3), 181-191.

Churnside JH, RJ David Wells, Kevin M Boswell, John A Quinlan, Richard D Marchbanks, Brandi J McCarty, Tracey T Sutton. 2017. Surveying the distribution and abundance of flying fishes and other epipelagics in the northern Gulf of Mexico using airborne lidar, Bulletin of Marine Science, 93 (2), pp. 591-609.

Data statistik perikanan tangkap Sulawesi Selatan tahun 1975 sampai 2011. Badan Pusat statistic Sulawesi Selatan.

Ferdiansyah F, Syahailatua A. 2010. Fekunditas dan diameter telur ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Utara Bali, BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, 3 (3), pp. 191-197.

Jati AK, Nurani TW, Iskandar BH. 2014. Sistem rantai pasok tuna loin di Perairan Maluku. Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries Technology and Management, 5 (2), pp. 171-180.

Luhur ES, Yusuf R. 2017. Analisis rantai nilai ikan cakalang di Kota Ambon, Maluku, Jurnal Sosek Kelautan dan Perikanan, 12 (1), pp. 93-105.

Nababan BO, Sari YD. 2014. Identifikasi dan strategi pengembangan mata pencaharian alternative untuk kesejahteraan masyarakat di taman wisata perairan Laut Banda. Jurnal kebijakan sosek KP, 4 (1), pp. 57-75.

Nessa MN, H Sugondo, I Andarias, A Rantetondok. 1977. Studi pendahuluan terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Lontara. 13: 643-669.

Oxenford HA, Hunte W. 1999. Feeding habits of dolphinfish (Coryphaena hippurus) in the Eastern Caribbean. Scientia Mar. 63 (3-4), pp. 303-315.

Pane ARP, Suman A. 2019. Dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan kepiting bakau (Sylla serrate Forskal, 1775) di Kepulauan Aru, Maluku. BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, 11 (3), pp. 127- 136.

Parin NV. 1968. Ichthyofauna of the epipelagic zone, book IPST, 210p.

Parin NV. 1999. Exocoetidae. In: Carpenter KE and Volker HN (eds), FAO species identification guide for fishery purpose the living marine resources of Wastern Central Pacific. Vol. 4 bony fishes Part 2 (Mugilidae to Carangidae). Food and Agriculture Organization of the United Nation Rome.

Ratnawati HI, Rahmat Hidayat, Ahmad Bey, Tania June. 2016. Upwelling di Laut Banda dan pesisir Selatan Jawa serta hubungannya dengan ENSO dan IOD, Omni-Akuatika, 12 (3), pp. 119-130.

Salmarika S, Wisudo SH. 2019. Status Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tongkol di Perairan Samudera Hindia Berbasis Pendaratan Pukat Cincin di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Aceh: Suatu Pendekatan Ekosistem. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 24(4), 263-272.

Siahainenia SM, Hiariey J, Baskoro MS, Waileruny W. 2017a. Pemanfaatan optimal sumberdaya cakalang di Perairan Maluku. TRITON: Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan, 13(2), 125-134.

Siahainenia L, Tuhumury SF, Uneputty PA, Tuhumury NC. 2017b. Bentuk dan pola pemanfaatan ekosistem laguna Negeri Ihamahu, Maluku Tengah, TRITON: Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan, 13 (2), pp. 99-104.

Suwarso S, Zamroni A, Wijopriyono W. 2008. Eksploitasi sumber daya ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus, Famili Exocoetidae) di Perairan Papua Barat: Pendekatan Riset dan Pengelolaan, BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, 2 (2), pp. 83-91.

Suyadi, WN Satrioajie, A Syahailatua, Z Arifin 2018. Banda deep-sea research: History, mission and strategic plan, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 184 (1), pp. 0-13.

Tuapetel F, Nessa M Natsir, Syamsu Alam Ali, Sudirman 2015a. Distribution species composition and size of flying fish Exocoetidae in the Ceram Sea, Inter. Journal of Scientific & Technology Research, 4 (3), pp. 75-76.

Tuapetel F, Nessa M Natsir, Syamsu Alam Ali, Sudirman. 2015b. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan terbang (Exocoetidae) di Laut Seram, Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan II Universitas Hasanuddin, II (1), pp. 232-239.

Tuapetel F, Nessa M Natsir, Syamsu Alam Ali, Sudirman, Hutubessy BG, Mosse JW. 2017. Morphometric relationship, growth and condition factor of flyingfish, Hirundicthys oxycephalus during spawning season. E & ES, 89 (1), pp. 1-14.

Tuapetel F, Matrutty DDP, Waileruny W. 2018. Diversity of demersal fish resources in Ambon Island Waters. Jurnal Iktiologi Indonesia, 18 (3), pp. 223-239.

Waileruny W, Eko Sri Wiyono, Sugeng Hari Wisudo, Ari Purbayanto, Tri Wiji Nuran 2014. Monsoon and skipjack fishing ground in the Banda Sea and its surrounding Moluccas Province, Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 5 (1), pp. 41-54.

Wawo M, Uneputty Pr A. 2013. Aktivitas pemanfaatan sumber daya moluska di perairan Teluk Ambon, Jurnal Triton 9 (2), pp. 120-126.

 

Exit mobile version