Mongabay.co.id

Sagu, Sumber Pangan Sangihe, Bagaimana Kalau Ada Tambang Emas?

 

 

 

 

“Kamu mesti coba sagu bakar,” begitu kawan dari di Manado beri rekomendasi saat saya akan ke Sangihe. Sagu Sangihe, bakal memikat orang yang datang mengunjungi pulau di Sulawesi Utara ini.

Hari itu, Gusman Lamatige, ayah dua anak di Desa Bowone, ujung selatan Pulau Sangihe,  bersama istrinya, Yuditya Margareta, sedang memanggang sagu di dapur buat makan malam.

“Ayo! Masuk ke dapur. Kita lihat caranya!”

Yuditya memanggang sagu dengan wajan datar dan kompor sumbu berbahan bakar minyak tanah, satu jenis kompor populer di dapur-dapur orang Sangihe.

Ibu 30 tahun itu, mula-mula menabur tepung putih itu di permukaan wajan lalu meratakan hingga pipih. Sesekali bolak-balik sebelum digulung dan dihidangkan.

Panas api bikin sagu meleleh dan elastis seperti karet. Menebar aroma masam khas sagu ke seisi rumah.

Ah! Ini sudah, makanan pokok Orang Sangihe!” kata Gusman.

Di Sangihe, sagu bakar merupakan makanan pokok. “Wajib ada,” kata Yuditya.

Malam itu, akhir Maret 2023, kami menyantap sagu dengan sayur daun melinjo dan cakalang fufu lembut nan harum bersama sambal dabu-dabu segar. Fufu adalah metode pengasapan daging.

“Kalau makan sagu ini, lama sekali baru lapar,” kata Gusman.

“Orang Sangihe yang sudah tinggal jauh, pasti akan rindu dengan sagu bakar.”

Di Sangihe, sagu tak sekadar mengenyangkan, juga mengingatkan asal identitas mereka.

Di Sangihe, perkenalan dengan sagu mulai sejak Orang Sangihe berusia enam bulan, melalui bubur sagu dengan campuran gula pasir dan pisang manis. “Tuto, namanya,” kata Yuditya.

“Anak saya semua, waktu belajar makan pasti saya kasih itu. Saya juga dulu waktu kecil. Daripada beli bubur kemasan. Mahal. Di Sangihe kan banyak sagu.”

Apa yang dilakukan Yuditya adalah cara Orang Sangihe merawat dan menurunkan pengetahuan tradisional kepada anak-anak mereka, dan terus berlanjut bergenerasi. Sagu selalu mengingatkan mereka pada kenangan yang menyenangkan.

 

Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

Produk Karatung_Agus Mawan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Sagu baruk, tahan perubahan iklim

Sagu biasa tumbuh liar, lalu manusia mengolah dan membudidayakan lagi.  Mengenai bukti pemanfaatan sagu tertua di Asia Tenggara ditemukan dalam gua purba di Niah, bagian Serawak, Malaysia, melalui kajian pola diet para pemukim gua itu, yang berlangsung setidaknya 50.000 tahun lalu.

Sagu adalah tanaman tropis. Hidup di rawa-rawa basah dataran rendah Asia Tenggara, terutama di Wallacea, bagian timur Kepulauan Nusantara. Sagu jamak dijumpai berasal dari genus Metroxylon, seperti M. sagu dan M. rumphii. Kita mengenali melalui atap-atap rumbia atau masakan macam papeda, sinonggi, hingga kapurung.

Di Sangihe, orang mengenal dua jenis sagu, sagu duri (Metroxylon) dan yang primadona sagu baruk, kerabat aren, berasal dari genus Arenga.

“Ini juga bisa dibikin saguer,” kata Gusman. “Tuak!”

Di Sangihe, sagu baruk ditanam di kebun, bercampur dengan tanaman lain.

Sagu baruk bernama latin Arenga macrocarpa, tampak seperti aren umumnya. Sekilas menyerupai pohon pinang. Berbatang tunggal dan menjulang sampai 16 meter. Berdiameter hingga 25 cm. Ia berbunga dan berbuah dua kali selama hidupnya.

Sagu baruk membentuk rumpun dengan cengkeraman akar kuat. Ketika hujan, sagu baruk mampu menahan penghanyutan lapisan tanah permukaan dan memperkecil aliran permukaan tanah. Sifat ini jadikan tanaman ini layak buat konservasi hutan. Dalam sebulan, 5-6 anakan sagu baruk bisa tumbuh, bermunculan dari pangkal pohon.

Tak macam sagu jenis lain, baruk tidak pilih-pilih tempat. Ia bisa tumbuh di mana saja, hingga ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Bahkan,  di lahan kering dan pada lereng curam sekalipun.

Pada Agustus 2014, Kementerian Pertanian menetapkan sagu baruk sebagai varietas lokal dan unggulan di Sangihe.

Sagu baruk juga tahan perubahan iklim , musim basah maupun kekeringan. Saat kemarau panjang, sagu baruk tetap tumbuh normal ketika tanaman lain sulit berkembang.

“Sagu baruk ini sangat adaptif dengan perubahan iklim,” kata Samsared, dari Yayasan Sampiri, Organisasi non-profit di Sangihe. “Ia bisa tumbuh walaupun lagi musim kemarau panjang.”

Merawat dan menanam sagu baruk tak butuh biaya sebanyak tanaman pangan lain. Tak butuh racun atau pupuk kimia. “Hanya anakannya saja ditanam,” kata Alfret Dadoali, anak muda Ulung Peliung, kampung di kaki Gunung Sahendaruman.

“Dari buah pohon sagu baruk yang sudah bertunas bagus ditanam.”

Di Sangihe, orang-orang memanen sagu baruk saat pertama kali berbuah. Tak begitu tua, tetapi tak terlalu muda. “Biasa kalau 4-5 pohon sagu baruk, itu hasilnya 2-3 karung beras ukuran 15 kilogram,” kata Alfret.

 

Baca juga: Kala Warga Sangihe Tuntut Cabut Izin Tambang Emas dan Desak Bebaskan Robison

Tepung sagu baruk Sangihe. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

***

Sangihe adalah pulau kecil dengan bentangan pegunungan, terletak di ufuk utara Kepulauan Indonesia, berbatasan dengan tapal negara Filipina. Secara administrasi, Sangihe masuk Sulawesi Utara.

Untuk mencapai Sangihe, hanya ada dua pilihan, lewat udara dengan pesawat atau laut dengan kapal penumpang selama 10 jam.

Ketika menyeberang ke Sangihe, saya naik kapal penumpang dengan tiga dek. Di salah satu dek yang dipenuhi ranjang susun, saya menyaksikan orang-orang tidur di samping sayur, jajanan, mi instan, hingga beras. Sebagian dari mereka adalah pedagang.

Bagaimana kalau sewaktu-waktu terjadi cuaca buruk di laut dan kapal terpaksa harus berhenti beroperasi?

“Jadi, Sangihe bisa rawan pangan,” kata Samsared.

“Untuk bahan-bahan pokok, Sangihe masih bergantung dengan pasokan dari Manado. Dikirim melalui jalur kapal.”

Untuk itulah, sumber pangan yang ada di Sangihe seperti sagu mesti terjaga. Selain sagu, sumber karbohidrat di Sangihe berasal dari umbi-umbian dan beras.

Untuk luas sawah di Sangihe, hanya 104 hektar, tersebar di lima kecamatan.

Belum lagi persoalan kekeringan, kata Samsared, hampir saban tahun, Sangihe terpapar kemarau panjang.

Bagi Samsared, sagu adalah pilihan tepat menambah keragaman pangan di Sangihe hingga tak hanya bergantung pada satu jenis.

Penelitian 2012, menunjukkan, sagu baruk layak jadi pengganti beras, dengan kandungan kalori mencapai 250 per 100 gram sagu.

Pemerintah Kabupaten Sangihe menaksir, produksi sagu baruk mencapai 2.000 ton pertahun.

Pada 2017, Pemerintah Kepulauan Sangihe menerbitkan Peraturan Bupati Kepulauan Sangihe Nomor 33/2017, tentang Gerakan Dua Hari Tanpa Makan Nasi “Two Day’s No Rice.”

Program setiap Selasa dan Jumat ini bertujuan mengubah kebiasaan masyarakat dari mengonsumsi beras ke umbi-umbian dan sagu. Ketika pandemi COVID-19, sagu jadi pengganti beras yang diberikan sebagai bantuan langsung kepada masyarakat.

 

Baca juga: PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di  Sangihe

Tanaman sagu baruk. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Sagu baruk populer dan produk olahan kini tak melulu dibakar.

Sartyka Tendaunusa, dari Kelompok Lestari Karatung–kelompok perempuan di Kampung Karatung, Kecamatan Manganitu, Sangihe—mengatakan, dari sagu, mereka olah ke berbagai produk turunan.

“Kami bikin kue kering, mi, tepung,” kata Sartyka.

“Semua bahan dari sagu baruk.”

Karatung melibatkan puluhan perempuan. Mereka mulai kegiatan sejak 2014. Kelompok ini mengemas beragam produk pangan ini dengan merek dagang “Humbia.” Pesanan pun banyak, termasuk dari luar Sangihe.

Mereka juga jual tepung sagu, untuk satu kg  Rp25.000, untuk mi 200 gram Rp10.000.

Dalam satu produk Humbia, mengandung air 12,72%, abu 0,27%, protein 0,13%, lemak 0,03%, dan karbohidrat 86,86%.

 

Infografis kandungan tepung sagu baruk. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Tambang emas datang…

Pada 2021, Pemerintah Indonesia meneken kontrak persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe.

Dengan kontrak itu, TMS menguasai sekitar 42.000-an hektar, atau separuh luas daratan Pulau Sangihe, selama 33 tahun. Menyedot 80 desa, ribuan hektar kebun warga, dan Gunung Sahendaruman, satu-satunya benteng terakhir keanekaragaman hayati di Sangihe, yang menyimpan endemisitas fauna unik.

Warga Sangihe, laki-laki perempuan, tua dan muda menolak rencana tambang emas ini. Mereka menggugat perusahaan, dan sudah sampai kasasi di Mahkamah Agung (MA), berakhir kemenangan. Putusan hukum negara itu seakan belum bisa menjegal TMS untuk berhenti.

TMS adalah sebuah perusahaan dengan 70% saham dikuasai Baru Gold, perusahaan asal Kanada, yang melabel sebagai perusahaan tambang profesional dan berpengalaman. Sebanyak 30% saham dikuasai tiga perusahaan berbasis di Indonesia.

Di Bowone, penambangan emas ilegal mulai bercokol sejak tiga tahun lalu. Tanah merah, perbukitan tepi pantai terkelupas. Setidaknya puluhan usaha tambang ilegal sedang berebut emas dari bukit itu, dan mencemari pantai dengan lumpur bercampur dengan sianida.

Letak Tanah Merah,  tak jauh dari lokasi yang dicanangkan sebagai kompleks TMS.

“Kalau perusahaan kerja selama 33 tahun. Itu rusak. Sagu, semuanya. Kita tidak tahu nanti pe cucu-cece hidup bagaimana di sini,” kata  Agustinus Mananohas, warga Desa Saluran, tetangga Bowone.

“Kita di sini diajar orang tua berkebun. Tinggal di rumah kebun. Kalau mau makan tinggal petik, terus masukkan ke belanga. Habis itu kita makan,” kata lelaki 77 tahun ini.

Bagaimana keberlangsungan sagu Sangihe kalau tambang emas skala besar jadi beroperasi?

 

Hidangan sagu bakar Sangihe. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

*********

Exit mobile version