- Warga Pulau Sangihe terus menyuarakan penolakan terhadap pertambangan emas yang akan beroperasi di wilayah mereka. Awal November ini, perwakilan warga bersama Koalisi Save Sangihe Island datangi Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
- Warga Sangihe mendesak bebaskan Robison Raul, nelayan pembela lingkungan yang ditahan. Koalisi juga mendesak aparat mengusut dugaan penganiayaan yang dialami Robison dalam Lapas.
- Jull Takaliuang, dari Save Sangihe Island berharap, dari perjuangan warga menghadapi korporasi tambang emas bisa membuahkan keputusan yang berkeadilan. Penegak hukum, tidak terjebak nafsu jual beli putusan.
- Ki Bagus Hadi Kusuma, Pekampanye Nasional Jatam mengatakan pemberian izin yang menyalahi peraturan perundang-undangan ini tentu dilakukan bukan secara tidak sengaja. Dengan dalih atas nama kepastian investasi. Artinya warga Sangihe tidak lebih berarti di mata pengurus negara dibanding investasi pertambangan.
Hujan belum reda saat Agustinus Mananohas turun dari mobil dan berjalan perlahan dengan tongkat di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, 17 November lalu. Lelaki paruh bayah ini bersama puluhan warga dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Save Sangihe Island datangi Mahkamah Agung (MA) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Agustinus dan warga datang untuk menuntut pengadilan akhir bisa bersikap adil atas proses kasasi terkait izin lingkungan yang warga ajukan, dan kasasi izin operasi produksi kepada tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Di Ditjenpas Kemenkumham, warga mendesak kementerian negara ini memproses pengaduan mereka Oktober lalu soal dugaan penganiayaan terhadap Robison Saul, warga Sangihe yang kini ditahan di Lapas Kelas IIB Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara.
“Kenapa saya sekarang ada di hadapan Mahkamah Agung, karena saya khawatir, saya tidak terlalu yakin, keadilan hukum di negara kita,” kata pria 77 tahun itu yang disapa Opa ini.
Opa memegang pengeras suara dari mobil komando dengan semangat. Di depan dan sekeliling Opa ada spanduk panjang tertulis #Savesmallislands yang berarti “selamatkan pulau kecil” beserta poster-poster desakan penolakan dan pencabutan izin tambang TMS.
Walau sudah usia senja, kegigihan Opa memperjuangan ruang hidup warga Sangihe tak kendor.
Protes ini sudah dilakukan warga berulang-ulang ke kantor pemerintah daerah dan pusat. Namun, upaya-upaya itu belum membuahkan hasil.
Opa bersama Jull Takaliuang, dari Save Sangihe Island, dan dua warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, jauh-jauh melintasi laut, darat, dan udara datang ke Jakarta. Mereka tak mau ruang hidup dan masa depan anak cucu hancur oleh tambang emas, lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaat.
“Meskipun hujan, kami tetap semangat menyuarakan penyelamatan Pulau Sangihe, karena tidak bisa ditukar dengan apapun,” kata Jull.
Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas
Perjalanan sidang
Kekhawatiran dan protes warga Sangihe di Jakarta November ini jadi cermin bagaimana sulitnya mereka dapatkan keadilan.
Sebelumnya, warga menggugat izin operasi produksi TMS di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu berkaitan dengan penerbitan izin operasi produksi yang berstatus kontrak karya. Status kontrak karya TMS dinilai melanggar UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Gugatan warga tidak diterima hakim PTUN Jakarta. Mereka menyebut izin operasi produksi TMS adalah tindakan hukum perdata dan bukan kewenangan mereka. Padahal, kata Jull warga sudah proses sidang 21 kali selama lebih dari 11 bulan.
Warga lantas mengajukan banding di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta. Gugatan dikabulkan seluruhnya, dan memerintah agar izin operasi produksi TMS ditunda hingga ada putusan perkara berkekuatan hukum tetap.
Putusan ini malah bikin Arifin Tasrif, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengeluarkan izin operasi produksi gandeng TMS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sementara, soal izin lingkungan, warga juga sudah menang di PTUN Manado Juni lalu. Pada tingkat banding di PTTUN Makassar gugatan sengketa izin lingkungan itu ditolak.
Warga pun harus membawa perkara ini ke MA.
Sisi lain, warga juga mengajukan kontra memori banding di PTTUN Makassar. Ada bukti tanda terima dari panitera dan tanda tangan hakim, namun dalam putusan dinyatakan tidak pernah menerima pengajuan banding dari warga.
Di tengah putusan penundaan izin lingkungan dan izin operasi produksi, kata Jull, TMS malah tetap melakukan pekerjaan konstruksi dan mobilisasi alat-alat berat tanpa ada pencegahan dari aparat kepolisian.
“Kami sebagai masyarakat yang mencari keadilan merasa ada banyak indikasi-indikasi yang kami rasa ada janggal terkait proses-proses di pengadilan tingkat pertama,” kata Jull.
Muhamad Jamil, tim hukum warga Sangihe, curiga ada permainan mafia peradilan di setiap keputusan hakim. Mafia ini disebut selalu mencari celah di sekitar hukum bahkan di teknis-teknis peradilan.
Para mafia disebut bisa jadi menerima orderan dari pihak-pihak tertentu dengan kepentingan besar. Jadi, bukan hanya kepentingan perusahaan, mungkin ada politisi dan pejabat tinggi lain.
Jamil juga mengkritik keterlibatan Arifin Tasrif, Menteri ESDM dalam kasasi izin produksi TMS ke MA. Menurut dia, Arifin mestinya mengoreksi kebijakan dengan menerima putusan, bukan adu kuat dengan warga di depan hukum.
“Secara hukum boleh kasasi, tapi secara etika publik itu menghina akal sehat dan keinginan warga untuk selamat, hidup bertahun-tahun di pulaunya,” kata Jamil.
Baca juga: PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di Sangihe
Was-was di Mahkamah Agung
Warga Pulau Sangihe terus mencari keadilan. Kedua perkara terkait izin lingkungan dan izin operasi produksi TMS yang masuk bersamaan dipertaruhkan di Mahkamah Agung.
Jull berharap, dari perjuangan warga menghadapi korporasi tambang emas bisa membuahkan keputusan yang berkeadilan. Penegak hukum, katanya, tidak terjebak nafsu jual beli putusan.
“Kami mendesak putusan MA didasarkan pada norma hukum yang jujur, adil, menjamin keselamatan warga dan Pulau Sangihe.”
Dia berharap, MA bisa bersihkan nama mereka setelah beberapa nama hakim agung tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Kasus itu mesti jadi sinyal bagi MA untuk berhati-hati memutus perkara, termasuk pada kasus yang warga Sangihe ajukan.
Selain itu, Amir Fauzi, bekas koruptor KPK dan bekas hakim PTUN Medan kini jadi bagian dari salah satu pengacara TMS. Jull was-was, karena Amir memiliki jaringan dan punya pengaruh di lingkaran para hakim.
Simbar Kristianto, panitera muda perkara Tata Usaha Negara MA, mengatakan, warga agar percayakan proses hukum kepada pengadilan akhir. Menurut dia, keputusan hakim bersifat independen dan tidak bisa ada intervensi.
Rico Pandeirot, Senior In-house Legal Counsel TMS mengatakan, soal gugatan kasasi di MA, perusahaan telah mengikuti semua persyaratan saat mengajukan izin peningkatan operasi kepada KESDM. Termasuk izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dikeluarkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sulawesi Utara.
“Semua yang disyaratkan dalam checklist telah dipenuhi. Yang terutama adalah rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Utara yang dikeluarkan setelah memenuhi Permen LHK Nomor 8 Tahun 2013,” kata Rudy melalui keterangan tertulis kepada Mongabay, 23 November lalu.
Permen LHK itu soal tata laksana penilaian dan pemeriksanaan dokumen lingkungan hidup serta penerbitan izin lingkungan.
Baca juga: Kala PTUN Putuskan Cabut Izin Lingkungan, Perusahaan Tetap Melaju, Warga Sangihe Terus Menolak
Menurut Rico, sebelum rekomendasi amdal DLH keluar, sudah sosialisasi publik di Desa Bowone, Tabukan Selatan Tengah dan Desa Binebase, Tabukan Selatan, 7 Oktober 2017.
Sementara, untuk Komisi Penilai Amdal terdiri dari para tenaga ahli dan teknis. Dalam rapat juga, katanya, pemerintah, warga di sekitar tambang termasuk Walhi Sulawesi Utara juga hadir dalam pembahasan.
Rudy Riady, Senior Manager External Relation & Land Compensation TMS, mengklaim perusahaan sah beroperasi di lahan seluas 42.000 hektar sesuai kontrak karya. Yang digugat di MA saat ini izin peningkatan izin operasi di area 65 hektar.
Dia bilang, yang harusnya menjadi perhatian adalah aktivitas tambang emas ilegal atau pertambangan emas tanpa izin yang mudah memasukkan alat berat dan beroperasi di area 65 hektar yang masuk konsesi TMS. Aktivitas itu, kata Rudy, nyata merusak lingkungan.
“Sampai saat ini Save Sangihe Island yang mengaku menjaga Sangihe tidak protes dengan tambang emas tanpa izin dan tidak pernah menghalangi alat beratnya.”
Dia berdalih, kalau yang aksi penolakan bukanlah pemilik lahan hingga tak bisa dikatakan mewakili masyarakat Sangihe. Sebagai perusahaan legal, klaim Rudy, TMS sadar dengan konsekuensi hukum yang menanti apabila ada aktivitas yang ternyata tidak sesuai peraturan.
Apa yang Rudy sampaikan soal penolakan tambang kebalikan dengan petisi yang Koalisi Save Sangihe Island bikin. Jull mengatakan, sudah hampir 200.000 orang yang menadatangani petisi penolakan tambang emas itu dan sebagian besar warga Sangihe.
“Naif kalau tidak mewakili orang Sangihe. Sebanyak 150.000 orang telah mendatangani petisi. Orang Sangihe menolak, yang mendukung hanya warga yang menjual lahan, itu tidak mewakili ratusan ribu warga,” kata Jull.
Dia bilang, naif kalau berpikir segelintir orang yang menjual tanah itu mewakili seluruh orang Sangihe.
Tambang ilegal
Di tengah warga berjuang melawan izin tambang kontrak karya TMS, ada lagi pertambangan emas ilegal yang membongkar kekayaan alam dan merusak lingkungan hidup di Sangihe. Koalisi SII mengatakan, ada aktor di balik cukong-cukong tambang ilegal yang mereka sebut Sembilan Naga.
Tambang ini, katanya, terang-terangan memamerkan kekebalan hukum merusak lingkungan di Sangihe. Dalam siaran pers mereka menyebut, ada belasan alat berat (eksavator) beroperasi mengobrak-abrik Pulau Sangihe.
“Lebih buruk lagi terlihat jelas ada oknum aparat penegak hukum mengawal dan memfasilitasi kegiatan melanggar hukum itu yang mengorbankan banyak rakyat tak berdosa,” katanya.
Bebaskan Robison
Robison Saul, nelayan Sangihe penolak tambang emas pada 14 Juni lalu baru pulang melaut langsung bergabung dengan warga yang tengah menghadang mobilisasi alat berat TMS masuk ke lokasi tambang. Jull bilang, penolakan kedatangan alat berat itu karena warga tak mau perusahaan beroperasi di tanah Sangihe.
Robison ketika itu membawa alat pancing dan di pinggang terikat sebilah parang lengkap dalam sarung. Dia sama sekali tak menghunus atau melakukan gerakan apapun kecuali ikut menghadang alat berat. Polisi yang mengawal alat berat menyita barang bawaan warga berupa benda tajam, salah satunya milik Robinson.
Parang di pinggang Robison justru dibuka seorang polisi dan aparat pun menuduh senjata tajam itu akan digunakan menusuk orang. Padahal, kata Jull, benda tajam itu biasa warga Sangihe gunakan untuk bekerja. Orang Sangihe punya tradisi membawa besi putih, antara lain parang.
Koalisi SSI mengecam kriminalisasi Robison, Kini, dia berada di Lapas II B Tahuna, Sulawesi Utara. Robison seorang yang gigih menolak tambang emas TMS, diduga disiksa dan dianiaya beberapa petugas.
Adhitiya Augusta Triputra, tim hukum Koalisi SSI mengatakan, penasehat hukum mula-mula kesulitan bertemu Robison sejak ditahan Juni lalu. Lima bulan setelah itu, tepatnya 12 Oktober baru bisa ditemui tim kuasa hukum.
Pertemuan itu juga menguak kalau Robison diduga alami penyiksaan dan penganiayaan oleh sipir berinisial AJ. Adhitiya bilang, mereka bertemu lagi Robison pada 29 Oktober dan cerita alami penyiksaan tiga sipir inisial AJ, E, dan R.
Adhitiya paparkan dugaan penganiayaan di dalam lapas berdasarkan keterangan Robison. Dia ditendang kaki ketika tidur, ditendang dada hingga sesak dan pingsan dengan kondisi tangan diborgol, dan kepala terbentur di kloset.
Robison juga diminta berjalan jongkok dengan tangan terborgol, sembari telanjang mengelilingi lapangan, dan push up tangan terborgol.
Koalisi SSI dan istri Robison sudah melaporkan dugaan penganiayaan ini kepada polisi. Hasil visum untuk melihat bekas kekerasan selama di lapas juga sudah keluar minggu lalu dan ada di tangan polisi.
Dari cerita Jull, benda tajam yang dibawa jadi alat bukti polisi menjerat Robison dengan Undang-undang Darurat Nomor 12/1951.
Adhitiya bilang, UU itu tak punya dasar legitimasi karena dalam konsideran di Pasal 96, 102 dan 142 UUD 1945 disebut sudah dicabut seluruhnya dalam ketatanegaraan Indonesia.
Jamil, pengacara Koalisi SSI mengatakan, seolah-olah negara dalam keadaan darurat dan fungsi pemerintahan sedang terancam hingga UU Darurat perlu bangkit lagi dari kubur.
Koalisi SSI menyebut, penangkapan pembela lingkungan di Sangihe itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945.
“Kasus Robison ini jelas diada-adakan. Dicari-cari kesalahannya, dan bentuk intimidasi, kriminalisasi.”
Secara tak langsung, katanya, juga mengintimidasi warga lain ketika pada aksi 17 Agustus ada 14 warga dari Kampung Bowone dipanggil kepolisian.
Koalisi SSI menyebut, pelanggaran hukum TMS dan Sembilan Naga di konsesi tambang tidak ditindak, tetapi rakyat yang protes tambang justru ditangkap dan ditahan serta dituduh sebagai pelaku kriminal.
“Padahal, perbuatan itu tidak ada ketentuan pidananya dalam KUHP.”
Indra Sofian, Koordinator Subdirektorat Kepatuhan Internal dan Evaluasi Ditjenpas, mengatakan, akan menghubungi petugas di Lapas Tahuna yang bertanggung jawab atas laporan penyiksaan Robison.
Dia bilang akan berkoordinasi dengan kantor wilayah (Kanwil) Kemenkumham Sulut.
“Kami akan klarifikasikan ini. Semua masukan dari kawan-kawan juga akan kami tampung,” katanya, saat bertemu massa aksi Koalisi SSI di depan Kantor Ditjenpas.
Indra keluar setelah sebelumnya bikin pertemuan tertutup dengan beberapa perwakilan Koalisi SSI.
Walau begitu, laporan dari Koalisi SSI terkait penganiayaan dan penyiksaan Robison sudah hampir sebulan di tangan Ditjen Pemasyarakatan dan belum ada respon positif terkait aduan itu.
Sisi lain, akan ada tim penelusuran yang dibentuk Ditjenpas untuk menginvestigasi kasus kriminalisasi Robison. Sayangnya, kata Adhitiya, tim hukum dan istri Robison tidak dilibatkan.
***
Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut, Arifin Tasrif, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi aktor di balik pemberian izin konsesi kepada TMS seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah Pulau Sangihe. Izin keluar kepada perusahaan tambang emas ini dari Januari 2021-Januari 2054.
Tambang emas asal Kanada ini akan mengeruk sumber daya alam di Pulau Sangihe selama 33 tahun atau lebih dari tiga dekade. Pemilik saham TMS 70% milik Sangihe Gold Corporation asal Kanada. Sisanya, perusahaan dalam negeri seperti PT Sungai Belayan Sejati 10%, PT Sangihe Prima Mineral 11%, dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%.
Padahal, Pulau Sangihe termasuk pulau kecil di Indonesia yang berbatasan dengan Filipina, luas hanya 763,98 km2. Dalam Perda Tata Ruang Kepulauan Sangihe, pulau kecil ini berada di daerah rawan bencana letusan Gunung Awu, letusan gunung bawah laut Banua Wuhu.
Ada lebih dari 50.000 jiwa di tujuh kecamatan dan 80 kampung akan menanggung beban dan risiko kerusakan lingkungan akibat operasi pertambangan. Termasuk hutan lindung dan sekitar 3,5 hektar mangrove di Teluk Binebase juga terancam.
Ki Bagus Hadi Kusuma, Pekampanye Nasional Jatam menilai, penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi TMS cacat hukum sejak awal karena masih mengacu pada kontrak karya yang tak lagi sah secara hukum.
IUP kontrak karya itu disebut tak sesuai UU No 4/2009 Jo UU No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Izin ini juga bertentangan dengan UU No.7/2007 Jo. UU No 1/2014 tentang WP3K yang melarang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk pertambangan.
Menurut Bagus, pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakter berbeda dan kerentanan wilayah lebih tinggi ketika bentang alam hancur.
“Pemberian izin yang menyalahi peraturan perundang-undangan ini tentu bukan tidak sengaja. Dengan dalih atas nama kepastian investasi. Artinya, warga Sangihe tidak lebih berarti di mata pengurus negara dibanding investasi pertambangan,” kata Bagus.
Jamil mengatakan, saat ini mestinya tidak ada lagi tambang di pulau-pulau kecil, namun Pemerintahan Joko Widodo tak serius terhadap penyelamatan pulau kecil seperti Sangihe.
Sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP27 di Mesir dan KTT G20 di Bali, pemerintah dorong dan bahas salah satu soal transisi energi dan perubahan iklim.
“Kami sangat menyayangkan dan tidak melihat komitmen pemerintah bicara soal perubahan iklim. Kenapa? Karena sampai hari ini tambang di pulau-pulau kecil masih dibiarkan ada,” kata Jamil.
Kalau memang pemerintah percaya terhadap perubahan iklim, katanya, tambang di pulau-pulau kecil yang paling pertama dihapus. Ketika krisis iklim, pulau kecillah yang akan menerima dampak pertama.
“Ekonomi apa yang bisa tumbuh, transisi energi apa yang ingin diciptakan di lingkungan dan alam yang seluruhnya rusak?”
Bagus mendesak, seluruh aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe, baik berizin maupun tak berizin harus segera dihentikan.
Opa tahu dalam aturan negara, pesisir dan pulau-pulau kecil tidak untuk tambang. Di Sangihe, ada yang janggal. Opa curiga ada permainan di balik izin TMS ini.
“Kalaupun Sangihe biarkan ditambang, dipastikan akan tenggelam,” kata Opa, khawatir.
Opa dan warga Sangihe tak pernah menyangka, pemerintah akan memberikan izin kepada TMS untuk menambang di kepulauan sekecil Sangihe.
Bila perusahaan dibiarkan menambang, berarti ruang hidup dan masa depan warga akan hancur. Orang Sangihe, katanya, bisa lenyap.
“Ini bukan hanya pulau yang dihancurkan, tetapi termasuk etnis Sangihe. Sangihe bukan pulau kosong, di sana itu ada manusia, yang punya hak untuk hidup.”
Bagi Opa, Pulau Sangihe adalah jantung kehidupan Orang Sanger, suku asli pulau itu.
“Sumber pangan warga dari perkebunan dan laut, hasil alam melimpah dan terdapat keanekaragaman spesies yang tak mungkin terganti tambang emas TMS.”
********