Mongabay.co.id

Apa Kabar Audit Industri Sawit Indonesia?

 

 

 

 

Sejak tahun lalu, Pemerintah Indonesia melakukan audit industri sawit tetapi dalam proses maupun hasil tak transparan. Karut marut tata kelola sawit di negeri ini menimbulkan banyak ruang gelap dan rawan ciptakan beragam persoalan, termasuk jadi pemicu korupsi.

Belum lama ini saat ke Batam, Kepulauan Riau,  Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia menyinggung sedikit soal hasil audit tata kelola sawit. Dia bilang kaget, ternyata total lahan sawit di Indonesia itu 20,4 juta hektar, bukanlah 14 jutaan hektar seperti data resmi pemerintah.

“Setelah kita audit ternyata 20,4 juta hektar,” kata Luhut saat memberikan kata sambutan dalam peresmian perusahaan daur ulang sampah di Batam.

Tidak hanya itu, katanya, dari total luasan itu, hanya 7,5 juta hektar yang membayar pajak. “Mudah-mudahan 7,5 juta hektare itu benar (membayar pajak),” katanya.

Negara Indonesia memang kaya sumber daya alam, kata Luhut, tetapi tak terkelola dengan baik.

 

 

Tak transparan

Luhut sampaikan informasi soal audit sepotong-sepotong  tetapi dalam proses dan hasil audit  industri sawit itu belum ada penyampaian resmi kepada publik.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan, data yang disampaikan Luhut mengejutkan sekaligus menggelikan. Pasalnya, pemerintah sudah lama menyusun data satu peta atau dikenal dengan one map policy, tetapi data tata kelola sawit tetap belum valid.

“Pak Luhut harus menjelaskan kepada publik detail data itu. Karena data itu masih ambigu, misal, soal pajak yang dibayarkan, pajak apa yang dimaksud? Begitu juga soal luasan, apakah luasan tutupan hutan atau izin yang sudah dikeluarkan?”

Kalau yang dimaksud Luhut 20 juta hektar itu tutupan kebun sawit, katanya, jadi sesuatu yang mencengangkan karena data pemerintah pada 2019 izin kebun sawit 16 juta hektar lebih. “Berarti ada peningkatan ekspansi (luasan tutupan sawit) 4 juta hektar,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Selama ini,  kata Arie, pemerintah tak berani membuka data sawit kepada publik. Bahkan beberapa kasus hak guna usaha (HGU) sawit yang ditangani Greenpeace sudah sampai ke pengadilan juga tak berani dibuka pemerintah. Tidak hanya data luasan sawit, juga pemilik perkebunan sawit itu harus disampaikan terbuka ke publik.

Terkait pajak, kata Arie, tergantung kepada penegakan hukum, terutama mengenai kebun sawit di kawasan hutan.

Namun, dia pesimistis soal penegakan hukum terlebih sudah ada UU Cipta Kerja—yang dipertahankan lewat Perppu Cipta Kerja—yang memberikan peluang ‘pemutihan’ pada kebun-kebun sawit ilegal di Kawasan hutan. Kalau pun tindakan pemerintah dengan mendahulukan sanksi administrasi.

“Maka sejak awal, kami menolak penggunaan UU Cipta Kerja, karena sanksi pidana hilang, cukup bayar denda. Transparansi pengelolaan denda juga tidak jelas, kebocoran dana denda itu juga berpotensi,” katanya.

Selama ini,  data perkebunan sawit tak jelas alias simpang siur, baik di Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, dan lain-lain. “Semua beda-beda, seharusnya di fasilitasi one map policy, semua data ditarik dan dikumpulkan. Tetapi bagaimana mau dikumpulkan, tidak pernah terbuka, data ekspor saja pemerintah tidak punya, yang punya GPKI, yang punya korporasi.”

Menurut Arie, tak hanya keterbukaan data kepada publik, juga menyajian data akurat untuk pengambilan kebijakan tepat dan benar. “Ketika data salah ya kebijakan juga ikut salah.”

 

Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Audit Perusahaan Sawit

Seorang pekerja sedang menebang kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan lindung di KEL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, juga mempertanyakan pernyataan Luhut, apakah 20 juta hektar itu luasan tutupan sawit atau luas izin sawit yang sudah keluar. “Kalau luas sawit berdasarkan perizinan data kami bahkan lebih 26 juta hektar,” katanya.

Sebenarnya,  kata Rambo, Luhut sudah berjanji membuka ke publik data tata kelola sawit ini, tetapi sampai sekarang belum dilakukan. “Apakah laporan ke publik yang dimaksud ngomong gitu aja, luasan sawit 20 juta hektar, yang baru bayar pajak 7 juta hektar, apakah seperti itu saja?”

Data, katanya,  sangat penting untuk memperbaiki tata kelola sawit.  Tidak hanya keterbukaan informasi data hasil audit, katanya, juga sejak awal membuka tim audit, perencanaan dan metode harus disampaikan kepada publik. “Sekarang kita tidak tau, metodenya seperti apa,” katanya.

Dia juga mengingatkan soal Inpres Moratorium Izin Sawit, yang mengamanatkan evaluasi perizinan, juga belum ada informasi hasil ke publik.

“Sampai sekarang, masyarakat tak mengetahui hasil Inpres Moratorium Sawit. Seharusnya,  jika laporan moratorium sawit itu benar-benar ada, tim audit Pak Luhut ini bisa menggunakan data itu, tidak perlu kerja dua kali.”

 

Dokumen:  Temuan  Transparancy International Indonesia

Hutan hancur jadi kebun sawit di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karo-karo/ Mongabay Indonesia

 

Peluang korupsi

Modus tidak jelasnya data tata kelola sawit ini sebenarnya untuk menciptakan peluang kongkalikong antar pihak yang berkepentingan. “Menarik kalau audit sawit jadi momentum buka data,” kata Rambo.

Salah satu ruang yang harus dibuka oleh perusahaan, katanya,  adalah ihwal pemilik manfaat (beneficial ownership/BO) di sektor sawit dan mantan birokrat maupun aparat yang duduk di kursi komisaris atau manajemen perusahaan sawit. Sosok-sosok yang memiliki pengaruh ini biasa bisa menimbulkan konflik kepentingan yang berujung praktik korupsi.

“Sudah bukan cerita baru lagi kalau orang dengan koneksi ini bisa memberikan pengaruh dan membantu perusahaan saat bermasalah,” ucap Rambo.

Senada dikatakan Syahrul Fitra, Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia. Dia mengatakan, membuka BO dari perusahaan sawit merupakan keharusan, sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Selain itu, membuka BO pun bisa menjadi satu cara melihat sosok yang mengendalikan arah perusahaan. “Misal, perusahaan ada kasus kebakaran atau pencemaran, dengan tahu siapa BO-nya, maka penegak hukum bisa lebih mudah untuk telusuri aset-aset mereka,” kata Syahrul.

Sayangnya, tidak semua perusahaan membeberkan BO mereka dengan jelas. Beberapa bahkan menuliskan nama-nama yang sebenarnya tidak memiliki kuasa kuat di perusahaan.

“Di nasional, kebijakan kita sudah mengarah pada pembukaan BO. Sekarang kita dorong audit sawit ini juga melakukan hal yang sama,” kata Syahrul.

Kalau tak terbuka, kata Arie, menciptakan  peluang negosiasi dalam data yang abu-abu. “Jadi mempermudah kongkalikong dengan data-data yang tidak valid. Data tidak transparan sangat mudah digunakan pihak berkepentingan dan orang yang mencari keuntungan,” katanya.

Siapa yang diuntungkan? Kata Arie, jelas korporasi dan elit politik yang sering disebut sebagai oligarki. “Mereka tidak mau membawa data menjadi terang.”

Padahal, katanya, ketika prinsip tata kelola baik termasuk data yang benar, membuat investasi jadi kredibel. “Pemain perusahaan yang ingin menyembunyikan itu, mereka sengaja mencari keuntungan, untuk melancarkan itu mereka bekerjasama dengan elit politik, termasuk partai, orang-orang pemerintahan.”

Ketidakberesan data tata kelola sawit ini berdampak kepada petani sawit plasma dan swadaya. Sampai sekarang data plasma pun tidak jelas. “Bagaimana petani mau jadi pemain utama dalam industri sawit, karena data plasma saja tidak pernah benar,” kata Arie.

Greenpeace, katanya, sudah melaporkan ketidaktransparan pemerintah ini sebagai pidana informasi tetapi tidak lanjut. Kondisi ini, katanya,  bagian state capture corruption,  dimana pejabat pemerintah dan korporasi menggunakan kewenangan mereka untuk mengubah kebijakan demi kepentingan mereka.

Bagi Rambo, pemerintah tak serius dalam memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia, terutama miskin implementasi. Contoh, standar wajib sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO) saja, sampai sekarang tak sampai 50%.

Ketidakseriusan pemerintah, katanya, terlihat dari ketidakmampuan Indonesia menentukan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) meskipun sebagai produsen nomer satu dunia. Malahan, harga CPO ditentukan Malaysia dan Belanda. “Kalau saya menyimpulkan, seperti raja linglung, punya sawit luas, tidak punya pengaruh kuat,” katanya.

 

Indonesia nomer satu produsen sawit dunia, dengan tata kelola buruk. Pembenahan mulai Pemerintah Indonesia lakukan, tetapi banyak kalangan keluhkan transparansi minim. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Temuan TII: rawan korupsi

Sejalan dengan laporan Transparancy International Indonesia (TII) belum lama ini memperlihatkan sektor sawit di Indonesia dinilai masih banyak celah korupsi.

Dalam kajian TII bertajuk Transparency in Corporate Reporting (TRAC) menelisik sekitar 50 perusahaan sawit dan beri skor rata-rata 3.5 dari maksimal 10. Artinya, perusahaan-perusahaan sawit tak cukup baik dalam mengungkapkan transparansi kegiatan perusahaan.

Satu faktor yang harus dapat perhatian khusus adalah politically-exposed persons (PEPs) yang tinggi pada jajaran direksi dan komisaris perusahaan sawit. Dari 50 perusahaan sawit, 33 memiliki direksi dan komisaris tergolong PEPs, sekitar 80 orang.

Menurut laporan TII, orang yang sedang atau pernah memiliki kewenangan publik dalam struktur perusahaan bisa membuka lebar peluang praktik korupsi, pencucian uang, maupun konflik kepentingan.

PEPs pun bisa jadi indikator peringatan (red flag) bagi tindakan korupsi ataupun perdagangan perngaruh dalam operasi bisnis dan hubungannya dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Sekitar 80 PEPs dicatat TII memiliki latar belakang beragam,  19 orang birokrat, 19 pernah atau sedang memiliki jabatan strategis, dan 15 orang dekat atau kerabat PEPs. Lalu, tujuh orang berlatar belakang militer, tujuh orang merupakan dan, atau terafiliasi oligarki, dan 13 orang aparat penegak hukum.

“Mungkin tidak selalu berkonotasi negatif. Tapi perlu pengawasan ekstra, karena sarat konflik kepentingan dan pengaruh,” kata Belicia Angelica, peneliti utama riset ini saat Diseminasi & Diskusi Publik Hasil Penelitian 50 Perusahaan Sawit yang dihelat di Jakarta, belum lama ini.

PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) dan PT Multi Agro Gemilang Plantation (MAGP) jadi perusahaan PEPs  terbanyak, masing-masing enam orang. PEPs dalam struktur SMART merupakan dua oligarki, dua birokrat, satu pemegang jabatan strategis serta satu polisi.

Sedangkan PEPs dalam struktur MAGP diisi dua polisi, tiga pemegang jabatan strategis dan satu orang dekat.

Laporan TII khusus menggarisbawahi pentingnya memberi perhatian khusus terhadap PEPs yang memiliki latar belakang polisi. Pasalnya, penanganan konflik agraria yang melibatkan perusahaan dengan PEPs dari kepolisian berpotensi bias.

 

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

TI Indonesia memberikan contoh konflik yang terjadi antara PT Primata Kreasimas yang merupakan anak perusahaan PT SMART denga Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi pada 2021. Kriminalisasi terhadap SAD menjadi rentan karena polisi tidak independen dalam melakukan proses hukum.

Kehadiran PEPs juga erat kaitan dengan fenomena revolving door (keluar-masuk pintu). Kondisi ini,  terjadi ketika ada perpindahan jabatan seseorang dari sektor publik, baik eksekutif, yudikatif ataupun legislatif ke sektor swasta atau sebaliknya.

Dalam catatan TI Indonesia, fenomena ini memiliki dua pola yang mengundang praktik korupsi. Pertama, adalah kemungkinan terjadinya post-public employment, situasi saat pejabat publik yang berencana pensiun memiliki kemungkinan menerbitkan kebijakan yang menguntungkan calon perusahaan yang akan merekrutnya ketika pensiun. Pejabat ini pun akan pakai koneksi yang dia miliki untuk menguntungkan perusahaan yang merekrutnya.

Kedua, merupakan pre-employment, yang merupakan situasi saat seseorang yang memiliki latar belakang dari perusahaan atau asosiasi bisnis jadi pejabat publik. Individu itu cenderung akan memiliki pandangan bias dalam penyusunan kebijakan dan cenderung pro-kebijakan yang menguntungkan perusahaan namun merugikan masyarakat.

“Temuan kami, rangkap jabatan sangat lumrah di perusahaan sawit di Indonesia,” kata Belicia.

Fenomena ini sudah diperhatikan dengan serius secara global. Untuk mencegah hal ini, biasa perusahan memiliki aturan khusus dalam bentuk aturan masa jeda (cooling-off period). Ia membuat pejabat publik tak bisa langsung menjabat di sektor swasta selepas pensiun begitupun sebaliknya.

Namun, dalam kajian TII, tidak ada kebijakan revolving door atau cooling-off period pada 50 perusahaan sawit yang jadi subyek penelitian mereka.

“Kondisi ini kalau tidak dibenahi akan berbahaya,” ucap J Danang Widoyoko, Sekjen TII.

 

Kebakaran di lahan gambut Rawa Tripa ini berlokasi di areal konsesi PT. Gelora Sawita Makmur.

 

Pengawasan bersama

Luluk Nur Hamidah,  anggota Komisi IV DPR yang hadir dalam kesempatan sama menyebut, tak bisa melarang bekas pejabat negara menjabat di sektor privat. Namun, kata Luluk, seharusnya praktik ini bisa didorong untuk menciptakan iklim usaha bersih asalkan pejabat mengedepankan etika.

“Kalau memang dia menjadi pejabat di sektor swasta, seharusnya pakai pengalamannya untuk memberikan value yang bermakna,” katanya.

Yang salah,  katanya, menggunakan pengalaman dan posisi untuk memengaruhi kebijakan di pemerintah dan menguntungkan perusahaan tempat menjabat saat ini.

Untuk itu, dia pun meminta perusahaan transparan dan menyatakan dengan jelas maksud merekrut mantan birokrat di perusahaan mereka.

Hal ini, katanya,  akan memudahkan masyarat kontrol terhadap penyelenggaraan bisnis dan keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah.

“Karena kita boleh dong mewaspadai orang-orang tertentu yang direkrut oleh perusahaan. Jadi kita bisa tahu kira-kira apa tujuan mereka,” kata anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Sudah pasti,  katanya, ada maksud khusus perusahaan merekrut mantan birokrat. Apalagi, kalau yang bersangkutan dari kementerian teknis yang berhubungan langsung dengan perusahaan itu.

Dia pun mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaruh perhatian terhadap persoalan ini. Menurut dia, KPK bisa memainkan peran sebagai pengawas konflik kepentingan yang kemugkinan terjadi ini.

Roro Wide dari Direktorat Antikorupsi Badan Usaha KPK menyebut,  KPK sudah mulai giat sosialisasi pencegahan korupsi ke korporasi. Bahkan, KPK mencoba memperkenalkan cooling-off period untuk mencegah birokrat langsung menjabat di ranah privat selepas pensiun.

“Kami sudah mau terapkan secara internal dan coba ke kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah,” kata Roro.

Dengan demikian,  katanya, tidak menutup kemungkinan akan ada aturan baku terkait cooling-off period. “Harusnya memang diatur, apalagi kalau ada indikasi untuk masuk ke dalam perusahaan yang diatur oleh kementerian teknisnya.”

 

Petani sawit di Kubu Raya, kalbar cerita soal hasil panen sawit makin menyusut karena tanaman sudah tua. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Soroti BPDPKS

Keberadaan PEPs yang cukup besar dalam sektor sawit tidak dibarengi dengan regulasi praktik lobbying yang bertanggung jawab. Dalam kajian TII, 41 dari 50 perusahaan tak memiliki kebijakan atau prosedur perusahaan yang berkaitan dengan ini.

Padahal, negara seperti Amerika Serikat, Prancis, Australia hingga Kanada mengatur ini. Karena lobi bias memengaruhi prose pengambilan keputusan yang dapat melibatkan kebijakan publik.

TII memberikan contoh nyata dalam sosok Master Parulian Tumanggor,  salah satu komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia juga Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia. Master disebut  TII kerap ikut menentukan keputusan-keputusan penting Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Salah satu keputusan yang menguntungkan Wilmar dan Master adalah 80% dari Rp139 triliun dana di BPDPKS lari ke biodiesel. Penikmat terbesarnya PT Wilmar Nabati Indonesia.  Berdasarkan catatan KPK yang dilansir TII, praktik ini merugikan negara hingga Rp4,2 triliun per tahun.

Terkait temuan ini, Luluk pun menyebut seharusnya ada audit investigatif pada BPDPKS. Pasalnya, mandat pembentukan badan ini untuk membantu petani swadaya dalam replanting. “Tapi kenapa sawit rakyat yang dapat dana paling kecil. Sementara Rp110 triliun lari ke korporasi karena biodiesel?” katanya.

Ketimpangan penggunaan dana BPDPKS sebelumnya sudah disuarakan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Bahkan, dalam kajian yang mereka publikasi pada Februari lalu ditemukan ada perusahaan yang mendapat subsidi biodiesel lebih tinggi daripada pungutan ekspor yang mereka bayarkan.

Wilmar, misal, mendapat subsidi kurang lebih Rp22 triliun, sementara mereka hanya membayar pungutan ekspor sekitar Rp7 triliun.

“Ada sekitar Rp14 triliun peroleh sebagai keuntungan. Ini namanya bukan subsidi lagi,” kata Mansuetus Darto, Sekjen SPKS dalam publikasi hasil kajian Februari lalu.

Berdasarkan data yang mereka himpun, SPKS menemukan lebih dari 97% total realisasi belanja BPDPKS pada 2021 untuk membayar selisih harga biodiesel. Nilainya mencapai Rp51 triliun, sementara penyaluran dana peremajaan kebun kelapa sawit hanya Rp1,3 triliun atau 2,51% dari realisasi belanja BPDPKS 2021.

Nurgoro Adi Wibowo,  Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel BPDPKS saat ditemui Mongabay menyebut,  sudah mengalokasikan dana maksimal hingga Rp5,6 triliun untuk peremajaan sawit rakyat. Sayangnya, target meremajakan 180.000 hektar kebun rakyat belum bisa jalan.

Salah satu penyebab, katanya, masih banyak petani swadaya kesulitan memenuhi persyaratan pengajuan dana Rp30 juta per hektar itu. “Salah satunya lahan mereka harus bebas dari kawasan hutan dan tidak boleh tumpang tindih dengan hak guna usaha,” kata Nugroho.

Dia berkilah program biodiesel bukan semata memberikan kucuran dana pada korporasi besar. Dia bilang, ada stabilisasi harga CPO dengan menciptakan pasar dalam negeri dalam bentuk biodiesel.

“Karena kan mandatori program ini untuk menciptakan pasar dalam negeri, jadi kita tidak bergantung pada ekspor.”

 

 

******

 

Exit mobile version