Mongabay.co.id

Memanen Air Hujan untuk Hadapi Kemarau, Mengapa Tidak?

 

 

Puncak musim kemarau di wilayah Indonesia, diperkirakan pada Agustus 2023. Curah hujan yang turun selama musim kemarau diprediksi akan normal, sehingga lebih kering dibandingkan biasanya.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, awal Maret 2023 lalu menjelaskan, wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau secara bertahap. Dimulai April, meliputi wilayah Bali, NTB, NTT, dan sebagian besar Jawa Timur. Lalu Mei, meliputi sebagian besar wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan, dan Papua bagian selatan.

Musim kemarau Juni, meliputi Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara.

“Pada semester kedua tahun ini, terdapat peluang sebesar 50-60% kondisi Netral akan beralih menuju Fase El Nino,” terangnya dalam keterangan tertulis.

Baca: Memanen Air Hujan

 

Air hujan yang turun dari langit dapat kita manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Foto: Pixabay/Kanenori/Public Domain

 

Di Indonesia, kemunculan El Nino dikaitkan dengan terjadinya kemarau panjang seperti yang terjadi pada 1997 dan 2015.

Fase El Nino merupakan anomali iklim dari kondisi normal. Angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah. Pelemahan terkait meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Dengan naiknya suhu muka laut di Pasifik Timur, akan menyebabkan perubahan pada sirkulasi atmosfer.

Dwikorita menghimbau Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat agar siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau yang lebih kering dibanding biasanya.

Wilayah tersebut diprediksi mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan air bersih.

“Pengoptimalan penyimpanan air pada akhir musim hujan untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan bisa dilakukan,” jelasnya.

Baca: Gelombang Panas dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

 

Air hujan dapat kita simpan melalui kolam, maupun sumur resapan, sehingga tidak terbuang percuma. Foto: Pixabay/Pexels/Public Domain

 

Penting memanen air hujan

Pelaksana Tugas Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Muhammad Zainal Arifin, pada Kongres Memanen Air Hujan Indonesia #4 pada 6 Maret 2022, yang diselenggarakan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, menjelaskan memanen air hujan sangatlah penting.

Ini sebagai upaya mitigasi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, dan longsor. Selain itu sebagai upaya pengoptimalan penggunaan air agar tidak terbuang sia-sia, hingga dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari.

“Air hujan tersebut dapat dipanen di rumah, kantor, dan gedung dengan berbagai metode, seperti instalasi pengolahan air hujan [IPAH], hingga sumur resapan,” terangnya.

Agus Maryono, dalam bukunya berjudul “Memanen Air Hujan” yang diterbitkan Gadjah Mada University Press, menuliskan kualitas air hujan di Indonesia relatif bagus, terutama di pedesaan dan pinggiran kota. Belum ada tanda hujan asam, meskipun sudah masuk diambang batas. Begitu juga pertikel debu udara, masih diambang batas sehingga tidak membahayakan jika digunakan untuk air minum.

“Meskipun sebaiknya perlu diperiksakan di Balai Pemeriksaan Air,” tulisnya.

Adapun metode memanen air hujan antara lain melalui kolam pengumpul air hujan [PAH], sumur resapan, lubang biopori, parit resapan air hujan, areal peresapan air hujan, tanggul perkarangan, pagar perkarangan, lubang galian tanah atau jagangan, modifikasi lansekap, penetapan daerah konservasi air tanah, kolam konservasi [tampungan] air hujan, revitalisasi danau, telaga, situ, hutan dan tanaman.

“Masing-masing metode diterapkan sesuai dengan kondisinya,” jelasnya.

Baca juga: Ini yang Terjadi, Jika Temperatur Bumi Meningkat Lebih dari 2 Derajat Celcius

 

Situ Elok di Desa Pernasidi, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah yang menjadi penopang air irigasi di sejumlah desa sekitar. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sistem Rain Water Harvesting

Studi yang dilakukan Y Sutejo, A Seggaf, H Hanafiah dan kolega dari Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Sriwijaya, memaparkan cara paling efektif memanen air hujan untuk keperluan rumah sehari-hari dengan sistem Rain Water Harvesting [RWH].

RWH merupakan sistem yang berfungsi menyimpan air hujan yang ditangkap dari catchment area, dialirkan melalui  pipa, dan disimpan dalam tanki.

“Besarnya luasan catchment area sangat berpengaruh terhadap  banyaknya volume curah hujan yang akan dipanen,” tulis peneliti.

Adapun alat dan bahan yang digunakan untuk menunjang cara ini berupa ijuk, pasir, dan kerikil yang berfungsi sebagai filter atau penyaring.

Sistem RWH di Indonesia, terutama untuk penerapan secara pribadi atau skala rumah tangga, tulis peneliti, belum banyak dilakukan. Salah satu faktornya adalah masyarakat masih  menganggap bahwa instalasi untuk sistem tersebut mahal dan tidak memberikan keuntungan  secara signifikan.

“Padahal jika ditinjau dari sisi ekonomi, cukup murah,” jelas laporan tersebut.

 

Exit mobile version