Mongabay.co.id

Waspadai Nasib Hutan Tersisa Jelang Tahun Politik 2024

 

 

 

 

Indonesia akan memasuki tahun politik pada 2024. Berbagai kalangan mengingatkan, perlindungan hutan dan lahan maupun hak-hak masyarakat adat serta kelompok rentan, harus jadi perhatian. Jangan sampai terjadi ‘obral’ izin terulang hingga mengancam hutan tersisa.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan   mengatakan, pemerintah saat ini, harus berkomitmen tinggi mencegah “obral” izin pembukaan lahan yang kerap terjadi pada tahun-tahun politik sebelumnya.

Kalau kandidat dengan komitmen politik pada lingkungan baik calon legislatif maupun eksekutif, katanya,  tak hanya selama pencalonan, harus terimplementasi pasca pemilihan.

“Momen politik ini jadi peluang menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim,” katanya dalam diskusi bertajuk “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 belum lama ini.

Salma Zakiyah, Program Asisten Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, dari 128.700 hektar deforestasi hutan alam dalam 2020-2021, 60% berada dalam area izin dan konsesi.

Saat ini, ada sekitar 9,7 juta hektar hutan alam Indonesia yang mendesak segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya.

“Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen. Tapi mau diapakan hutan ini? Apakah akan dilindungi? Atau malah akan jadi korban deforestasi selanjutnya?” ujar Salma.

 

 

Seorang pekerja sedang menebang kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan lindung di KEL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi.

Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, saat ini terdapat 16.594.361 hektar hutan alam berada di area izin hak hutan alam.  Terdapat, 4.886.618 hektar berada di area migas, 3.582.084 hektar di konsesi minerba. Lalu,  ada 3.112. 813  hektar di area izin perkebunan sawit dan.031.408 hektar di area perizinan berusaha pemanfaatan hutan tanaman.

Dia bilang, bila hutan alam di dalam izin-izin itu tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FoLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia khawatir tren pembukaan hutan saat kontestasi politik.

Menurut dia, pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar, seperti era zaman Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono.

 

Foto aerial kondisi tutupan hutan alam di Pulau Trangan yang dipisahkan oleh selat-selat kecil. Tampak hutan mangrove rapat menutupi tepian selat. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

 

Pada era orde baru terjadi pelepasan hutan sekitar 275.000 hektar, sekitar 291.000 hektar pada era SBY, sesaat sebelum pergantian presiden.

“Jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik. Kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

Mufti berharap, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sekarang  tidak melakukan kesalahan sama seperti dilakukan menteri-menteri sebelumnya yang melepaskan kawasan hutan pada detik-detik terakhir sebelum rezim berakhir.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, menyoal political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi.

Menurut dia, penegakan hukum jadi kunci untuk mengimplementasikan jarring pengaman meskipun standar di Indonesia yang masih sangat lemah.

“Ekonomi dan kepentingan investasi masih jadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Sejarah seperti berulang, harapan presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis.”

 

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, katanya, perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia mengatakan, politik di Indonesia masih berbentuk kartel. Untuk itu, penting transparansi pendanaan terutama biaya kampanye baik kandidat calon presiden dan calon anggota legislatif.

“Jangan sampai visi misi peduli lingkungan, namun di balik itu sumber pendanaan dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.”

Para pemilih, katanya,  jangan mau terfragmentasi saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” ujar Ferdian.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, cerita soal tanah adat seluas 32.000 hektar tergusur perusahaan.

Masyarakat, katanya,  tidak tahu, hanya beberapa kepala adat yang terbujuk perusahaan.

“Kami lebih khawatir jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pengusaha. Kalau pemimpin nanti pro lingkungan hidup, selamat kita punya hutan ini. Kalau mala pro pengusaha, habis kita punya hutan.”

 

Hutan terbabat untuk tamvang nikel di  Wawonii. Foto: drone

 

*******

Exit mobile version