Mongabay.co.id

Pembangunan Pembangkit Nuklir Tenaga Thorium di Pulau Gelasa, Sarat Kepentingan?

Pulau Gelasa memiliki luas 220,83 hektar. Foto: [Drone] M. Rizqi Rama/Mongabay Indonesia

 

 

Baca sebelumnya: Atas Nama Energi Masa Depan, Pulau Gelasa Terancam

**

 

Pada 30 Juli 2020 lalu, PT. Thorcon International, Pte. Ltd, dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menandatangani nota kesepahaman [MoU]. Tujuannya, mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berbasis Thorium [PLTT], seperti dikutip dari antaranews.com.

Sejak itu, Thorcon terus bergerak dan melakukan Mou dengan sejumlah perguruan tinggi, salah satunya Universitas Bangka Belitung pada 21 April 2021. Tujuannya, untuk mendukung penelitian serta melakukan survei penerimaan masyarakat bersama UNS [Universitas Sebelas Maret].

Hasilnya, mengutip babelprov.go.id, pada 12 Agustus 2021, diumumkan bahwa 73,73 persen masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung setuju dengan pendirian PLTT. Namun, data survei ini sempat dipertanyakan oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia [GMNI]. Mereka menilai, hasil survei tidak transparan dan kental dengan kepentingan investor.

Terbaru, pihak Thorcon Power Indonesia, yang baru didirikan pada tahun 2021 lalu sebagai perusahaan investasi asing langsung [PMA] yang dimiliki sepenuhnya oleh ThorCon International Pte, Ltd, menyampaikan hasil studi ekologi mereka di Pulau Gelasa.

“Salah satu kajian itu adalah kajian ekologi lingkungan, rata-ratanya semuanya nggak ada dampak yang tidak bisa dimitigasi,”kata Bob S. Effendi, Chief Operating Officer PT. Thorcon Power, dikutip dari perkara news.com, Rabu, [29/3/2023].

Disisi lain, masyarakat Desa Batu Beriga, desa terdekat dengan Pulau Gelasa; yang sudah dipastikan sebagai tapak pembangunan PLTT, telah menyatakan penolakannya, dan belum mendapat sosialisasi yang mendalam terkait upaya pembangunan PLTT ini.

“Sejauh ini, pihak PLTT baru melakukan diskusi dengan pemerintah desa, sedangkan di masyarakat belum pernah. Untuk masyarakat, penting untuk menjelaskan dampak kedepannya dari pembangunan PLTT ini, terutama yang dapat mengancam laut, dan Pulau Gelasa yang jadi wilayah tangkap nelayan, serta bagian dari laut adat kami,” kata Abdul Gani, Kepala Desa Batu Beriga, saat ditemui di rumahnya, awal April 2023 lalu.

Baca: Membaca Kepulauan Bangka Belitung “Sebagai Lautan”

 

Pulau Gelasa yang begitu indah dan kaya biota laut. Foto: [Drone] M. Rizqi Rama/Mongabay Indonesia

 

Referendum penggunaan nuklir

Dian Abraham, pemerhati hukum nuklir, mengatakan sebelum Thorcon melakukan pergerakan di tingkat pemerintah daerah [Gubernur] dan lainnya, seharusnya ada kesepakatan terlebih dahulu secara nasional, bahwasannya kita [Indonesia] mau atau tidak menggunakan energi nuklir.

“Dalam PP No.79 Tahun 2014, energi nuklir masih menjadi alternatif terakhir. Regulasi ini masih jadi pegangan untuk kebijakan energi nasional. Dengan kata lain, tanpa adanya keputusan secara nasional terkait pembangunan PLTT ini, bisa dikatakan semua proses yang sedang berjalan saat ini adalah ilegal,” jelasnya.

Dian menambahkan, referendum penggunaan energi nuklir mutlak dilakukan. Ia memberi contoh, pasca-bencana nuklir Fukushima Daiichi, Italia melakukan referendum nasional, keputusannya mereka tidak akan menggunakan nuklir.

“Indonesia sebagai negara demokrasi, setiap keputusan penting seperti penggunaan energi nuklir harus dijadikan keputusan bersama. Pemerintah pusat harus tegas terkait kebijakan nuklir ini, karena menyangkut keselamatan dan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Jangan seperti sekarang, kesepakatan belum ada, tapi semua proses menuju Go Nuklir sudah berjalan,” lanjutnya.

Menurut Kementerian ESDM, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan [RUU EBT], akan selesai dibahas pada bulan September 2023.

“Kita terus melakukan pembahasan-pembahasan dengan target kira-kira sekitar September, undang-undang ini bisa diselesaikan,” kata Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, dikutip dari finance.detik.com.

Dalam pasal 9 draft RUU EBT disebutkan, sumber energi baru adalah nuklir, hidrogen, gas metana batubara [coal bed methane/CBM], batubara tercairkan [liquefied coal], dan batubara tergaskan [gasified coal].

Menurut Dian Abraham, RUU EBT ini merupakan salah satu strategi  kelompok “pro nuklir” untuk menihilkan status energi nuklir sebagai alternatif terakhir.

“Diksi Energi Baru Terbarukan justru memberi ruang bagi energi nuklir untuk setara atau sama dengan energi surya, angin, dan air. Seharusnya, kebijakan energi nasional fokus pada energi terbarukan [ET], dimana nuklir tetap menjadi alternatif terakhir, atau bahkan dihilangkan,” lanjutnya.

Baca: Jangan Usik Perairan Gelasa Kami

 

Hamparan massive coral yang tumbuh besar dan menjulang ke permukaan air di sekitar periaran Pulau Gelasa. Foto: Muhammad Rizza Muftiadi/Mongabay Indonesia

 

Teknologi lama dan limbah yang belum teratasi

Seperti diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, nuklir diklaim energi baru meskipun termasuk teknologi lama, di Indonesia sudah dimulai sejak 1965. Secara global, ada 13 reaktor nuklir [PLTN] tutup permanen di Jepang, Amerika Serikat, Swiss, Jerman, Korea, Rusia, Swedia, dan Taiwan, dengan total daya 9,4 GW.

Alasan penutupan diantaranya; berusia lebih 40 tahun atau misalnya Jepang merevisi keamanan dan tidak bisa mengikuti regulasi terbaru. Sementara, PLTN di Amerika tutup karena kondisi pasar, yakni kalah saing dengan energi terbarukan.

Teknologi PLTN yang ditawarkan oleh Thorcon adalah Molten Salt Reactor [MSR]. Mereka menamai reaktor ini dengan nama Thorium Molten Salt Reactor 500 [TMSR 500]. Teknologi Generasi IV ini diklaim lebih aman, lebih murah, dan punya potensi persenjataan yang lebih kecil.

Mengutip abc.net.au, para peneliti di China 2021 lalu, berupaya mengembangkan teknologi ini. Namun, thorium sudah dianggap sebagai sumber bahan bakar alternatif, ketika AS pertama kali mengembangkan teknologi energi nuklir tahun 1940-an.

Dari sumber yang sama, pada 1970-an, Amerika bahkan telah mengembangkan reaktor nuklir cair berbasis thorium eksperimental di Laboratorium Nasional Oak Ridge di Tennessee, tetapi AS menutupnya dan meninggalkan thorium demi uranium.

Baca juga: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Massive coral merupakan salah satu jenis karang yang lama pertumbuhannya. Semkain besar ukurannya, maka dapat dipastikan wilayah tersebut masih baik kondisinya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam jurnal Lyman, [2022], yang menganalisisi teknologi MSR ini, dijelaskan bahwa proyek eksperimental di Amerika Serikat di Laboratorium Nasional Oak Ridge tersebut, tercatat sebagai kegagalan nyata dalam pembuangan limbah secara efektif dari MSRE di Laboratorium Nasional Oak Ridge, yang ditutup hampir 50 tahun lalu.

“Limbah radioaktif garam cair punya karakteristik fisik dan kimia yang jauh lebih sulit untuk dikelola dan dibuang, daripada bahan bakar padat bekas yang dihasilkan oleh LWR,” tulis jurnal tersebut.

Ini menjadi salah satu kelemahan dari MSR terhadap LWR atau Light Water Reactor; teknologi reaktor yang umum digunakan saat ini.

“Limbah warisan dari percobaan ini telah terbukti menjadi salah satu masalah pembersihan yang paling sulit dan menantang secara teknis di kompleks DOE [Departemen Energi Amerika].”

Dari jurnal yang sama, setelah reaktor ditutup tahun 1969, hampir lima metrik ton garam bahan bakar bekas, bersama dengan garam siram yang sedikit terkontaminasi, dibuang ke tangki penyimpanan dan dibiarkan dingin dan mengeras.

“Tidak ada rencana pengelolaan bahan ini selain penyimpanan sementara jangka panjang. Meskipun ada upaya untuk mengontrol pembentukan gas akibat radiolisis [dekomposisi garam radioaktif], konsentrasi tinggi uranium heksafluorida dan gas fluorin yang sangat berbahaya terdeteksi lebih dari 25 tahun kemudian. Garam bahan bakar bekas menghadirkan bahaya kimia dan radiologis yang parah, dan juga berpotensi menyebabkan kekritisan yang tidak disengaja, sebagian besar disebabkan oleh keberadaan U-233,”.

 

Seorang nelayan memperoleh ikan tenggiri saat perjalanan menuju Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

DOE memutuskan pada 1998 untuk membuang semua limbah dari tangki pembuangan. Namun, ternyata terlalu sulit, karena sebagian bahan bakar telah mengeras dan menyumbat pipa. Pada akhirnya, DOE mampu menghapus sebagian besar U-233 melalui proses pemisahan kimia, tapi sisa garam radioaktif ini di biarkan begitu saja.

“Pekerjaan lebih lanjut untuk menghapusnya ditangguhkan. Dosis radiasi dalam tangki limbah masih sekitar 1.000 rem/jam, terlalu tinggi untuk dapat diakses oleh manusia.”

Garam juga terus menghasilkan gas fluor, yang harus dipompa keluar dari tangki dan diolah setiap enam bulan dalam sistem yang baru-baru ini mengalami kegagalan setelah 20 tahun beroperasi dan harus diganti.

“Mengingat potensi bahaya operasi pembersihan lebih lanjut, DOE sekarang secara serius mempertimbangkan untuk mengubur sisa-sisa reaktor dan tangki limbah dalam beton, menciptakan tempat penyimpanan permanen.”

Jurnal yang sama juga menyatakan, teknologi MSR yang diusung oleh Thorcon masih memiliki banyak kekurangan. Diantaranya limbah radioaktif yang harus dikelola dengan baik dan berpotensi mencemari lingkungan, dan mungkin masih membutuhkan bahan bakar dari uranium. Kajian tersebut menyarankan penelitian lebih lanjut terkait teknologi ini hingga tahun 2050.

 

Perahu pemancing cumi di sekitar Pantai Tanjung Berikat, Kabupaten Bangka Tengah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sementara dari jurnal Agus & Azizul, [2021] yang melakukan review terhadap desain TMSR 500 yang diusung oleh Thorcon, menyatakan beberapa catatan penting. Sebut saja, dokumen yang menjelaskan desain TMSR 500 masih sangat umum dan belum detail, sehingga hasil reviu belum bisa dilakukan secara mendalam.

Selanjutnya, dari dokumen teknis yang diacu, desain TMSR 500 belum menjelaskan tujuan keselamatan dalam desain, dan juga berapa target dosis yang nantinya akan diterima oleh masyarakat di sekitar tapak apabila reaktor tersebut akan dibangun.

Terpenting, ThorCon MSR didesain untuk NBD 50 mSv/tahun. Hal in tidak sesuai dengan aturan NBD di Indonesia. NBD [Nilai Batas Dosis] merupakan unit pengukuran yang diberlakukan untuk menghitung dampak biologis dari jenis atau radiasi terhadap manusia.

Dian Abraham mengatakan, hingga saat ini belum ada negara yang mengkomersilkan teknologi PLTN berbasisi Thorium ini.

“Proyek ini sangat eksperimental. Jadi klaim mereka bahwa teknologi ini lebih aman atau lebih murah adalah sebuah kebohongan. Kita [Indonesia] diposisikan layaknya “kelinci percobaan”,” tegasnya.

 

Referensi jurnal:

Agus, W., & Azizul, K. (2021). Thorium Molten Salt Reactor 500 (TMSR-500) design review. https://inis.iaea.org/collection/NCLCollectionStore/_Public/53/122/53122455.pdf

Lyman, E. (2022). “Advanced”’Isn’t Always Better: Assessing the Safety, Security, and Environmental Impacts of Non-Light-Water Nuclear Reactors. APS April Meeting Abstracts, 2022, E06-003. https://www.ucsusa.org/sites/default/fles/2021-05/ucs-rpt-AR-3.21-web_Mayrev.pdf

 

Exit mobile version