Mongabay.co.id

Cerita Sukses Warga Maitara Kelola Mangrove Tersisa Jadikan Ekowisata

 

Keluarga besar M Riskan dari Ternate berjumlah 10 orang terlihat asyik berfoto ria. Mereka datang ke kawasan ekowisata hutan mangrove Posi-posi Kusulenge Desa Maitara Tengah, Pulau Mitara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Minggu (18/6/2023).

Mereka terlihat begitu menikmati pemandangan alam di kawasan hutan mangrove di antara desa Maitara Tengah dan Maitara Utara, serta berhadapan langsung Pulau Tidore tersebut.

Riskan mengatakan mereka datang untuk berwisata menikmati alam terutama pantai. Karena itu tidak hanya mendatangi kawasan hutan mangrove tetapi juga pantai wisata di Maitara. “Torang (kami) ada acara di pantai Ake Bay (tak jauh dari kawasan hutan mangrove). Jadi terus ke sini, sambil foto-foto pemandangan dan nikmati kawasan hutan mangrove ini,” katanya.

Riskan mengatakan berbagai fasilitas wisata yang ada membantu mereka menikmati kawasan hutan mangrove Posi-posi Kusulenge. Setelah puas mengambil foto dari berbagai sudut, keluarga ini melanjutkan wisatanya ke kawasan pantai Pulau Maitara.

Sekadar diketahui, posi-posi dalam Bahasa Tidore adalah nama jenis mangrove perepat atau pidada putih (Sonneratia alba). Sementara Kusulenge adalah nama kampung sebelum dimekarkan menjadi desa. Posi-posi Kusulenge ini adalah kawasan mangrove pertama di Tidore yang dikelola menjadi tempat wisata, meski di beberapa tempat juga memiliki kawasan hutan mangrove yang padat.

Tidak hanya keluarga M Riskan, banyak pengunjung terlihat menikmati keindahan kawasan hutan mangrove yang telah dibangun jembatan tracking untuk perlintasan ke kawasan hutan mangrove, gazebo serta ruang pertemuan di atas laut itu.

baca : Hutan Mangrove Maluku Utara Kian Terdesak

 

Pengunjung menikmati keindahan hutan mangrove posi-posi Kusu Lenge, Desa Maitara Tengah, Pulau Mitara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Untuk sampai ke kawasan mangrove ini, dari Ternate langsung ke Maitara menggunakan perahu kayu atau fiber melalui Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Bastiong. Tarifnya Rp15 ribu/orang. Atau juga bisa dari Ternate ke Tidore dengan speed boat, tarifnya Rp15 ribu/orang. Dari situ selanjutnya naik perahu dengan tarif Rp10 ribu menuju Pulau Maitara.

Setelah tiba di Maitara bisa naik bentor dengan tarif Rp10 ribu menuju lokasi wisata di Maitara Tengah. Atau juga bisa jalan kaki sekitar satu kilometer menyusuri jalanan tepian pantai pulau tersebut. Dengan tarif tersebut pengunjung sudah bisa menikmati segarnya udara hutan mangrove dan hawa laut sambil berfoto ria.

Kawasan wisata ini dibangun masyarakat desa setempat dengan memanfaatkan hutan mangrove tersisa yang kondisinya semakin terdesak pembangunan sejumlah fasilitas desa. Di bagian utara misalnya, sebagian mangrove sudah dibabat dan dibangun fasilitas desa. Pada 2017 lalu ada pembangunan cold storage dan fasilitas pendukungnya menggunakan lahan kurang lebih seluas 30×50 meter. Meski luasan hanya 4,1 hektare, tetapi hutan mangrove makin tergerus luasannya.

Karena itu ketika ada peluang pemanfaatan hutan mangrove tersisa ini, Pemerintah Desa Maitara Utara kemudian memanfaatkan dana desa yang dimiliki dan membangun sejumlah fasilitas pendukung seperti sekarang.

Kepala Desa Maitara Tengah Muchlis Malagapi menjelaskan, kawasan ekowisata mangrove Posi-posi Ngusu Lenge ini diresmikan pada 2021 lalu. Di sini dibangun jembatan tracking untuk menikmati pemandangan hutan mangrove. Juga dibangun meeting room yang bisa digunakan pemerintah maupun masyarakat umum untuk rapat atau pertemuan komunitas.

Selain menjadi tempat wisata, ada hal lain yang dilakukan untuk hutan mangrove ini. Yakni melindunginya dari eksploitasi dan perusakan. “Hutan mangrove ini sudah dilindungi dan sudah tidak bisa dieksploitasi lagi,” jelasnya.

baca juga : Perlu Kolaborasi Para Pihak Jaga Hutan Mangrove Maluku Utara

 

Tegakan mangrove jenis pedada (Soneratia alba) di kawasan hutan mangrove Posi-posi Kusulenge, Maitara Utara, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Muhlis bilang dengan dibangunnya fasilitas ekowisata ini selain menjadi pendapatan bagi desa juga mendorong kesadaran warganya menjaga dan melindungi hutan mangrove   tersisa ini.

Sebab mata pencaharian warga Maitara yang rata-rata nelayan perlu menyadari pentingnya melindungi mangrove, karena berbagai fungsi penting yang dimiliki.   “Harapan ѕауа, ѕеmоgа ada kеѕаdаrаn bеrѕаmа menjaga lingkungan kita, dеmі mеlеѕtаrіkаn dan menikmati keindahannya hаrі ini dаn generasi berikut,” jelas Muhlis.

Dari pengamatan Mongabay, hutan mangrove ini menjadi salah satu destinasi wisata penting yang dimanfaatkan warga Ternate dan Tidore ketika mengunjungi pulau yang diabadikan dalam uang kertas seribu rupiah tersebut.

Fatma Hamsa, salah satu pengelola tempat wisata itu mengatakan biasanya banyak pengunjung datang pada hari libur, bisa mencapai 100 sampai 150 orang dengan tarif Rp2.500/orang. Sehingga pendapatan yang terkumpul bisa mencapai Rp250 ribu sampai Rp300 ribu setiap hari. Jumlah itu diluar sewa ruang pertemuan sebesar Rp300 ribu.

Setiap bulan tempat wisata mangrove itu memberikan pemasukan jutaan rupiah bagi desa. “Uangnya masuk ke kas desa. Tempat wisata ini dikelola di bawah badan usaha milik desa (BUMDES),” kata Fatma.

Mangrove yang dimanfaatkan warga sebagai kawasan ekowisata ini merupakan ekosistem penting di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Maitara. Karena itu jika tidak dilakukan perlindungan dan konservasi akan habis dieksploitasi.

baca juga : Ketika Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara Terancam Tenggelam

 

Kawasan ekowisata hutan mangrove posi-posi Kusu Lenge, Desa Maitara Tengah, Pulau Mitara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Nebuchadnezzar Akbar dan tim dalam riset bersama Fakultas Perikanan Universitas Khairun Bersama LIPI Oceanografi Malut pada 2015 lalu berjudul Struktur Komunitas dan Pemetaan Ekosistem Mangrove di Pesisir Pulau Maitara, Provinsi Maluku Utara menemukan ada peningkatan eksploitasi oleh manusia. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan habitat ekosistem mangrove yang ada.

“Tingginya aktivitas mengancam kuantitas ekologi ekosistem mangrove tersebut,” tulis Nechadnezzar dan tim. Kajian itu menemukan adanya desakan hutan mangrove tersebut akibat eksploitasi. Padahal ada banyak jenis mangrove tumbuh di kawasan ini.

Hasil penelitian menunjukan komposisi jenis mangrove terdiri dari 3 famili dengan 4 spesies. Total keseluruhan kerapatan yaitu 215.78 batang/hektar, frekuensi 722 batang/hektar, tutupan 189% dan nilai penting 300 tiap stasiun.

Kerapatan dan frekuensi jenis tertinggi ditemukan untuk jenis Rhizopora apicullata, kemudian Avicennia alba, disusul Sonneratia alba dan terendah Sonneratia caseolaris. Tutupan jenis tertinggi diperoleh jenis Sonneratia alba, kemudian Sonneratia caseolaris, disusul Avicennia alba dan terendah Rhizopora apicullata.

“Untuk nilai penting tertinggi pada jenis Sonneratia alba, kemudian Rhizopora apicullata, setelah itu Avicennia alba dan terendah adalah jenis Sonneratia caseolaris,” tulis riset tersebut.

Secara umum keseluruhan indeks nilai keanekaragaman jenis mangrove di Pulau Maitara yang diperoleh rendah. Sementara tipe zonasi yang ditemukan jenis Rhizhopora sp. merupakan penyusun terdepan hutan mangrove dari arah laut ke daratan di Pulau Maitara.

Luas mangrove yang didapat dari klasifikasi lapangan dan hasil pemetaan adalah 4,91 hektar. “Koreksi data lapangan dan studi literatur sebelumnya mengindikasikan telah terjadi penurunan luas mangrove sebesar 1,09 ha dalam rentang waktu 3 tahun. Sehingga diperlukan pendekatan konservasi dan pengelolaan berkelanjutan demi kepentingan pelestarian hutan mangrove di Pulau Maitara,” tulis riset tersebut. (*)

 

Exit mobile version