- Hutan mangrove di Maluku Utara, terutama di pulau-pulau kecil alami keterancaman. Untuk itu, perlu kolaborasi antara pihak guna memulihkan maupun menjaga hutan mangrove di provinsi kepulauan ini.
- Azis Hasyim, dari Forum Studi Halmahera (Foshal) Malut mengatakan, provinsi ini luas hutan mangrove mencapai 46.000 hektar lebih dalam kondisi kritis sekitar 289,18 hektar. Angka itu, tampak terlihat kecil tetapi harus memahami hutan-hutan mangrove itu berada di pulau-pulau kecil hingga luasan itu sangat besar.
- Sahmar Ishak, pegiat mangrove Maluku Utara juga Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Ternate bilang, di Pulau Ternate, mangrove juga hadapi menghadapi ancaman serius. Mangrove di Ternate menghadapi tekanan terutama alihfungsi lahan untuk berbagai kepentingan seperti jadi pelabuhan, dan fasilitas kota lain, maupun pemukiman.
- Hamka Karepesina Pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Maluku Utara bicara soal kondisi mangrove kepulauan menghadapi persoalan serius terutama di kawasan industri pertambangan.
Hutan mangrove di Maluku Utara menghadapi berbagai keterancaman dari penebangan liar, industri tambang, perkebunan monokultur, sampai pembabatan atas nama pembangunan maupun untuk perluasan kota. Padahal, fungsi kawasan ini begitu penting bagi kehidupan. Untuk itu, perlu kolaborasi antara pihak guna memulihkan maupun menjaga hutan mangrove di provinsi kepulauan ini.
“Masifnya industri tambang saat ini secara nyata ikut menghabiskan hutan mangrove. Ada 108 izin tambang aktif di Maluku Utara. Di pulau-pulau kecil tekanan dari masyarakat juga serius,” kata Azis Hasyim, dari Forum Studi Halmahera (Foshal) Malut, 10 September lalu.
Dia bilang, Malut dengan luas hutan mangrove mencapai 46.000 hektar lebih dalam kondisi kritis sekitar 289,18 hektar. Angka itu, tampak terlihat kecil tetapi harus memahami hutan-hutan mangrove itu berada di pulau-pulau kecil hingga luasan itu sangat besar.
Menurut dia, mangrove jadi penyanggah ekosistem kalau mengalami kerusakan akan memberikan dampak serius bagi kehidupan manusia maupun biota.
Banyaknya izin tambang, kata Aziz, menggerus hutan-hutan mangrove. Kalau ada satu hektar mangrove hilang maka ada potensi perikanan ikut hilang. “Ikut mengurangi laju penyerapan karbon.”
Perkebunan sawit di Malut, katanya, juga menambah laju penurunan tutupan mangrove.

Untuk mengatasi berbagai keterancaman hutan mangrove ini, katanya, perlu keterlibatan semua pihak untuk temu kenali. Kalau sudah ada temu kenali, katanya, lanjut dengan rencana aksi. Langkah ini perlu, kata Aziz, kalau mau bicara perlindungan dan penyelamatan ekosistem mangrove.
“Kita abai isu ini yang sebenarnya berdampak besar dalam kehidupan masyarakat.”
Arbain Mahmud dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Ake Malamo Malut mendorong pengelolaan dan penyelamatan hutan mangrove di Malut. Mereka punya sejumlah program seperti penyediaan bibit mangrove untuk berbagai kalangan yang ingin melakukan penanaman mangrove. BPDAS-HL juga membuat persemaian yang membagi secara gratis bibit.
Mereka juga mulai rehabilitasi lahan mangrove. Ada beberapa kawasan mangrove mulai pemulihan, seperti UPT Simau-Pune Halmahera Utara, Belang-Belang di Halmahera Selatan serta pembuatan Kebun Bibit Ratyat (KBR) Mangrove.
Balai juga sudah berkolaborasi dengan pengelola Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Mangrove Kao Halmahera Utara. Juga memfasilitasi pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Malut serta inventarisasi kelompok atau forum peduli mangrove di provinsi dan kabupaten,kota.
Di Malut, katanya, ada beberapa daerah aliran sungai (DAS) sangat kritis dan perlu perbaikan, seperti, DAS Aketiabo dan Akejodo di Halmahera Utara, DAS Akelamo di Kabupaten Halmahera Barat dan DAS Ake Kobe di Halmahera Tengah.
DAS Akekobe, hulu ada di Halmahera Timur dan Tideora Kepulauan. Hilir, berada di Halmahera Tengah.

Sahmar Ishak, pegiat mangrove Maluku Utara juga Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Ternate bilang, di Pulau Ternate, mangrove juga hadapi menghadapi ancaman serius.
Mangrove di Ternate menghadapi tekanan terutama alihfungsi lahan untuk berbagai kepentingan seperti jadi pelabuhan, dan fasilitas kota lain, maupun pemukiman.
Ketika rehabilitasi pun, hadapi masalah terutama dalam teknik rehabilitasi, kesulitan bibit mangrove serta sampah laut yang setiap saat mengancam. “Paling utama kekurangan sumber daya manusia yang punya concern dan kepedulian terhadap mangrove,” katanya.
Hamka Karepesina Pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Maluku Utara bicara soal kondisi mangrove kepulauan menghadapi persoalan serius terutama di kawasan industri pertambangan.
Ada beberapa usulan pembentukan KEE mangrove di Patani, Halmahera Tengah dan Morotai tetapi tak jalan. Selain itu, eksploitasi mangrove oleh warga untuk kayu bakar dan bahan bangunan rumah.
Persoalan lain, konversi hutan mangrove menjadi pemukiman seringkali terjadi terlebih ketika membangun fasilitas desa dengan dana desa.
“Butuh advokasi dan pendampingan hingga masyarakat bisa paham pentingnya menjaga dan melindungi mangrove di kampungnya.”

******