Mongabay.co.id

Menyoal Daya Rusak PLTU Batubara dalam Kawasan Industri, Apa Temuan Aliansi?

 

 

 

 

Operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk fasilitas industri (PLTU captive) di Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Tenggara (Sultra) akhirnya merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat di Sulawesi. Demikian temuan Aliansi Sulawesi Terbarukan yang merupakan organisasi gabungan Walhi Sulteng, Walhi Sulsel, dan Walhi Sultra.

“Udara di Dusun 5 Desa Bunta disinyalir diselimuti gas sulfur dioksida (So2) merupakan gas beracun hasil pembakaran batubara PLTU captive,” kata Sunardi Katili, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng saat konferensi pers Juni lalu.

Laporan itu menyebut, beberapa PLTU itu antara lain, kawasan industri PT Stardust Estate Investment (SEI) Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Dalam kawasan industri ini ada PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) seluas 1.907 hektar dan PT Central Omega Resources (COR). Keduanya perusahaan smelter pemurnian nikel milik Jiangsu Delong Nickel Industry Co.Ltd,  investor asal Tiongkok. Mereka beroperasi di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara.

Untuk menggerakkan smelter, GNI membangun PLTU batubara. Proses pembangunan PLTU itu membendung Sungai Lampi,  tanpa sepengetahuan warga dan pemilik lahan.

Walhi Sulteng memprediksi, ketika intensitas hujan tinggi, air Sungai Lampi akan meluap dan bisa merendam sawah dan pemukiman warga sekitar.

Pembangunan dermaga (jetty) di Desa Tanauge, Kecamatan Petasia sebagai pintu masuk mobilisasi pasokan batubara sejak awal 2023, diduga rampas lahan warga seluas 65 hektar tanpa proses kompensasi ganti rugi.

Sunardi bilang, masyarakat yang mayoritas nelayan juga merasakan penderitaan karena operasi PLTU ini.

“Masifnya mobilisasi kapal tongkang bermuatan batubara untuk kebutuhan PLTU sangat berpengaruh ke kehidupan ekonomi dan sosial nelayan.”

 

Penampakan Kawasan Industri Nikel, PT IMIP, Foto: Milik PT IMIP

 

Bahkan, katanya, ada yang berhenti menangkap ikan karena batubara sering tumpah, ditambah lagi penjagaan ketat oleh Polisi Air Udara jadi momok bagi para nelayan.

Saat ini, GNI membangun tiga PLTU di Desa Tanauge berkapasitas 300 MW hanya berjarak 500 meter dari pemukiman. Akibatnya, kata Sunardi, warga sekitar PLTU setiap hari harus membersihkan rumah, menutup pintu dan jendela agar terhindar debu hitam dari pembakaran batubara ini.

Fenomena sama dialami warga Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kehadiran PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di lokasi itu drastis mengubah kondisi ekologi dan kehidupan masyarakat sekitar karena terbangun sejumlah PLTU oleh perusahaan itu.

VDNI mulai beroperasi sejak 2014 dan membangun pabrik pemurnian pada 2017, kemudian resmi beroperasi pada 2019. Ia terletak di Morosi, Konawe, luas lahan perusahaan ini 700 hektar. Kapasitas produksi perusahaan setiap tahun 800.000 ton nikel pig iron (NPI) dengan kadar 10-12%.

Dalam menunjang operasional, VDNI membangun delapan PLTU 530 MW dan mampu mengkonsumsi batubara 180.000 ton per tahun. Konsumsi batubara cukup besar ini berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan sekitar. Akibatnya, produksi lahan pertanian masyarakat terus mengalami penurunan setiap tahun.

“Berdasarkan hasil wawancara lapangan tim Walhi Sultra bersama masyarakat Morosi, pembakaran batubara tanpa henti, menyisakan abu hitam yang bercampur dengan udara lalu menyebar ke lahan-lahan pertanian masyarakat. Kualitas air tanah jelek,” kata Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.

Buangan hasil sisa pembakaran batubara mengandung zat Sulfur Oksida (SO2) yang menyebabkan keracunan pada tanaman. Selain itu, kata Andi, batubara juga berkontribusi pada masalah kesehatan masyarakat sekitar.

Sejak ada pabrik pengolahan nikel di Morosi, banyak warga alami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Selain VDN, OSS di Desa Tani Indah, Kabupaten Konawe juga mencemari lingkungan di sekitar perusahaan dan membuat warga menderita. Berdasarkan penelusuran Walhi Sultra, sejak perusahaan beroperasi 2018, lahan tambak di Desa Labota, Tani Indah, Lalimbue dan Kapoiala tercemar abu sisa pembakaran batubara. Ketiga desa itu, merupakan kawasan basah dengan produk unggulan seperti kepiting, udang dan bandeng.

Data Badan Pusat Statistik (2018) mencatat, hasil produksi perikanan budidaya Konawe mencapai 40.356 ton pada 2018. Angka itu terus menurun seiring masifnya aktivitas perusahaan di Morosi.

Andi bilang, ada sekitar 151 hektar tambak masyarakat tercemar,  tak bisa digunakan karena aktivitas PLTU OSS.

“Tambak-tambak masyarakat yang dahulu jadi sumber mata pencaharian, kini rusak karena debu sisa pembakaran batubara dari PLTU.”

Selain berdampak pada masyarakat di Konawe, OSS juga berdampak pada masyarakat Konawe Utara, terutama di Desa Motui dan Lambuluo. Lokasi perusahaan berada di batas administrasi dua kabupaten di Sulawesi Tenggara itu. Warga dua desa di Konawe Utara itu terdampak pembakaran batubara.

 

 

 

Andi bilang, banyak warga meninggalkan rumah mereka di dua desa itu karena abu sisa pembakaran batubara menyebar ke pemukiman dan mempengaruhi kualitas lingkungan. Masyarakat yang bermigrasi atau memilih pindah itu juga karena kehilangan pekerjaan mayoritas petani tambak.

“Mayoritas di lokasi itu sebelumnya petani tambak. Mereka terpaksa mencari pekerjaan lain karena tambak tak lagi mampu berproduksi di tengah gempuran abu batubara,” kata Andi.

Berdasarkan perhitungan Walhi Sultra, PLTU yang dibuat VDN dan OSS menyebabkan sekitar 4.000 jiwa terancam debu hitam, dan 18 keluarga nelayan kehilangan pekerjaan. Wilayah tangkapan mereka hilang.

Selain itu, air bersih masyarakat tak lagi terpenuhi karena tercemar debu batubara milik kedua perusahaan smelter itu.

Bukan hanya PLTU, kata Andi, tambang-tambang nikel yang menyuplai bahan baku ke VDN dan OSS juga di Sulawesi Tenggara. Tiga tahun terakhir, sekitar 8.400-an hektar hutan lindung ditambang ilegal. Bahan baku nikel diduga masuk ke dua perusahaan itu.

PLTU di Jeneponto, Sulawesi Selatan juga membuat masyarakat sekitar menderita. Di lokasi itu, ada dua PLTU menyuplai listrik ke Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) di Bantaeng.

Data Dinas Penanaman Modal dan PTSP Bantaeng yang Walhi Sulsel, temukan, sejak 2010-2017 tercatat 13 perusahaan di sana dengan berbagai bidang usaha.

Salah satu perusahaan besar di KIBA, PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia (HNI),  merupakan pengolahan dan pemurnian nikel dengan lahan 100 hektar. Kapasitas tanur atau tungku besar HNI tahap pertama 16.500 KVA dengan total investasi US$80 juta.  Untuk itu, perusahaan smelter ini perlu daya listrik besar dari dua PLTU di Jeneponto.

Kehadiran dua PLTU di Jeneponto itu memberikan berbagai dampak sosial, lingkungan dan kesehatan kepada masyarakat. Nelayan, budidaya rumput laut, tambak ikan dan udang, katanya,  jadi kelompok paling terdampak abu sisa pembakaran batubara dari dua PLTU itu. Petani tanaman hortikultura, petambak garam, pedagang, hingga pegawai negeri sipil (PNS) juga alami hal serupa.

Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulsel mengatakan, dampak-dampak dirasakan masyarakat di sekitar dua PLTU batubara PT PLN Persero dan PT Bosowa Energi itu kurang lebih sama dengan kondisi warga di Morowali Utara (Sulteng), Konawe, dan Konawe Utara (Sultra).

Masyarakat yang bergantung hidup dari laut dan berbagai potensi pertanian terhimpit ekonominya.

“Para PNS di desa dan kecamatan mengaku kepada kami, mereka tidak konsen bekerja di kantor mereka udara sangat menyengat. Sudah terkontaminasi dengan abu sisa pembakaran batubara dari dua PLTU itu,” kata Amin.

 

 


 

 

 

Ambigu transisi energi

Keperluan energi industri skala besar pakai batubara jadi kontradiktif di tengah komitmen iklim Indonesia. Apalagi, Pemerintah Indonesia sudah menandatangani Pernyataan Global Coal to Clean Power Transition Statement di COP26. Komitmen menghentikan penggunaan batubara secara bertahap dan tak akan bangun PLTU baru. Hal ini diikuti peluncuran peta jalan PLN untuk carbon neutrality pada 2060 dan jadi salah satu tindakan menyelaraskan dengan target 1,5°C seperti Perjanjian Paris.

Pada September 2022, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs), Indonesia meningkatkan target penurunan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) dari 29% ke 31,89% pada 2030. Kalau dengan bantuan internasional naik dari 41% jadi 43,2%.

 Climate Action Tracker menilai, revisi NDC Indonesia “sangat tidak memadai” dalam mengurangi kontribusi emisi karbon negara ke tingkat yang sesuai pemenuhan target 1,5°C.

Akhir 2022, Pemerintah Indonesia dan Badan Energi Internasional (IEA) merilis peta jalan net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon yang mengusulkan tiga skenario transisi berbeda yaitu, optimis, sedang, dan pesimis.

Peta jalan ini, bersama dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP), memajukan target NZE Indonesia untuk sektor ketenagalistrikan pada 2060 jadi 2050, dan meningkatkan pangsa listrik terbarukan jadi 34% pada 2030.

Namun, IEA menyatakan, rencana ini masih terlambat 10 tahun untuk target 1,5°C yang selaras dengan skenario Paris. Sampai saat ini penetapan target NZE belum sepenuhnya selaras di seluruh kementerian dan entitas terkait. PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awalnya memiliki target untuk NZE pada 2050, tetapi mundur dan menetapkan 2060 sebagai target resmi.

 

Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng

 

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target NZE pada 2070. Sisi lain, rekomendasi Bappenas sebelumnya di bawah visi nasional 2045 mendesak target NZE optimis untuk Indonesia.

Berdasarkan hasil kajian Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berjudul “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia” itu menjelaskan, kebijakan pemerintah dalam transisi energi selama ini masih belum memadai, bahkan terkesan ambigu.

Salah satu ambiguitas utama yakni komitmen lisan Pemerintah Indonesia menghentikan pembangunan PLTU baru pada 2025. Pada Mei 2021, pemerintah mengumumkan moratorium untuk pembangunan PLTU. Tenggat waktu untuk pembangunan pembangkit baru awalnya ditetapkan pada 2023, diubah jadi tahun 2025 tak lama setelah pemerintah mengumumkan penyelesaian mega proyek 35 GW di sisa waktu itu.

Berikutnya, sikap ambiguitas juga terjadi  dengan terbit Perpres 112/2022.  Dalam kebijakan itu memperjelas, pembangunan PLTU baru dilarang di luar yang ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030.

Kondisi ini, sebut laporan itu memberikan kelonggaran bagi kapasitas bahan bakar fosil baru sebagai bagian dari mega proyek 35 GW. Padahal, ambisi NZE belum selaras dengan skenario Paris.

Tambah lagi, dalam aturan itu juga masuk pengecualian PLTU captive atau yang terintegrasi dengan industri dan terdaftar pada proyek strategis nasional.

 

 


Data Global Energy Monitor (GEM) memperlihatkan, lebih 22,6 GW PLTU captive untuk industri, termasuk smelter nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara. Pengecualian ini dinilai berisiko karena memungkinkan operator dan pemilik memperpanjang aset batubara.

Wanhar, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM juga bicara soal PLTU captive ini.

Dia bilang, pemerintah berniat mendorong penurunan emisi pembangkit listrik guna mencapai target transisi energi, tetapi pembahasan selama ini terbatas pada kontribusi pembangkit PLN. Sedangkan masih banyak sistem tenaga listrik di luar milik PLN atau biasa disebut dengan captive power.

“Selama ini,  pembahasan transisi energi terbatas pada kontribusi PLN dalam memenuhi komitmen penurunan emisi sektor pembangkit. Kontribusi penurunan emisi ini juga dapat dilakukan oleh captive power,” katanya seperti dikutip dari website KESDM

Dia bilang, pada acara KTT G20 di Bali, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana percepatan transisi energi bersih melalui JETP yang akan didanai International Partners Group (IPG). Ia  terdiri dari negara-negara maju seperti  Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Kanada, Denmark, Norwegia dan lain-lain.

Implementasi JETP diharapkan dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan target emisi 290 juta ton CO2 pada 2030.

“Target itu tidak hanya mencakup sistem tenaga listrik PLN, juga captive power yaitu wilayah usaha non PLN dan IUPTLS. Saat ini captive power diproyeksikan banyak menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil baru dalam skala masif. Peranan captive power sangat penting dalam pencapaian target emisi JETP.”

Climate Action Tracker menganalisis, ketenagalistrikan, pengurangan tenaga batubara di Indonesia seharusnya turun 10% pada 2030 dan akan setop bertahap pada 2040. Sayangnya, Data KESDM mencatat, mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih batubara. Apalagi, masih ada rencana pembangunan PLTU captive total kapasitas 9 gigawatt di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara.

Kondisi ini, membuat Aliansi Sulawesi Terbarukan geram dan meminta Pemerintah Indonesia segera menghentikan operasi PLTU captive batubara di seluruh kawasan industri nikel.

Mereka meminta, segera pulihkan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kawasan industri nikel di Sulawesi. PLTU, katanya, sudah merusak ekologi dan kehidupan masyarakat sekitar.

“Kami juga meminta, pemerintah dan perusahaan segera berikan ganti rugi bagi petani, nelayan dan rakyat yang bermukim di sekitar kawasan industri nikel di Pulau Sulawesi atas dampak sosial ekonomi yang masyarakat rasakan,” kata Sunardi.

 

*******

Exit mobile version