Mongabay.co.id

Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut

 

Sebulan lebih sejak diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia, penilaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut masih terus ada. Regulasi tersebut dinilai tidak tepat untuk diterbitkan saat ini merujuk pada beragam latar belakang.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), salah satu lembaga yang fokus pada perlindungan hukum di laut membuat sebuah analisis tentang PP 26/2023 dan dipublikasikan pada Rabu (5/7/2023). Ada sejumlah catatan yang dibuat mereka terkait PP 26/2023.

Pertama, IOJI menyatakan kalau secara substansi PP tersebut bukan yang dikehendaki oleh Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Itu berarti, PP 26/2023 tidak tepat untuk menjadikan UU Kelautan sebagai dasar hukum.

Kedua, kritikan IOJI adalah bahwa PP 26/2023 dijalankan agar Pemerintah Indonesia bisa membuat kebijakan yang menyeluruh yang meliputi pencegahan, pengurangan dan pengendalian lingkungan dari pencemaraan, serta penanganan lingkungan laut.

Tugas yang dibebankan melalui pasal 56 ayat (2) itu, membuat PP 26/2023 tidak layak untuk menjadi dasar hukum sebuah peraturan yang parsial dan spesifik seperti pengelolaan sedimentasi laut. Mengingat, PP tersebut harusnya dibuat untuk menjalankan UU Kelautan.

IOJI menyebut dalam catatan mereka yang diterbitkan menjadi Kertas Kebijakan itu, bahwa PP 26/2023 sama sekali tidak berkaitan dengan pendalaman alur pelayaran. Catatan tersebut dibuat, karena Pemerintah menyebut pengambilan sedimentasi dilakukan agar alur pelayaran bersih.

baca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang

 

Nelayan di Pulau Kojong Lingga, Kepulauan Riau, melaut dengan latar belakang pesisir pulau yang ditambang pasirnya. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Di lain pihak, IOJI memaparkan kalau berdasarkan penelitian dari organisasi-organisasi internasional dan para pakar, kegiatan penggalian dan atau pengisapan pasir laut justru bisa menimbulkan dampak buruk terhadap ekosistem yang ada di laut.

Untuk itu, IOJI merekomendasikan agar Pemerintah mengubah PP 26/2023 sesegera mungkin dengan melibatkan masyarakat secara sungguh-sungguh. Termasuk, dengan melibatkan para pakar dan organisasi-organisasi lingkungan hidup.

Adapun, perubahan yang perlu dilakukan adalah:

  1. Pemanfaatan sedimentasi pasir laut dilakukan untuk kebutuhan nasional dengan pengecualian tidak dilakukan pada critical ecosystems, dengan penambahan larangan pemanfaatan sedimentasi pasir laut di wilayah pulau-pulau kecil dan pulau terluar.
  2. Melarang kegiatan ekspor sedimentasi yang berupa pasir laut dengan pertimbangan kelestarian lingkungan dan mencegah kemungkinan dampak negatif lainnya karena kerusakan ekosistem, seperti meningkatnya ketidakadilan, kesenjangan sosial antara pusat dan daerah serta kemiskinan yang menimpa masyarakat lokal/daerah.
  3. Mewajibkan kajian ilmiah yang tepat dan cermat terhadap dampak biogeofisik dan sosial dengan pelibatan penuh pemangku kepentingan untuk semua kegiatan pemanfaatan sedimentasi pasir laut.

CEO IOJI Mas Achmad Santosa membeberkan, tentang partisipasi publik yang tidak ada dalam proses penyusunan naskah dokumen PP 26/2023, itu menjadi sesuatu yang tidak boleh diulang lagi saat perbaikan naskah dilakukan pada waktu berikutnya.

Menurut dia, partisipasi publik akan selalu memberi peran penting karena ada makna yang sangat besar di dalamnya (meaningful participation). Adapun, partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh wajib memenuhi tiga prasyarat penting di dalamnya.

Itu meliputi hak untuk didengarkan pendapat (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapat (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Sayangnya, tiga syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemerintah selama proses penyusunan PP 26/2023 berjalan. Meskipun, partisipasi publik sudah diwajibkan oleh UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

baca juga : Menyoal Aturan Buka Keran Ekspor Pasir Laut Indonesia

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Tanpa adanya partisipasi publik, maka ada pihak yang tidak bisa menyalurkan harapannya secara langsung. Mereka ini adalah yang berpotensi terkena dampak secara langsung dari aktivitas pemanfaatan sedimentasi laut.

Selain masyarakat pesisir, ada juga nelayan tradisional, dan pembudidaya ikan. Selain itu, ada juga yang terdampak tidak langsung seperti organisasi lingkungan hidup, dan akademisi yang seharusnya juga dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan PP tersebut.

Tentang kerusakan habitat dasar laut yang memengaruhi ekosistem di dalamnya, dia menyebut kalau itu karena dipicu dan diawali oleh partikel-partikel atau bongkahan-bongkahan yang disortir oleh kapal isap dan kemudian dibuang kembali ke laut.

Partikel-partikel tersebut menyebabkan air laut menjadi keruh dan memicu perubahan besar pada habitat biota laut. Dampak lebih jauhnya, habitat yang mengalami kerusakan itu bisa meluas ke area lain di sekitar area utama kerusakan.

IOJI kemudian menukil hasil kajian dari Universitas Mulawarman, Samarinda pada 2021 lalu terkait dampak sosial yang ditimbulkan dari kegiatan pengambilan pasir laut. Hasil kajian tersebut menjelaskan bahwa muncul ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat nelayan sekitar yang menggantungkan nafkah hariannya dari laut yang terdampak.

baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

 

Manfaat Sedimen Laut

Mas Achmad Santosa menambahkan, ada penelitian lain yang fokus tentang dampak pengambilan pasir laut pada habitat macrobenthos (organisme yang hidup di dasar laut) yang sangat besar. Berdasarkan penelitian itu, habitat macrobenthos hanya bisa dilakukan restorasi dengan cara mengembalikan sedimen asli ke tempat semula.

Macrobenthos sendiri berperan sangat besar dalam fungsi rantai makanan ekosistem di laut. Tanpa mereka, kesehatan ekosistem laut juga akan terancam dan bisa memicu dampak sosial di masyarakat pesisir akibat kegiatan pengisapan pasir laut yang sangat besar.

Walaupun ada sanksi administratif, namun IOJI menilai kalau itu masih tidak sebanding dengan potensi kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas pengisapan pasir laut. Sanksi yang dimaksud, ada dalam Pasal 23 sampai 29 PP 26/2023.

Berdasarkan analisis yang dilakukan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 2014 lalu, kegiatan pengambilan pasir laut akan berdampak secara langsung ataupun tidak pada keberagaman hayati (biodiversitas), lanskap, berkurangnya luas wilayah (land losses), dan iklim.

Tegasnya, pengambilan pasir laut menyebabkan masalah lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Pada 2021, UNEP merilis analisis bahwa dampak lingkungan akibat kegiatan tersebut berdampak pada perubahan iklim, kehilangan biodiversitas, kemiskinan, kesehatan manusia, dan keadilan.

Keberagaman hayati juga sangat bergantung pada pasir laut, karena jika itu diambil maka akan memicu proses degradasi habitat biota laut yang bisa berdampak langsung pada penurunan jumlah fauna atau pergeseran komposisi spesies.

Contoh nyata dari perubahan tersebut sudah terjadi di perairan dan pesisir Provinsi Kepulauan Riau. Akibat pengambilan pasir laut yang tidak terkendali, kerusakan ekosistem mangrove yang menjadi penjaga utama wilayah pesisir tak terhindarkan lagi. Kondisi tersebut memicu terjadinya perubahan garis pantai di kawasan tersebut.

Pengambilan pasir laut untuk kebutuhan ekspor juga bisa meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diakibatkan oleh transportasi pasir jarak jauh. Sementara, secara tidak langsung kegiatan tersebut bisa meningkatkan produksi semen yang juga berdampak pada peningkatan emisi GRK.

baca juga : Seruan Lantang dari Para Pegiat Lingkungan untuk Menjaga Laut

 

Penambangan pasir laut di wilayah tangkap ikan nelayan di perairan Copong Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulsel oleh Kapal Queens of The Netherlands milik PT Royal Boskalis mengakibatkan air keruh dan nelayan sulit mendapatkan ikan, terutama ikan Tenggiri. Foto : WALHI

 

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan kalau PP 26/2023 diterbitkan dengan tujuan agar kegiatan pengambilan sedimentasi laut bisa berfungsi baik untuk pemenuhan kebutuhan pasir laut untuk kegiatan reklamasi di Indonesia.

Jika dalam praktiknya hasil dari pengambilan sedimentasi laut masih ada sisa lebih, maka itu akan digunakan untuk kebutuhan pasar ekspor. Hasil dari kegiatan ekspor tersebut akan masuk menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan.

“Penggunaan pasir laut untuk reklamasi juga menjadi lebih terukur karena harus berasal dari hasil sedimentasi, bukan yang dikeruk di sembarang lokasi,” ungkap dia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama instansi Pemerintah terkait lain berjanji akan selektif mengeluarkan izin untuk kebutuhan reklamasi dan atau ekspor. Jika ada rekomendasi dari tim kajian, maka izin akan diterbitkan.

Tim kajian akan terdiri dari unsur Pemerintah, perguruan tinggi, dan aktivis lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 Bab Perencanaan pada PP 26/2023. Tim tersebut bertugas menyusun dokumen perencanaan yang berisi sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi di laut.

Kemudian, tim juga bertugas membuat prakiraan dampak sedimentasi terhadap lingkungan, upaya untuk pengendalian hasil sedimentasi di laut, rencana pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, dan rencana rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

 

Terumbu karang yang rusak karena tertimbun material untuk reklamasi di pesisir pantai Minanga, Malalayang, Manado. Foto : Scientific Exploration Team

 

Selain itu, Sakti Wahyu Trenggono juga menyebut PP 26/2023 dibuat, adalah karena faktor keselamatan dan kesehatan laut. Dengan membiarkan sedimentasi terus menumpuk, maka alur pelayaran kapal bisa terganggu dan berdampak pada kegiatan ekonomi nasional.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan kalau aturan detail tentang PNBP dari kegiatan sedimentasi laut masih belum ditentukan. Namun, dia berharap nilainya besar agar bisa berkontribusi pada ekonomi nasional.

Menurut dia, walau kegiatan pengelolaan sedimentasi di laut akan dilaksanakan di semua perairan di Indonesia, namun tetap ada pengecualian untuk wilayah-wilayah perairan tertentu yang sudah disepakati. Ada empat perairan yang dilarang, yaitu:

Daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus yang telah dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi; Wilayah izin usaha pertambangan dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi; Alur pelayaran dalam rencana tata ruang dan /atau rencana zonasi; dan Zona inti kawasan konservasi, kecuali untuk kepentingan pengelolaan kawasan konservasi.

 

Exit mobile version