- Setelah 20 tahun dilarang, ekspor pasir laut yang pernah ditutup Megawati Soekarnoputri saat jadi Presiden pada 2003, kini dibuka kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang terbit pada pertengahan Mei lalu, celah pasir laut bisa jadi komoditas ekspor pun terbuka.
- Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil menyesalkan aturan yang rawan menimbulkan kerusakan lingkungan ini. Mereka menilai, kebijakan itu bisa mempercepat bencana iklim, menenggelamkan pulau-pulau kecil, mempengaruhi tangkapan nelayan, hingga memicu kelangkaan pangan.
- Susan Herawaty, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, PP ini satu regulasi yang mengeksploitasi dengan wujud lebih halus, pakai dalil melindungi dan melestarikan laut, tetapi orientasi bisnis.
- Afdillah Chudiel, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan, PP ini menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. Pemerintah, katanya, tak mampu mengelola sumber laut dengan cerdas hingga kerap mengambil jalan pintas meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif. Cara ini, katanya, rawan merusak lingkungan dan menyengsarakan nelayan serta masyarakat pesisir.
Setelah 20 tahun dilarang, ekspor pasir laut yang pernah ditutup Megawati Soekarnoputri saat jadi Presiden pada 2003, kini buka Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang terbit pada pertengahan Mei lalu, celah pasir laut bisa jadi komoditas ekspor terbuka.
Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil menyesalkan aturan yang rawan menimbulkan kerusakan lingkungan ini. Mereka menilai, kebijakan itu bisa mempercepat bencana iklim, menenggelamkan pulau-pulau kecil, mempengaruhi tangkapan nelayan, hingga memicu kelangkaan pangan.
Pada 2003, Megawati Soekarnoputri melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan membuat kebijakan dengan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang perhentian sementara ekspor pasir laut. Regulasi itu bertujuan mencegah kerusakan lingkungan lebih luas berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, serta belum selesainya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura. Kondisi itu membuat ekspor pasir laut ditentukan saat itu. Tahun ini, PP Nomor 26/2023 keluar. Dalam Pasal 9 menyebutkan jelas, pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat diekspor.
Susan Herawaty, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, PP ini satu regulasi yang mengeksploitasi dengan wujud lebih halus, pakai dalil melindungi dan melestarikan laut, tetapi orientasi bisnis.
Ironis, katanya, periode pertama, Jokowi mengatakan Indonesia jadi poros maritim dunia dengan manusia didalamnya, khusus nelayan dan masyarakat pesisir jadi tuan dan puan di laut sendiri.
“Makin kesini, nelayan dan masyarakat pesisir seakan menjadi pengungsi di laut, dan terasing di ruang penghidupannya sendiri. PP ini terbit, negara seperti makelar yang menjual kekayaan kelautan dan perikanan, tanpa memperdulikan nelayan dan masyarakat pesisir,” katanya, akhir Mei lalu.
Kebijakan ini, kata Susan, wujud nyata dari kepalsuan konsep poros maritim Jokowi. PP itu, katanya, hanya akan merampok sumber daya laut, dan membuat beban kerusakan lingkungan dan dampak yang dialami nelayan dan masyarakat pesisir makin meningkat.
“Pemerintah hanya berorientasi penambahan pemasukan negara yang mengharapkan peningkatan pendapatan negara, tidak menghitung mendalam akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan yang akan terjadi jika PP ini dijalankan,” katanya.
Kiara menganalisis, aturan ini otomatis mencabut Keputusan Presiden No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Susan bilang, kalau dari terminologinya, pemerintah pusat menganggap pasir laut di pesisir merupakan sedimentasi hingga harus ada pengendalian untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut.
“Jelas disebutkan dalam Pasal 1 bahwa PP ini hanya akan melegalkan penambangan pasir di laut dengan dalih pengendalian untuk mengurangi sedimentasi di laut.”
Selain itu, PP dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain, yaitu Undang-undang (UU) No. 27/2007 yang diubah jadi UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dalam UU itu jelas melarang praktik-praktik pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Sayangnya, UU itu seakan dikesampingkan dengan ada yang bisa menghancurkan ekosistem laut itu.
Dalam PP itu juga, pemerintah memandang pasir laut sebagai komoditas yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan. Implementasimya, kata Susan, dari pengelolaan sedimentasi di laut akan jadi materi utama berbagai proyek reklamasi yang dilegalisasi melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
baca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang
Dengan adanya peluang pemanfaatan ‘sedimentasi’ pasir laut untuk dalam negeri maupun ekspor, katanya, bisa jadi pemicu eksploitasi pasir laut makin tak terkendali. Juga, hanya akan menguntungkan aktor-aktor tertentu. Kondisi itu, katanya, akan menambah derita nelayan dan masyarakat pesisir.
Ironisnya, mekanisme sanksi dalam PP itu hanya menggunakan pendekatan sanksi administrasi. Sanksi administrasi, katanya, tak akan membuat efek jera, melainkan memberikan waktu dan ruang bagi investor memperbaiki kesalahan. Hal ini, katanya, sudah terjadi di Pantai Minanga yang direklamasi dan pelaku usaha dapat sanksi administrasi tetapi tetap beroperasi hingga kini.
“Legalisasi eksploitasi pasir laut akan makin mengancam keberlanjutan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang kini berjuang melawan krisis iklim. Pulau-pulau kecil akan masif terancam tenggelam jika PP ini tidak dievaluasi dan dicabut.”
Pemerintah, katanya, seharusnya menjamin kehidupan nelayan dan ruang-ruang produksi mereka serta keberlanjutan ekosistem pesisir. “Bukan merampok sumber daya alam mereka.”
Belum ada aturan ini saja, katanya, penambangan pasir laut terus terjadi di Indonesia, salah satu di Sulawesi Selatan. Demi proyek strategis nasional (PSN), berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi terjadi di Pulau Kodingareng, Makassar. Temuan itu terungkap dalam laporan berjudul “Panraki Pa’boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde” tahun 2020.
Laporan Greenpeace Indonesia bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde menyelidiki, bagaimana ribuan orang di Pulau Kodingareng, salah satu pulau di Kepulauan Spermonde, berusaha keras menyelamatkan laut dan wilayah tangkap nelayan dari tambang pasir. Mereka menghadapi satu perusahaan dredging terbesar di dunia asal Belanda bernama Royal Boskalis dengan nilai kontrak 75 Juta Euro.
Di sana, ada pengerukan pasir laut oleh kapal “Queen of the Netherland” sepanjang 230,71 meter dan lebar 32 meter untuk menyuplai material reklamasi PSN) PT Pelindo yakni Makassar New Port.
Di balik perencanaan proyek strategis ini, sebut laporan itu, justru melahirkan penderitaan berkepanjangan dan kerusakan ekosistem laut di perairan Makassar. Hal ini karena lokasi penambangan pasir laut (Blok Spermonde) tepat berada di wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng seperti Copong Lompo, Copong Ca’di, Bonema’lonjo, dan Pungangrong.
Sejak ada aktivitas penambangan pasir laut itu, kehidupan nelayan mengalami penurunan, dan berdampak buruk terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Dalam aspek lingkungan, wilayah tangkap nelayan yang jadi lokasi penambangan pasir mengalami perubahan drastis, antara lain, perubahan arus dan ketinggian ombak, kekeruhan air laut, kerusakan terumbu karang dan batu-batuan dasar laut serta ancaman abrasi.
Dari aspek ekonomi, perubahan lingkungan sekitar area penambangan pasir mengakibatkan penurunan pendapatan tangkapan nelayan secara drastis. Kondisi itu, berdampak ke aspek sosial yang membuat rumah tangga nelayan baik, dan perempuan mengalami tekanan emosional karena memikirkan kehidupan mereka setelah ada tambang pasir laut.
Afdillah Chudiel, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan, PP ini menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. Pemerintah, katanya, tak mampu mengelola sumber laut dengan cerdas hingga kerap mengambil jalan pintas meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif. Cara ini, katanya, rawan merusak lingkungan dan menyengsarakan nelayan serta masyarakat pesisir.
“Lebih parah lagi, kebijakan semacam ini bisa jadi diambil tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia,” kata Afdillah.
Awal tahun ini, pemerintah menerbitkan kebijakan serupa, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Senada dengan PP No. 26/2023, pemerintah mengklaim kebijakan itu sebagai langkah mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan.
Namun, kata Afdillah, sebaliknya–kebijakan PIT adalah “akal-akalan” pemerintah untuk makin memperkaya oligarki dan meningkatkan penerimaan pajak (PNBP) dari sektor perikanan.
baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?
Untuk siapa?
Dengan pembukaan keran ekspor pasir laut oleh Jokowi setelah dua dekade ini, disinyalir sangat sarat dengan kepentingan bisnis. Dalam Pasal 9 disebutkan gamblang soal pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk reklamasi dalam negeri, dan pembangunan infrastruktur pemerintah. Juga, untuk pembangunan prasarana oleh pelaku usaha dan bisa ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 10 disebutkan, pelaku usaha yang ‘membersihkan’ sedimentasi di laut dan pemanfaatan sedimentasi wajib memiliki izin pemanfaatan pasir laut. Melalui Pasal 20, Pemerintah mengklaim ini untuk mendapatkan PNBP bidang kelautan dan perikanan. Pasal-pasal itu dinilai memberikan karpet merah kepada oligarki.
“Ini greenwashing ala pemerintah. Pemerintah kembali bermain dengan narasi seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” ucap Afdillah.
Menurut data Minerba One Map Indonesia yang diolah Yayasan Auriga Nusantara, hingga akhir tahun lalu, pemerintah telah memberikan 141 konsesi penambangan pasir laut kepada 118 pelaku usaha total 131.157 hektar, atau dua kali luas wilayah Jakarta.
Dari izin itu, ada berupa wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), izin usaha pertambangan (IUP), serta izin pertambangan rakyat (IPR).
Dari semua izin-izin penambangan pasir laut itu, ada 11 izin eksploitasi, dan 21 izin sudah operasi produksi dan 109 izin masih cadangan atau belum ada aktivitas pengerukan. Izin-izin itu, dia prediksi bertambah dengan ada PP baru itu.
Pramono Anung, Sekretaris Kabinet menjelaskan, ekspor pasir laut bukan tujuan utama dari aturan itu. Katanya, penyelesaian masalah sedimentasi yang hampir terjadi di seluruh perairan Indonesia jadi lokus pemerintah.
Untuk ekspor pasir laut, nanti akan ada aturan tersendiri yang dibuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merespon PP itu. Dia bilang, regulasi itu dibuat berdasarkan kajian mendalam.
“KKP harus membuat peraturan menteri untuk merespons PP itu. Isinya lebih teknis, misal, mengenai daerah mana saja yang diperbolehkan dan mekanisme perizinan lainnya,” kata Pramono Anung seperti dikutip CNBC Indonesia.
Meski begitu, kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, PP itu tetap hanya melayani kepentingan pengembangan proyek reklamasi di seluruh Indonesia, untuk pembangunan kawasan-kawasan bisnis baru. Sampai 2040, pemerintah merencanakan proyek reklamasi seluas 3,5-4 juta hektar.
Berdasarkan hitungan KKP pada 2021, perlu 1.870.831.201 meter kubik untuk proyek reklamasi di sembilan wilayah, antara lain reklamasi di Tuban, Jawa Timur dan di Batubara, Sumatera Utara.
Sedang ekspor pasir laut, katanya, hanya akan menguntungkan negara lain, termasuk Singapura yang sedang memperluas daratan. Sejak 1965, Negeri Singa itu telah memperluas daratan lebih 20% hingga 2017.
Indonesia, katanya, merupakan pemasok utama pasir laut untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun, antara 1997-2002.
baca juga : Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi
Kondisi itu, kata Parid, selaras dengan penelitian Vanessa Lamb, Melissa Marschke dan Jonathan Rigg berjudul “Trading Sand, Undermining Lives: Omitted Livelihoods in the Global Trade in Sand.” Riset itu menuyenbutkan, Singapura, importir utama pasir dunia selama lima dekade hingga kini.
Saat ini, Pemerintah Singapura tengah melaksanakan fase ketiga reklamasi yangdengan rencana meluas sampai 30% pada 2030.
Tak hanya Singapura, kata Parid, Tiongkok juga sangat diuntungkan ekspor pasir dari Indonesia. Pasalnya, negara ini sedang membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan untuk kepentingan militernya. Bahkan, berdasarkan sejumlah laporan internasional, katanya, Tiongkok tengah berencana membuat kapal pengeruk pasir super besar.
“Kapal yang sedang dibuat China ini bisa mengeruk pasir dari dasar laut untuk dipindahkan dan dibuat pulau. Kapal itu dapat menyedot pasir dan batu, kemudian memompa ke lokasi lain melalui pipa panjang,” kata Parid.
Dengan Indonesia ada PP baru itu merupakan langkah mundur bagi perlindungan dan pengelolaan sumber pesisir dan laut Indonesia. Termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan, dan mendorong tenggelam pulau-pulau kecil di Indonesia karena kenaikan air laut.
Berdasarkan catatan Walhi, ada 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut.
“Artinya, dengan PP ini ancaman tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan makin cepat.”