Mongabay.co.id

Jadi Bagian Budaya, Orang Papua Konsumsi Sagu Sejak 50 Ribu Tahun Lalu

Sinole, makanan berbahan sagu yang baik untuk kesehatan kita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Sagu merupakan sumber pangan tertua yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selain pisang dan umbi-umbian. Di berbagai tempat di Indonesia juga masih ada yang memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan dengan olahannya, misalkan di Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi, dan Maluku.

Sementara, bagi sebagian besar masyarakat Papua, sagu terkenal sebagai makanan pokok yang dipertahankan hingga kini. Sagu pun tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan masyarakat Papua.

Apalagi sagu telah menjadi penanda identitas, batas wilayah, serta berperan krusial dalam ritual dan adat pada suku-suku di dataran rendah yang secara tradisional memanfaatkannya.

Tahukan Anda, sejak kapan masyarakat Papua mengonsumsi sagu?

Baca: Dari Manakah Nenek Moyang Orang Papua Berasal?

 

Makanan dari sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, memperkirakan bahwa masyarakat Papua mengonsumsi sagu sejak 50 ribu tahun lalu, seiring kedatangan para pemukim pertama di tanah Papua.

Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu dan meramu serta memanfaatkan tumbuhan lokal untuk makanan, termasuk sagu yang tumbuh liar di tepi sungai, danau, dan rawa.

“Artefak yang berkaitan dengan budaya sagu di Papua yaitu gerabah dan alat batu penokok sagu. Hasil penelitian arkeologi menunjukan, gerabah banyak ditemukan di situs-situs arkeologi di pesisir Papua hingga pulau-pulau lepas pantai. Namun, gerabah tidak ditemukan di pegunungan maupun pesisir selatan Papua,” jelas Hari kepada Mongabay Indonesia, Senin [10/6/2023].

Gerabah yang ditemukan di situs-situs hunian prasejarah di Papua berjenis tempayan, periuk, dan forna [tempat membuat sagu lempeng]. Tempayan digunakan untuk menyimpan air dan menyimpan pati sagu.

Dinding tempayan yang tebal memiliki daya tahan kuat sebagai media penyimpan. Periuk digunakan untuk merebus air dalam proses pembuatan papeda. Dinding periuk yang tipis, mempercepat proses pemanasan makanan.

Sedangkan artefak gerabah forna di situs Mosandurei mengindikasikan bahwa telah ada aktivitas pengolahan bahan pangan yang lebih variatif, yaitu memanggang pati sagu atau sagu bakar. Forna terdiri dua bentuk: persegi panjang dan setengah bulat.

Artefak forna menunjukkan bahwa sagu merupakan makanan pokok, karena mudah diperoleh dari hutan di dekat situs.

“Bagi masyarakat Papua, sagu tidak hanya sumber makanan pokok tetapi juga memberikan seperangkat emik, yakni sumber pengetahuan dan sistem religi,” kata Hari.

Hal ini dapat dilihat saat pengambilan sagu dalam masyarakat adat yang biasanya tidak dilakukan serampangan. Ada ritus mengiringi, mulai dari meminta izin ketika hendak menebang, membersihkan semak-semak sekitar pohon sagu, penokokan, pemangkuran, hingga siap disantap, baik dalam bentuk lempeng sagu bakar atau dihidangkan dalam olahan papeda.

Baca: Sagu, Sumber Pangan Nasional yang Belum Dimaksimalkan

 

Keranjang berisi sagu. Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia di masa lalu yang saat ini masih bertahan di Maluku dan Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sagu dan sistem kepercayaan

Beberapa etnis masyarakat adat Papua memiliki aturan dalam mengelola dan menebang pohon sagu. Seperti etnis Sentani, yang percaya amanat leluhur bahwa sagu hanya ditebang seperlunya. Tidak boleh asal tebang dan tidak boleh jatuh ke anakan sagu. Karena itu merawat sagu seperti halnya merawat diri sendiri. Jika sagu diperlakukan baik, dipercaya akan jauh dari musibah.

“Bagi etnis Korowai, mereka dengan cepat membandingkan perbanyakan sagu dan suksesi generasi manusia. Mereka juga sering berbicara tentang kebun sagu sebagai sumber makanan masa depan: bukan anak-anak saat ini dan siapa yang akan mengeksploitasi mereka nanti,” jelas Hari.

Bagi etnis Marori di Merauke, sagu dijadikan kelengkapan dan kewajiban serta tanggung jawab sosial bagi yang menyelenggarakan ritual kelahiran maupun kematian. Ritual-ritual yang berhubungan dengan produk sagu adalah lamaran, kelahiran, tindik telinga, kematian, penjemputan tamu, dan lain-lain.

Sementara bagi marga Mahuze, etnis Marori, sagu merupakan totem, yaitu simbol persaudaraan sehingga tidak bisa sembarang diperjualbelikan. Pada marga ini, pemanenan dan pengolahan sagu hanya dilakukan sewaktu-waktu, untuk mencukupi kebutuhan penyelenggaraan pesta atau ritual adat serta konsumsi dalam rumah tangga.

Luas sagu di Indonesia sekitar 85% dari luas lahan sagu dunia dan mayoritas di Papua. Di Papua, sagu paling banyak menyebar di pesisir selatan seperti Merauke, Asmat, Mappi, Timika dan Kaimana. Di utara juga ada seperti Jayapura, Membrambo, dan Nabire.

Baca juga: Sagu, Sumber Pangan Ramah Gambut yang Minim Perhatian

 

Sinole, makanan berbahan sagu yang baik untuk kesehatan kita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Profesor Elias, Guru Besar Departemen Manajeman Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, menjelaskan bahwa sagu memiliki karakter hutan di lahan tergenang air permanen, tergenang tidak permanen, dan lahan kering. Bentuk hutan sagu adalah hutan campuran, hutan sagu murni, tegakan berstrata, tanaman berumpun atau tumbuh bersama dalam satu kelompok.

Dia juga menjelaskan ciri khas pohon sagu yang sudah masak atau bisa ditebang, diameternya lebih dari 35 cm dengan panjang tinggi batang antara 8 hingga 15 meter. Lokasi tumbuhnya biasa di dataran rendah, areal rawa, gambut, dan sepanjang tepi sungai. Topografinya datar, landai, hingga bergelombang. Tumbuh dengan curah hujan 2.500-3.000 mm per tahun.

“Sagu hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik karena minimnya infrastruktur dan akses yang sangat sulit,” ungkap Elias.

 

Exit mobile version